Home > News > Opinion > Jejak Getir Pemilu di Aceh

TANGGAL 9 April 2009 mendatang, seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan haknya mengikuti Pemilu Legislatif. Pemilu ke-10 dalam sejarah republik Indonesia, sejak Pemilu pertama tahun 1955. Bagi rakyat Aceh, Pemilu 2009 sangat bermakna, selain memilih 38 caleg dari partai nasional, dapat memilih calon legislatif (caleg) yang diusung oleh enam partai politik lokal (parlok) yang tidak ada di provinsi lain. Banyak yang memprediksi, untuk tingkat kabupaten/kota, caleg parlok akan mengalahkan partai nasional.

Pada dimensi lain, Pemilu tahun ini merupakan Pemilu bersejarah di Aceh, pasca konflik dengan ditandatanganinya perjanjian damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005 antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semua berharap, Pemilu kali ini tidak digelar di bawah ujung bedil. Para pemilihnya benar-benar merdeka menentukan hak pilih mereka.

Dalam catatan aktivis pro demokrasi, beberapa kali Pemilu yang digelar di Aceh, sejak Orde Baru selalu di bawah konflik, yakni masa Daerah Operasi Militer dan Darurat Militer. Malahan sebelumnya, Pemilu 1955 yang diakui sebagai Pemilu yang paling demokratis, kondisi Aceh saat itu lagi konflik DI/TII.

Pemilu 1955 berlangsung dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Tak diragukan lagi, Pemilu itu dilaksankan di sela-sela salak senjata. Pasalnya pada 21 September 1953, mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamirkan berdiri Negara Darul Islam. Untuk menumpas pemberontakan ini, Pemerintah mengirim empat batalyon tentara dan 13 batalyon Mobrig (Brimob) dengan harapan pemberontakan ini padam pada akhir 1954. Ternyata, gerakan ini terus bergulir hingga akhirnya berdamai pada 1959.bahkan di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, Pemilu terpaksa ditunda pelaksanaan karena kawasan itu dibawah kendali tentara DI/TII.

Pemilu pertama pada zaman Orde Baru digelar pada 5 Juli 1971. Aceh relatif tenang dalam arti tidak ada kekerasan bersenjata.

Enam tahun kemudian digelar Pemilu pada 2 Mei1977. Lima bulan sebelum pesta demokrasi ini digulirkan, DR Hasan di Tiro mendeklarasikanAceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Kibaran ini dijawab dengan pengiriman tentara. Seperti Pemilu 1955, dentuman senjata, ancaman kepada warga kerap terjadi di tiga daerah konsentrasi itu yakni di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki lambang Kabah memetik kemenangan di Serambi Mekkah. Golkar masih barang asing di Bumi Cut Nyak Dhien ini.

Pemilu kempat sejak Orde Lama ini diluncurkan pada 4 Mei 1982. Kondisi Aceh seperti Pemilu 1955. Anggota Aceh Merdeka yang kelak populer dengan sebutan GAM memilih tiarap. Ratusan anggota GAM mengikuti latihan militer di Kamp Tazura di Libya. Di Masa damai, PPP mendulang kemenangan di Tanah Rencong.

Konflik, Golkar menang

Pemilu kelima diadakan pada 23 April 1987. Di permukaan, kondisi Aceh tenang. Namun siapa duga, ABRI sejak 1982-1989 melancarkan Operasi Siwah untuk mencari sisa-sisa anggota GAM. Gubernur Aceh Prof Ibrahim Hasan gencar mengadakan kampanye untuk kemenangan Golkar. Dia berhasil memperkenal Golkar yang asing hingga akrab pada masayarakat. Hasilnya, pohon beringin itu bisa berdiri di bumi Rencong itu. Selentingan dari militer pun mencuat, pilih Golkar atau dicap GPK alias Gerombolan Pengacau Keamanan. Nama lain untuk gerilyawan GAM.

Pemilu keenam pada 9 Juni 1992. Sejak Mei 1989-7 Agustus 1998, TNI menerapkan Operasi Jaring Merah yang lebih populer dengan Daerah Operasi Militer (DOM). Tak pelak, kampung-kampung yang dimenangi oleh PPP, maka warga terus melaksanakan ronda malam. Dalihnya, kampung itu tidak pro kepada Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Golkar. Sebaliknya, bila Golkar menang, warga lega karena bebas dari patroli militer.

Setali dengan Pemilu 1992 , Pemilu ketujuh pada 29 Mei 1997 berlangsung dalam situasi tidak kondusif. Penduduk cukup pintar agar kekerasan berkurang dengan menusuk nomor dua yakni Golkar. Dalam kondisi konflik, terbukti Golkar meraih kemenangan di Aceh yakni pada Pemilu 1992 dan 1997.

Masa reformasi tiba pada 21 Mei 1998. Pemilu kedelapan digelar pada 7 Juni 1999. Status DOM yang memberangus kebebasan berekspresi dicabut pada 7 Agustus 1998. Kalangan sipil menyerukan boikot Pemilu karena Pemerintah tidak serius mengurus pelanggaran HAM di masa DOM dan tuntutan lainnya. Hasilnya, 30 persen pemilih yang ke bilik suara. Pada era reformasi itu, PPP menoleh kemenangan di sana.

Pemilu di bawah bayang-bayang militer seperti pada Pemilu 1992 dan 1997, terulang lagi pada Pemilu 5 April 2004. Inilah masa getir mengamalkan demokrasi. Sebab Pemilu ini dilaksanakan pada masa Darurat Militer yang dimulai sejak 19 Mei 2003 hingga status itu dicabut pada 2005 atau pasca tsunami 26 Desember 2004. Kembali Partai Golkar unggul di daerah paling ujung barat dari Pulau Sumatera.

Bagaimanakah dengan Pemilu 9 April 2009? Semua berharap, Pemilu di alam damai ini bisa berlangsung tanpa ada diikuti ketakutan. Semua partai yang berkompetisi tunduk kepada asas Pancasila yang mempertahankan NKRI. Bahkan mantan kombatan GAM sudah menutup kotak peluru dengan membuka kotak suara melalui Partai Aceh.

Masa-masa g etir tidak perlu terulang lagi agar pemilih di Aceh juga bisa memilih secara Langsung Umum Bebas dan Rahasia (LUBER) Salah satunya, agar pemilu di Aceh bisa dianggap demokratis, perlu adanya tim pemantau yang kuat yang bisa menjaga kwalitas pemilu dan kehadiran pemantau dalam pemilu demokratis menjadi syarat terhadap kwalitas pemilu disuatu negara atau kawasan

Masih ingat Pemilu di Zimbabwe yang dianggap tidak demokratis karena Pemerintahan Mugabe melarang pemantau Pemilu. Dalam Pemilu yang demokratis berlaku prinsip semakin banyak pemantau semakin bernilai pesta rakyat tersebut

Oleh: M Adli Abdullah
*) Penulis adalah pengamat hukum dan politik

Source : Serambi Online, 17 Maret 2009

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply