Jakarta, Kompas – Kader dari kalangan Islam lebih siap tampil dalam pemilu presiden mendatang ketimbang partai politik Islam yang akan maju dalam pemilu legislatif. Ketimpangan ini membuat kader Islam yang siap dalam persaingan kepemimpinan nasional terhambat oleh mekanisme demokrasi.
Ini dikatakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Yudi Latif dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia di Jakarta, Selasa (22/4).
”Kesiapan sumber daya manusia dari kalangan Islam ini jejaknya bisa dilihat sejak pemerintahan Soekarno. Hal itu semakin menguat pada masa Presiden Soeharto, ketika kelompok Islam mulai banyak yang dikirim untuk belajar di luar negeri dan perguruan tinggi Islam semakin banyak didirikan,” ujar Yudi.
Pada masa Soekarno, banyak kader dari kalangan Islam dan sosialis yang belajar di negara Barat. Sementara dari kalangan nasionalis banyak yang belajar di negara Timur.
”Begitu masuk era Soeharto, kader dari kalangan Islam dan sosialis ini berjaya, sedangkan intelektual di kalangan nasionalis sedikit sekali yang mendapat kesempatan dan bahkan traumanya membuat mereka lama bangkit,” ujarnya.
Ray Rangkuti mengatakan, partai Islam sebenarnya berpeluang menang dalam pemilu presiden. Salah satu alasannya karena partai Islam mampu menawarkan wajah baru untuk bersaing dalam pemilihan presiden mendatang. ”PDI-P, Partai Golkar, dan mungkin Partai Demokrat hanya bisa menyodorkan wajah daur ulang,” ujarnya.
Namun, menurut Ray, kesiapan kader kepemimpinan Islam dalam pentas nasional ini tidak diimbangi dengan organisasi politik atau parpol yang kuat. Kecuali, jika partai Islam yang ada mau bersatu atau paling tidak membuat koalisi yang lebih permanen. Sebuah koalisi yang tidak sekadar untuk memenuhi persyaratan pengajuan calon presiden, tetapi juga sudah meluas pada program yang sama.
”Kalau saja partai Islam bisa mengajukan kader muda, punya visi kebangsaan tegas, punya komitmen kepada rakyat yang jelas, mayoritas masyarakat pasti akan mendukung kader baru ini,” katanya. (MAM)
Tulisan ini dikutip dari Kompas Cetak, Rabu, 23 April 2008