JAKARTA–MI: Kaum intelektual dinilai hanya menjadi pajangan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, intelektual yang direkrut sebagai anggota legislatif terbukti gagal memberi warna dalam perjalanan DPR.
Demikian diungkapkan Pakar Hukum Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran, Bun Yamin Ramto ketika dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Senin (18/8). Menurutnya, sama halnya dengan artis, intelektual hanya dijadikan partai politik sebagai pendulang suara.
“Intelektual ketika sudah masuk Senayan tidak bisa menjadi cahaya penerang. Mereka cenderung terkontaminasi oleh sistem dan tidak bisa menegakkan apa yang seharusnya ditegakkan sebagai seorang intelektual,” imbuhnya.
Menurut Bun Yamin, penyebab utama tumpulnya kaum intelektual paska masuknya mereka ke DPR disebabkan sistem kepartaian yang membelenggu. “Setelah mereka masuk ke DPR, maka berlakulah ketentuan partai yang membuat mereka tidak bisa berkembang. Misalnya, sistem kepartaian yang menuntut anggotanya yang sudah menjadi aleg untuk membayar. Nah, mereka ini kemudian ikutan cari duit untuk menutupi biaya-biaya tersebut. Rusak mereka,” cetusnya.
Ia menambahkan, keberadaan kaum intelektual di DPR masih dibutuhkan selama mereka dapat menjaga idealisme dan tidak dimanfaatkan oleh kepentingan parpol. Kaum intelektual yang menduduki kursi DPR periode 2004-2009 diantaranya adalah, Didiek Junaidi Rachbini dan Drajad Wibowo dari Fraksi Partai Amanat Nasional, JE Sahetapy dan Gayus Lumbuun dari PDIP, serta Pande Radja Silalahi dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). (*/OL-03)
Source : Media Indonesia