Setidaknya ada dua sahabat saya yang mendaftar menjadi calon anggota legislatif alias ikut nyaleg. Yang satu, yang selama ini dikenal sebagai analis politik Centre for Strategic and International Strategic (CSIS), Indra Jaya Piliang.
Dia sudah berpamitan dan menyatakan akan maju sebagai calon legislatif (caleg) Partai Golkar dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Barat II. Dia masih muda. Usianya baru 36 tahun. Dia memutuskan untuk kembali ke kampung guna minta restu dan dukungan. Sahabat saya yang lain ialah yang selama ini dikenal sebagai intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi.
Dia nyaleg di PDIP dan dapat nomor urut dua dari daerah pemilihan Jawa Timur X yang meliputi Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Kalau Indra terkesan mendadak masuk ke parpol, Zuhairi sudah aktif di salah satu onderbouw PDIP dua tahun lalu, yaitu di sayap Islam Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).
Masih ada beberapa sahabat saya, yang selama ini masuk dalam kategori “intelektual-muda” masuk partai dan ikut nyaleg. Ambil contoh Makmun Murod Al-Barbasy aktif di Partai Matahari Bangsa (PMB); Fadli Zon di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); selain yang sudah dikenal sebelumnya Budiman Sujatmiko di PDI Perjuangan; Anas Urbaningrum di Partai Demokrat. Dan mungkin masih banyak lagi.
Mengapa mereka nyaleg? Tentu karena ada peluang. Meraka akan seragam mengatakan bahwa mereka terpanggil untuk nyaleg, untuk berpolitik praktis. Kata kuncinya adalah terpanggil. Siapa yang memanggil? Insya Allah hati nurani mereka. Keterpanggilan jelas selaras dengan idealisme. Mereka ingin mengaktualisasikan idealismenya melalui jalur partai politik.
Para pengkritik bisa saja melontarkan kekhawatiran Julien Benda, “pengkhianatan kaum intelektual”, tapi saya kira mereka tidak seekstrem itu. Saya sendiri cocok dengan pandangan Arief Budiman, bahwa cendekiawan atau intelektual itu boleh berpolitik. Tentu politiknya bukan jenis politik kelas rendahan-atau apa yang sering dikutip M Amien Rais sebagai low politics.
Kelas mereka mestinya high politics. Saya mengapresiasi niat baik mereka: datang, minta dukungan, dan hendak memperjuangkan keadaan menjadi semakin baik. Mereka ingin menjadi, istilah Bung Karno dulu, “penyambung lidah rakyat”.
Banyak Lubang
Tapi politik itu banyak lubang. Kalau tidak hati-hati bisa kejeblos. Jangan sampai anekdot ini terbukti: kalau dulu para aktivis masuk penjara baru jadi pejabat, sekarang menjadi pejabat dulu baru masuk penjara. Dari awal, saya turut mengingatkan agar sahabat-sahabat saya itu pada akhirnya tidak masuk penjara, karena terjerat kasus korupsi, pribadi maupun berjamaah.
Karena berpolitik itu penuh tantangan dan sesungguhnya merupakan pekerjaan yang mulia, saya menyampaikan apresiasi mendalam. Mereka orang-orang yang berani. Tapi, sebagaimana yang lain, mereka harus berkompetisi ketat. Untuk menang perlu modal. Semoga mereka tak ikut-ikutan ber-money politics ria. Kalaupun menang, saya harap kemenangannya wajar dan terhormat. Kalau kalah juga demikian.
Mereka akan bergelut dengan hukum atau sunatullahpolitik. Popularitas apakah sebanding dengan elektabilitas? Atau apakah mereka sudah cukup populer di daerah pemilihan mereka masing-masing? Indra Jaya Piliang dan Zuhairi Misrawi, misalnya, seperti saya, dikenal sebagai para penulis artikel di banyak media massa.
Apakah “konstituen” mereka tahu juga? Apakah mereka pembaca opini? Apakah wajah Indra Jaya Piliang yang telah sering muncul di televisi sudah demikian akrab di benak voters di daerah pemilihannya? Baik Indra, Zuhairi, dan yang lain, masih harus bekerja keras untuk menang. Mungkin mereka harus belajar kembali Sun Tzu, sang mbah strategi, untuk memenangkan peperangan dalam suatu medan yang sulit.
Daya Kritis
Yang kurang setuju dengan masuknya intelektual masuk partai dan berpolitik pastilah dilatarbelakangi keraguan ini: apakah mereka masih bisa kritis? Bukankah masuk partai berarti mengerangkeng diri dan kebebasan mereka ke dalam sebuah sangkar? Bukankah sekalipun sangkar itu emas, mereka tidak bisa bebas? Mari kita bertanya pada, misalnya, senior Burhan D Magenda, Amir Santoso, Hajriyanto Y Thohari, Yuddy Chrisnandi, Didik J Rachbini, Dradjat Wibowo, Mahfud MD, dan Mohammad AS Hikam yang pernah jadi anggota DPR.
Atau Faisal Basri yang pernah menjadi sekretaris jenderal sebuah partai politik; M Amien Rais yang berpartai politik dan pernah menjadi ketua MPR; atau Laode Ida yang menjadi anggota DPD. Ternyata banyak intelektual kita di panggung politik praktis. Tentu mereka tidak mau dikatakan tidak kritis sewaktu berpolitik.
Mereka memang telah memberi warna lain di dunia politik, tetapi tidak selaras dengan menyusutnya nominal korupsi. Mungkin para intelektual-politikus itu tak sanggup menahan risiko sistem yang masih membuka celah lebar untuk korup. Mungkin mereka tidak terlibat korupsi, tapi mereka terkesan tak berdaya. Mungkin mereka oase kecil saja. Walau demikian tetaplah diperlukan.
Integritas Moral
Mungkin saya terlampau positive thinking dengan mereka. Saya kira ini tidak terlampau salah. Mestinya intelektual itu simbol moral juga. Mereka menanggung beban moral itu. Mau menumpuk kekayaan? Kebangetan tentu. Berpolitik itu mengabdi, dan harus nothing to loose. Kalau kelasnya baru “seukuran perut”, tentu sayang sekali. Konon ada yang pernah berkata, “Kalau mau kaya jadilah politisi.”
Dan saya tidak yakin kalau para intelektual itu bertujuan mau kaya. Lagipula mereka harus menjaga integritas. Penangkapan-penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini jangan sampai menimpa mereka lagi kelak. Mereka harus bekerja dengan amanat, jangan disia-siakan harapan dan kepercayaan rakyat.
Jangan ngege mongso alias terlampau bermimpi menjadi lembu, padahal hanya seekor katak. Saya yakin mereka pun tidak juga ikut-ikutan berjanji muluk yang tidak masuk akal. Saya ingin mereka kalah atau menang secara wajar. Mereka harus tampil beda, tak sekadar ikut arus dan tenggelam di dalamnya. Mereka harus mencerahkan. (*)
M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta (//mbs)
Source : okezone.com