JAKARTA – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, akhirnya bicara juga soal Aceh. Rupanya dia mengikuti berbagai persoalan di Aceh, termasuk konflik politik yang kini sedang terjadi. Bahkan, dia juga paham bahwa akar masalahnya bersumber dari putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut calon perseorangan dalam Pilkada Aceh.
“Itu (calon perseorangan) dibatalkan karena MK tidak mengerti latar belakang pasal itu,” kata Jusuf Kalla kepada wartawan The Atjeh Post, Jumat (12/8). Kalla menjelaskan makna kenapa calon persoarangan cuma berlaku sekali saja di Aceh.
“Itu cuma sekali saja ada calon perseorangan, karena pada 2007 itu dibentuk Partai lokal, di daerah lain kan enggak ada partai lokal,” katanya. “Ini memang amanat MoU Helsinki, jadi perubahan MK tidak sesuai dengan falsafah UU itu, “ kata Jusuf Kalla yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Konflik politik di Aceh berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-VIII/2010 yang mencabut pasal 256 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal ini menyebutkan, calon perseorangan (independen) hanya berlaku satu kali setelah Undang-undang itu diberlakukan.
Namun DPRA tak terima dengan pencabutan pasal itu. Sebab, selain mengutak-atik UUPA, cara itu dinilai tak menghargai kesepakatan damai MoU Helsinki.
Di sisi lain, para pendukung calon independen justru mendesak pencabutan pasal itu, agar calon independen masuk dalam Pilkada. Puncaknya, pada 28 Juni lalu, DPRA lewat voting mensahkan rancangan Qanun Pilkada tanpa memasukkan calon independen. Gubernur Irwandi Yusuf yang maju kembali dari jalur independen menolak menandatangani rancangan qanun itu.
Ketegangan politik pun berlanjut. Kisruh regulasi ini merembet hingga ketegangan antara eksekutif dan legislatif di Aceh. Bahkan, 17 partai politik pun bersatu untuk melindungi UUPA ini. Persoalan ini akhirnya dibawa ke Jakarta. Pada 3 Agustus lalu, Depdagri mempertemukan para elit politik Aceh di kantor Depdagri dan berakhir dengan kesepakatan cooling down selama selama sebulan dan dilanjutkan dengan pembahasan ulang qanun pilkada.
Sementara itu, Penasihat senior International Crisis Group (ICG), menilai Jusuf Kalla adalah figur yang lebih pantas untuk menengahi konflik politik di Aceh. Sebab, Kalla termasuk salah satu deklarator perdamaian di Helsinki, sekaligus dekat dengan pihak GAM dan pemerintah. Alasan lain, ia menilai kekerasan akan meningkat seandainya tidak ada pihak yang mengalah.
“Mungkin secara pribadi Jusuf Kalla masih bisa memainkan peranan, tetapi lambat laun Menko Polhukam (Djoko Suyanto) secara diam-diam mungkin bisa menolong juga, “ kata Sidney Jones.
Saat ditanyakan tanggapannya soal ini, Jusuf Kalla hanya berujar pendek sambil tersenyum, “Ya nanti kita pelajari lagi.” []
Source : Atjeh Post.com
Posted with WordPress for BlackBerry.