Polemik calon perseorangan (Independen) hingga kini belum ada titik terang.Tahukah Anda, awalnya Jakarta menolak hadirnya calon tersebut. Lalu, DPR Aceh bersama elemen masyarakat sipil ramai-ramai berjuang ke Jakarta. Kini, saat Jakarta membuka ruang, justeru DPR Aceh ngotot menolak. Gejala apa?
Kalau ditanya, siapa sosok anggota DPR Aceh yang paling tahu dan ngotot dalam memperjuangkan adanya calon perseorangan (independen) pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur,Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Aceh 2006 silam? Salah satu jawabannya adalah Abdullah Saleh. Dialah, politisi yang sudah kenyang asam garam dan malang melintang di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aceh, kemudian hijrah ke Partai Aceh (PA).Salah satu partai lokal yang lahir dari hasil kesepakatan damai antara RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005 lalu di Helsinki.
Saat itu, dari sederet nama anggota DPR Aceh (lihat boks—red), Abdullah Saleh dinobatkan sebagai Ketua Tim Advokasi dan Sosialisasi RUU PA. Maklum, selain berlatarbelakang pendidikan hukum, politisi yang juga advokat ini, termasuk senior di lembaga wakil rakyat tersebut.
“Saat itu pemahaman hukumnya bagus dan cerdas. Karenanya, kami sepakat menunjuk dia sebagai ketua tim. Kalau
kemudian sekarang dia berubah dan justeru meminta calon independen dihilangkan, saya juga tidak mengerti,” ungkap
salah seorang kolega Abdullah Saleh, mantan anggota DPR Aceh dari partai nasional.
Memang, jika membuka kembali Pasal 256 UUPA,disebutkan: ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota, sebagaimana dimaksud Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Karena itulah, keberadaan calon independen hanya diberlakukan satu kali setelah UUPA diundangkan. Makanya, banyak pihak menilai, pengaturan mengenai batas waktu keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh, melanggar hak konstitusionalitas yang telah diatur dalam UUD 1945.
Dasar hukum lain yang menjadi pertimbangan, terkait dengan adanya amandemen UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah dua kali dan terakhir UU No. 12 Tahun 2008, tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan, pelaksanaan Pemilukada dengan keikutsertaan
calon independen telah diakui secara nasional. Maka, berlakulah di seluruh Indonesia.
Sayangnya, khusus untuk Aceh justeru menuai masalah. Kendati Jakarta pernah menolak tapi kemudian memberi adanya calon Independen. Ternyata Aceh menolak. Alasannya, sesuai UUPA, kesempatan calon perseorangan alias independen hanya sekali. Penolakan ini kemudian melahirkan apa yang disebut para pimpinan partai politik lokal (parlok) dan partai nasional (parnas) di Aceh sebagai konflik regulasi. Namun, berbagai elemen masyarakat sipil di Aceh justeru berpendapat lain. Konflik tadi lebih disebabkan, munculnya Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh) sebagai kandidat untuk kursi Aceh satu keduakalinya.
Begitupun, itulah politik dan Aceh tetap saja menjadi pionier di negeri ini. Melalui gugatan judicial review, Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya menyatakan. Pasal 256 UUPA tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Nah, berdasarkan putusan itulah, pintu demokrasi Aceh
dalam pelaksanaan Pemilukada terbuka kembali untuk megikutsertakan calon independen.
Masalah kemudian muncul ketika sebagian anggota DPRA menolak putusan MK. Alasannya, tidak sesuai dengan UUPA dan melanggar keistimewaan yang ada di Aceh. Akibatnya, hingga kini polemik tersebut terus terjadi, antara DPR Aceh dengan Irwandi Yusuf atas nama Pemerintah Aceh dan KIP Aceh sebagai pelaksana.
Tapi, tahukah Anda, bagaimana perjalanan lahirnya pasal calon perseorangan (Independen) yang tertuang dalam Pasal
256 UUPA? Sekedar mengulang saja. Saat penggodokan draf UUPA oleh berbagai elemen masyarakat sipil Aceh (LSM, tokoh masyarakat, akademisi, DPRD dan ulama yang di laksanakan di Gedung Dayan Daod, September 2005), sebenarnya pada bagian ketiga dari draf UUPA tersebut, terdapat adanya bagian pencalonan. Namun, soal calon Independen memang tidak di atur dalam peraturan perundang-undangan (nasional) yang ada pada saat itu dan tidak juga difinalkan. Ini sejalan dengan UU No 18 tahun 2001, tentang pemilihan kepala daerah di Aceh yang diataur lebih jauh dalam qanun No: 2 Tahun 2004 tentang pemilihan Gubernur Aceh. Isinya, menetapkan bahwa calon Independen yang tidak di ajukan partai politik atau gabungan partai politik dapat maju sebagai calon kepala daerah dengan syarat harus mengumpulkan dukungan sebesar 3 persen dari total pemilih.
Meski demikian, dalam MoU Helsinki tidak memuat klausul mengenai calon Independen, kecuali bunyi butir 1.2.2 yaitu: “Dengan penandatangan nota kesepahaman ini rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada April 2006 dan selanjutnya.
Ketentuan butir 1.2.2 MoU Helsinki ditafsirkan Wakil Presiden RI saat itu Yusuf Kalla sebagai pengakuan tersirat
mengenai dimungkinkannya pengajuan calon individu oleh masyarakat Aceh. Calon independen secara tegas baru muncul dalam draf RUU PA usulan DPRD Aceh pasal 59 ayat (1) RUU PA ini menyatakan: Pasangan calon Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perorangan sebagai calon independen. Sedangkan dalam draf Departemen Dalam Negeri (Depdagri), poin terakhir calon independen yang di usulkan masyarakat Aceh dihilangkan, sehingga Pasal 59 ayat 1 dalam draf terakhir Depdagri berubah menjadi Pasal 61 ayat 1 yang berbunyi:Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan/atau partai politik lokal.
Tak hanya itu, ketika draf refisi Depdagri di kembalikan ke DPRD Aceh saat itu disebut: NAD, banyak poin-poin dalam UUPA yang di usulkan masyarakat Aceh dihilangkan. Salah satunya poin calon Independen (lihat boks—red). Akibatnya, tim perumus, staf ahli dan Tim Advokasi dan Sosialisasi RUU PA yang di Ketuai Abdullah Saleh SH, terbang ke Jakarta. Tujuannya, melobi pemerintah pusat untuk tidak menghapus poin calon independen yang merupakan aspirasi rakyat Aceh.
Usaha dan kerja keras itu berlangsung untuk beberapa lama. Hasilnya, pemerintah pusat akhirnya memasukkan poin
calon Independen dalam Pasal 256 dengan catatan satu kali. DPRD dan pemerintah Aceh menerimanya sehingga pasal
calon independen yang disahkan dalam UUPA hanya satu kali.Dan, RUU PA versi DPRD Aceh tidak memberikan syarat bagi calon independen untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah, kecuali soal dukungan pemilih untuk pencalonan. Sedangkan dalam draf versi Depdagri syarat calon (termasuk Independen) di atur dalam Pasal 39 yang berbunyi:Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota adalah warga negara Indonesia (WNI) dengan syarat:…(h) tidak pernah menjadi warga negara asing (WNA).
Nah, dalam draf final RUU PA dari pemerintah, syarat tidak pernah menjadi WNA dihapus dari syarat-syarat calon
kepala daerah yang dimuat dalam pasal 62 ayat (2). “Jadi,kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada alasan bagi elit politik Partai Aceh, menolak calon Independen di Aceh,” begitu kata salah seorang anggota DPR Aceh dari salah satu partai nasional kepada media ini pekan lalu.***
Source : Modus Aceh