”MANTEB: Makmur Aman Tentram Bersama” (Kaji)
”Saatnya menuju Pemerintahan Pro Rakyat” (SR)
”Mohon doa restu. Makmur bersama wong cilik” (Karsa)
”Bersama Rakyat Membangun Jawa Timur” (Salam)
”Melayani untuk Kesejahteraan Rakyat” (Achsan)
YOHANES KRISNAWAN
Saya bingung milih calon gubernur. Semua bagus programnya,” ujar Choirul Anam, sopir taksi di Surabaya. Maksudnya, semua program dalam slogan dan propaganda selama kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim memang khas kampanye.
Janji calon gubernur-wakil gubernur sebagian besar berupa promosi diri sebagai pribadi yang berkualitas sehingga layak didukung. Selama musim kampanye, berlaku pemeo mirip jualan kecap, ”semua kecap nomor satu, tak ada kecap nomor dua”. Masalahnya kalau kualitas kecap ”XX” dan ”YY” yang kini mendominasi pasar bisa dirasakan langsung konsumennya. Propaganda kampanye kandidat mirip jualan kecap itu, siapa berani jamin kebenarannya.
Dari pengamatan di beberapa kota/kabupaten pada 22-28 Juni 2008, tercatat ada 61 variasi tema slogan para kandidat. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) memiliki 12 macam slogan, Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR) memiliki 20 slogan, Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) punya 14 slogan, Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam) memiliki 9 slogan, dan Achmady-Suhartono (Achsan) mempunyai 7 slogan. Semuanya berasal dari berbagai jenis display advertising atau media luar ruang. Biasanya berupa billboard atau papan reklame, baliho, poster, stiker, dan pamflet, yang menjadi media kampanye.
Judith S Trent dan Robert V Friedenberg (2000) menulis, media luar ruang membantu para kandidat dalam dua hal. Pertama, memperkenalkan atau memperkuat nama mereka. Kedua, memberikan kesan singkat dan cepat tentang kandidat. Biasanya iklan seperti itu selalu disertai pesan pendek. Ada yang hanya berupa nama lengkap atau singkatan nama kandidat dan sebuah slogan pendek.
Slogan atau semboyan merupakan kalimat singkat, terdiri dari sedikit kata atau frasa yang mudah diingat. Tujuannya untuk menarik perhatian orang atau menyampaikan suatu gagasan secara singkat padat (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2000).
Dibandingkan media lain, media luar ruang lebih berfungsi memperkuat pengenalan masyarakat atas nama dan citra mereka. Dalam Pilkada Jatim, peraga kampanye biasanya tersebar di lokasi strategis, jalan dan tempat umum. Jika tak terpampang di kayu atau bambu khusus atau terikat tali, kebanyakan ditempel di pohon, tiang listrik, warung, atau posko parpol.
Barang kampanye itu sedikit ditemukan menempel di mobil dan dinding rumah. Pada umumnya semua peraga kampanye itu terdiri dari gambar para kandidat, nama, dan slogan yang dikemas sedemikian rupa dengan komposisi warna, tata letak, ukuran serta jenis huruf tertentu. Perpaduan antara aspek visual dan aspek bahasa tekstual.
Tiga kategori janji
Setidaknya ada tiga kategori tema slogan dalam pilkada ini. Pertama, tentang upaya kandidat memperkenalkan identitas dirinya. Kedua, orientasi visi dan misi yang kebanyakan berupa janji. Ketiga, upaya meyakinkan khalayak bahwa dirinya layak menjadi kepala daerah.
Contoh kategori pertama berupa slogan yang memuat nama dan latar belakang kandidat. ”Harga Mati Kader NU untuk Gubernur”, ”Kabah Kiblatku Khofifah Gubernurku”, ”Kerja Sama Sipil-Militer Membangun Moral dan Stabilitas”. Calon lain, ”Mohon Doa Restu, Megawati Sudah Mendukung Sutjipto”, atau ”Ayo Bebarengan Nyengkuyung Wong Nggalek Dadi Gubernur Jawa Timur 2008-2013”. Kemudian slogan kampanye Achsan berbunyi ”Putro Mojopahit Bangkit Bersama Kawulo Alit. Saatnya Putro Mojopahit Memimpin”.
Kategori tema kedua misalnya pada kampanye Karsa yang berjanji akan ”Melayani Seluruh Rakyat” dan ”APBD untuk Rakyat”. Adapun Salam menjanjikan ”3 Bebas: (1) Bebas Biaya Pendidikan Dasar, (2) Bebas Biaya Kesehatan, (3) Bebas Agunan untuk Pinjaman bagi UMKM” dan ”Bersama Rakyat Membangun Jawa Timur”.
SR menawarkan ”Pendidikan Murah untuk Rakyat” dan mengajak khalayak ”Katakan Tidak pada Korupsi”. Tak mau kalah dengan kandidat lain, Achsan juga ingin ”Melayani untuk Kesejahteraan Rakyat” dan menciptakan ”Jawa Timur Adil Makmur”, serta ”Murah Sandang Pangan, Seger Kewarasan, Nyambut Gawe Ora Kangelan” (Terpenuhi kebutuhan pakaian, makanan, kesehatan, dan tidak kesulitan bekerja).
Kategori ketiga, tampak bagaimana para cagub membangun citra positif mereka, dengan penuh percaya diri, tanpa malu-malu menyatakan dirinya yang ”nomor satu”. Slogan Kaji misalnya ”Pasangan Bersih Tanpa Korupsi” dan ”Saatnya Perempuan Memimpin Jatim”. SR menyatakan diri dalam bahasa Madura Paneka Gubernur Eron Rakyat Keni (Inilah Gubernur Pilihan Rakyat Kecil), serta ”Saatnya yang Jujur Memimpin Jawa Timur”.
Karsa menyebut diri sebagai kandidat yang ”Bersih, Muda, Berpengalaman” sebagai birokrat dan berharap calon pemilih agar Coblos Brengose… (Mencoblos kumisnya). Achsan, yang peragakan wajah Gus Dur sebagai latar, lewat parikan atau pantun jenaka mengunggulkan dirinya: ”Mangan bubur campur semur. Gubernur Achmady Jatim Makmur”. Salam berusaha meyakinkan calon pemilih bahwa mereka ”Tegas dan Amanah”, maka ”Pilih yang Sudah Berpengalaman”.
Demikianlah dalam iklan tak ada ”kecap nomor dua”. Secara halus, atau terang-terangan, slogan dalam kampanye politik berusaha memengaruhi khalayak untuk menyetujui gagasan politik yang disampaikan kandidat. Meski terdiri dari kata atau frasa yang terbatas, slogan punya kemampuan menciptakan suatu keyakinan palsu, seperti mitos atau ideologi. Apalagi dalam konteks pilkada, tujuan utama kandidat adalah berkompetisi menarik simpati calon pemilih untuk memilih dirinya sebagai gubernur (Eric Louw, The Media and Political Process, 2005).
Penggunaan gaya bahasa pada slogan dan simbol budaya, seperti warna (hijau sebagai identitas ke-Nahdlatul Ulama (NU)-an, merah putih-nasionalis), lambang organisasi (Ansor, Kabah/Partai Persatuan Pembangunan, Banteng Moncong Putih/Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), pakaian (peci, kerudung, baju koko sebagai identitas umat Muslim), mimik wajah (tersenyum), dan bahasa tubuh (percaya diri), serta penyertaan figur tokoh karismatik tertentu (Bung Karno, Megawati, Gus Dur, juga beberapa ulama besar), merupakan upaya menciptakan kampanye politik yang efektif.
Aspek visual
Pelaku propaganda seperti tim sukses paham, aspek visual atau pencitraan dan bahasa amat memerhatikan dimensi budaya, serta memerhatikan konteks isu yang berkembang di masyarakat kunci komunikasi.
Dari tema slogan kampanye Pilkada Jatim tercermin, para kandidat sebagai pengiklan tahu apa yang menjadi keprihatinan dan kerinduan rakyat. Mereka mengangkat isu yang memihak rakyat kecil, antikorupsi, serta kesamaan identitas politik atau budaya sebagai ”jualan”. Di sisi lain, dengan berbagai bentuk visualisasi, para kandidat membangun citra diri mereka sebagai calon gubernur-wakil gubernur yang paling layak.
Begitulah propaganda! Bidikan pertama-tama mengarah ke sensitivitas emosi dan kepasifan khalayak dalam proses komunikasi satu arah (Nicholas Jackson dan O’Shaughnessy, Politics and Propaganda: Weapons of Mass Seduction, 2004). Bukan program kerja konkret dan realistis untuk mengatasi problem pembangunan, tetapi janji normatif dan abstrak yang dijual.
Juga citra diri sebagai ”satrio piningit” dalam mitologi Jawa, yang akan membebaskan rakyat dari kesusahan hidup yang dibangun. Dalam industri periklanan, upaya itu bukan ”barang gratis”. Kecap-mengecap dan ”jualan kecap no 1”, meski janji mirip-mirip bualan, konon perlu biaya sampai ratusan miliar atau malah lebih dari satu triliun, tri-li-li! (Litbang Kompas)
Source : kompas.com
Pingback : full ack - Pisa-Politik | Politiklive