Home > Education > Political Marketing > Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen

Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen

Pemilih muda cenderung lebih kritis dalam menilai kinerja dan keberadaan lembaga parlemen. Sejauh ini kerja-kerja lembaga legislatif lebih banyak dipandang kurang optimal memperjuangkan aspirasi rakyat. Meskipun lebih kritis, pemilih dari kalangan anak-anak muda ini tetap optimis ke depan lembaga perwakilan rakyat akan bekerja lebih baik.

Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas awal Oktober 2022 lalu yang menyebutkan bagaimana responden usia muda, yang nantinya merupakan pemilih muda dan mula di Pemilu 2024, cenderung memandang lebih kritis kerja-kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di tengah momentum Hari Parlemen Nasional 16 Oktober lalu, secara umum, kinerja lembaga perwakilan rakyat ini memang masih dipandang belum optimal. Sebanyak 48,2 persen responden menyebutkan, kinerja DPR cenderung buruk, bahkan separuh diantaranya menjawab lebih buruk.

Penilaian umum ini jika digali lebih dalam, terkait latar belakang responden berdasarkan kelompok usia, responden dari kalangan usia muda, baik di bawah 24 tahun atau kelompok usia di atasnya, yakni 24-39 tahun, cenderung lebih kritis menilai kinerja lembaga legislatif ini.

Pemilih muda cenderung lebih kritis dalam menilai kinerja dan keberadaan lembaga parlemen

Dari kelompok usia < 24 tahun atau mereka yang baru pertama kali ikut pemilu dan sebagian besar belum pernah mencoblos, sebanyak 46,5 diantaranya memandang kinerja DPR buruk, bahkan hampir 30 persen diantara kelompok usia ini menilainya lebih buruk.

Sikap senada juga dinyatakan oleh kelompok responden usia milenial madya, atau mereka yang berada di rentang usia 24-39 tahun. Di kelompok usia mereka ini, yang kritis cenderung lebih tinggi. Sebanyak 51 persen dari responden di kelompok usia ini menyatakan kinerja DPR buruk, bahkan hampir sepertiganya menilai lebih buruk dibandingkan kondisi setahun lalu.

Meskipun secara umum penilaian buruk terhadap kinerja DPR terjadi di hampir semua kelompok usia, kelompok usia responden yang lebih senior, yakni mereka yang sudah beberapa kali mengikuti pemilu, cenderung lebih tinggi apresiasinya terhadap kinerja lembaga legislatif. Lihat saja, dari kelompok responden usia 56 tahun ke atas, misalnya, sebanyak 40,5 persen diantaranya menilai kinerja DPR relatif sudah baik.

Kecenderungan responden muda yang lebih banyak kritis dan kecewa dengan kinerja DPR, sedangkan responden lebih senior cenderung apresiasinya lebih banyak, juga ditemui di isu soal bagaimana DPR menjaring aprirasi masyarakat.

Dibandingkan tahun lalu, bagaimana kinerja Dewan Perwakilan Rakyat saat ini?

Secara umum, dari total responden, sebanyak 47 persen menilai DPR masih kurang optimal menjalankan fungsi untuk mengagregasi kepentingan dan aspirasi rakyat, bahkan sebanyak 31,7 persen diantaranya menyatakan DPR belum aspiratif terhadap suara rakyat.

Penilaian terhadap performa DPR terkait bagaimana mereka mendengarkan aspirasi masyarakat ini memang cenderung rendah dan belum optimal di mata responden muda.

Dari kelompok responden usia kurang dari 24 tahun atau generasi Z yang lebih banyak di kelompok ini, mayoritas menilai DPR belum optimal menjaring aspirasi masyarakat. Sepertiga dari kelompok ini bahkan menilai DPR belum mendengarkan aspirasi rakyat.

Kondisi serupa juga disampaikan oleh kelompok responden di usia generasi milenial madya (24-39 tahun) dan paruh baya (40-55 tahun) dimana mereka lebih banyak yang menilai DPR kurang aspiratif terhadap suara rakyat. Hal ini berbeda dengan sikap dari responden yang lebih tua, yakni berusia lebih dari 56 tahun ke atas. Di kelompok ini malah sebaliknya.

Sebanyak 45,9 persen bagian dari kelompok responden senior ini menilai DPR sudah aspiratif dengan suara masyarakat. Ada kecenderungan, kelompok responden yang lebih senior ini lebih memandang segala sesuatu dengan cara positif.

Baca juga : Kerja Legislasi Dikritik, tetapi Pengawasan DPR terhadap Penanganan Pandemi Diapresiasi

Aspirasi

Bagaimanapun, jika bicara soal aspirasi, sudah menjadi tugas dan kewajiban wakil rakyat untuk menampung dan memperjuangkannya. Sayangnya, citra DPR yang masih cenderung landai di mata publik ini sedikit banyak berbanding lurus dengan langkah-langkahnya yang justru cenderung “berseberangan” dengan aspirasi rakyat.

Banyak contoh kasus bagaimana fenomena aspirasi masyarakat yang terjadi secara masif cenderung diabaikan oleh DPR. Lihat saja bagaimana reaksi masyarakat terhadap upaya parlemen melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK dan juga lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan dari publik.

Munculnya demonstrasi, tidak saja di ibu kota tapi juga di daerah-daerah, tak membuat revisi UU KPK surut. Terbukti, pada akhirnya revisi undang-undang KPK ini lolos dan secara faktual sudah membuat ruang gerak KPK saat ini cenderung tidak sekuat sebelum undang-undangnya direvisi. Kondisi yang sama juga terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Penolakan yang masif, terutama dari kalangan buruh, tak membuat undang-undang ini surut, apalagi batal.

Poster bertuliskan penolakan atas UU Cipta Kerja dibawa massa buruh saat melakukan aksi bersama menolak UU CIpta Kerja di Jakarta, Kamis (22/10/2020). Pasca pengesahan RUU CIpta Kerja oleh DPR pada awal Oktober 2020, gelombang aksi penolakan terus disuarakan oleh para buruh dan elemen masyarakat di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia.

Namun, bukan berarti publik tidak pernah “menang” dalam urusan memperjuangkan aspirasi. Sejumlah isu yang melahirkan polemik, bahkan kontroversi kerapkali membuat DPR pada akhirnya “tunduk” dengan suara publik. Hal ini terutama terkait dengan isu fasilitas yang melekat dengan anggota DPR.

Sebut saja kasus penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR, yakni sekitar tahun 2011, yang akhirnya ditunda setelah mendapatkan penolakan dari publik. Isu yang sama juga sempat muncul dengan kasus rencana renovasi rumah dinas anggota DPR, bahkan pembangunan pagar DPR juga sempat memicu polemik, hingga soal gorden rumah dinas yang biayanya puluhan miliar.

Segala yang kontroversial menyangkut fasilitas anggota DPR cenderung kemudian batal atau ditunda setelah mendapatkan reaksi negatif dari publik. Hal ini berbeda dengan isu-isu yang menyangkut produk perundang-undangan yang berdampak bagi publik, DPR cenderung “abai” dengan suara masyarakat.

Selain revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, pembahasan RUU KUHP juga sempat mendapat reaksi dari publik. Salah satu isunya adalah soal minimnya diseminasi draft RUU KUHP kepada publik. Hasil jajak pendapat Kompas pada Juni 2022 mencatat, mayoritas responden (89,3 persen) mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP kala itu. Hal ini makin menegaskan penilaian bahwa performa DPR memang masih jauh dari harapan publik.

Baca juga : Kinerja DPR Dinilai Belum Memuaskan

Pemilih muda

Sikap responden dari kelompok usia muda menjadi cerminan bahwa harapan publik pada DPR ke depan akan lebih baik terus dinyalakan. Sebab, meskipun cenderung lebih kritis pada DPR, kelompok responden muda ini justru lebih meyakini DPR ke depan akan bekerja lebih baik, lebih aspiratif, dan lebih dekat dengan rakyat. Sebanyak 51 persen responden dari kelompok usia kurang dari 24 tahun, misalnya, meyakini DPR ke depan akan lebih baik lagi.

Harapan dari kelompok responden muda ini merupakan sinyal positif jika kita kaitkan dengan konfigurasi pemilih di Pemilu 2024. Hampir mayoritas pemilih di pemilu tersebut akan didominasi oleh pemilih-pemilih muda. Jika mengacu data BPS, demografi pemilih muda, terutama usia 17-39 tahun, proporsinya cukup besar di Pemilu 2024, yakni kurang lebih mencapai 60 persen.

Tentu ini menjadi kesempatan bagi anak-anak muda untuk berkiprah dalam panggung politik untuk memperjuangkan isu-isu kesejahteraan. Termasuk diantaranya bagaimana memperkuat bangunan demokrasi yang menjadi basis untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut.

Segala yang kontroversial menyangkut fasilitas anggota DPR cenderung kemudian batal atau ditunda setelah mendapatkan reaksi negatif dari publik

Hal ini penting apalagi jika kita lihat tren anggota DPR yang berasal dari kalangan usia muda cenderung stagnan, bahkan menurun jumlahnya. Dari komposisi anggota DPR sepanjang era reformasi, DPR periode 1999-2004 tercatat paling tinggi jumlah anggota dari anak muda (< 25 tahun) yang mencapai 3,7 persen. Jumlah ini makin menurun, hingga terakhir di periode 2019-2024 hanya tersisa 0,9 persen.

Hal inilah yang menjadi tantangan bagi anak muda. Jika ingin berharap DPR bekerja lebih baik dan iklim panggung politik nasional lebih sehat bagi terciptanya kesejahteraan bagi rakyat, peran anak-anak muda penting ditingkatkan.

Tentu, semua juga berpulang pada partai politik untuk memberikan kesempatan dan pintu bagi lahirnya politisi-politisi muda yang energik, inovatif, dan tentu amanah terhadap suara-suara rakyat. Sudah saatnya pemilih muda yang cenderung lebih kritis diberi kesempatan lebih besar untuk membuktikan dirinya bisa bekerja lebih baik dari yang dikritiknya. (LITBANG KOMPAS)

Oleh : YOHAN WAHYU

Editor: ANDREAS YOGA PRASETYO

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies

Leave a Reply