Jakarta, Kompas – Kecenderungan partai politik mengajukan kader ”instan”, baik dari artis, akademisi, maupun figur publik lain, dalam pencalonan anggota legislatif atau caleg Pemilu 2009 diyakini bertujuan sekadar mencari keuntungan sesaat. Langkah itu sah saja walaupun tetap jangan sampai dilakukan secara sembarangan dan tanpa pembatasan.
Cara perekrutan caleg secara instan, termasuk dengan membuka lowongan terbuka, bisa berdampak buruk bagi parpol. Sebab, hal itu bisa memicu sakit hati, kekecewaan, dan bahkan kemarahan para kader yang loyal terhadap parpol.
Demikian diingatkan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti dan Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampouw, Senin (18/8) di Jakarta. Mereka menanggapi maraknya artis dan figur publik direkrut sebagai caleg, serta fenomena parpol membuka lowongan terbuka untuk caleg (Kompas, 18/8).
”Idealnya, kader berkiprah sejak cabang hingga pengurus pusat. Kalau tiba-tiba masuk, namanya kader instan. Kelemahan kader instan, tidak ada kejelasan apakah orang itu paham visi-misi parpol dan ada kecenderungan mereka akan ’habis manis sepah dibuang’ oleh parpol,” ujar Ray.
Menurut dia, fenomena banyaknya parpol mengusung caleg ”instan” lantaran selama ini parpol kebanyakan tak memiliki ideologi yang jelas, apalagi visi pembangunan parpol yang jelas.
Akibatnya, banyak parpol menjadi pragmatis dan mengabaikan logika perlunya perbaikan sistem politik. Parpol banyak diuntungkan sebab keberadaan kader ”instan” memberikan legitimasi tertentu yang menguntungkan. ”Bayangkan saja keuntungan yang didapat parpol dengan tokoh yang selama ini dipahami terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu, lalu mereka merekrut aktivis HAM atau korban pelanggaran HAM,” ujar Ray.
Jeirry mengingatkan, praktik pengajuan caleg secara ”instan” harus dibatasi. Menurut penghitungannya, jumlahnya tidak boleh lebih dari 10 persen dari caleg yang akan diajukan.
Partai, kata Jeirry, tetap harus memprioritaskan kader lama dan loyal daripada menunjuk kader ”instan”. Keberadaan kader ”instan” memang tidak dilarang karena pada kondisi tertentu juga dapat menguntungkan parpol.
”Jangan cuma karena mencari keuntungan, seperti uang atau popularitas, kader ’instan’ itu dapat melenggang enaknya dan mendapat posisi strategis, yang seharusnya menjadi hak kader lama dan loyal, yang terbukti mengabdi pada parpol,” ujar Jeirry. Apalagi, kaderisasi di parpol juga terkait dengan kaderisasi kepemimpinan nasional.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional (PAN) Totok Daryanto di Jakarta, Senin, menegaskan, pengaderan adalah nyawa bagi parpol. Tanpa kaderisasi, partai tidak bisa bertahan lama. Dalam jangka pendek, jika kaderisasi tak berjalan, partai akan kesulitan mencari orang untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif atau di posisi eksekutif.
”Kaderisasi bukan kerja sekali jadi. Kita harus terus melakukannya dan tak boleh bosan. Kita punya mekanisme merekrut kader, bahkan ada diklat yang memberikan pembekalan kepada kader,” ujarnya. (dwa/mam)
Source : kompas.com