Purnawirawan Dianggap Punya Jaringan dan Dana
Jakarta, Kompas – Partai politik menjadikan purnawirawan sebagai kader, bahkan menjadi calon pemimpin nasional, karena kaderisasi di lingkungan parpol masih lemah. Bukti lain lemahnya kaderisasi itu adalah parpol membuka lowongan kepada publik untuk menjadi calon anggota legislatif atau caleg.
Demikian penilaian pengamat politik dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Andreas Pandiangan, Minggu (3/8) di Jakarta. ”Untuk mendapatkan kader yang sudah jadi, paling mudah parpol merekrut purnawirawan TNI/Polri. Apalagi, masih ada persepsi dalam masyarakat kita bahwa purnawirawan itu bisa bersikap tegas dibandingkan sipil,” ujarnya.
Jaringan dan dana
Secara terpisah, pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Totok Sarsito, menuturkan, banyaknya partai yang menggaet purnawirawan sebagai pengurus, calon pemimpin, atau calon kepala daerah karena purnawirawan mempunyai dana dan jaringan yang luas. Keberlangsungan kehidupan parpol bukan hal yang mudah dan murah.
”Purnawirawan dianggap memiliki uang banyak. Membentuk partai bukan hal yang murah. Partai butuh pendanaan yang kuat dan kontinu,” kata Totok.
Selain itu, purnawirawan dianggap memiliki pengalaman dalam memimpin dan berpengaruh terhadap kelompok tertentu sehingga lebih disukai parpol. ”Selain memiliki pengaruh terhadap para prajuritnya semasa ia menjabat, purnawirawan biasanya juga dianggap punya jaringan luas terhadap berbagai kalangan. Sedangkan tokoh partai cenderung mengutamakan kepentingan golongannya sehingga cenderung kurang disukai rakyat saat dimunculkan sebagai calon pemimpin,” ujar Totok.
Namun, Andreas menegaskan, dalam sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada), terbukti jaringan yang dimiliki calon dari kalangan sipil justru lebih kuat dibandingkan dengan calon dari purnawirawan. ”Soal purnawirawan lebih memiliki dana, apa betul?” katanya lagi.
Andreas mengakui, setelah 10 tahun gerakan reformasi, yang dibidani kalangan sipil, tidak banyak memunculkan perubahan, posisi purnawirawan untuk kembali muncul dalam perpolitikan nasional memang menguat. Rakyat pun menaruh harapan.
Totok menambahkan, gabungan fungsi mesin politik dan figur yang dianggap mampu dan dipercaya akan menjadi kekuatan besar. Meski begitu, diakuinya, tak selamanya purnawirawan berhasil membangun kekuatan politik. Wiranto dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Prabowo Subianto dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) masih harus membuktikan dirinya pada Pemilu 2009.
Berdampak positif
Di Yogyakarta, pakar politik dari Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, menuturkan, banyaknya purnawirawan TNI/Polri yang masuk dalam kancah politik praktis, bahkan mendirikan partai, tak perlu disikapi negatif. Peran mereka justru bisa menguntungkan dengan syarat, kalangan purnawirawan mampu belajar dari pengalaman masa lalu, tidak bersifat represif dan otoriter, serta tetap mengedepankan demokratisasi.
”Kalangan militer memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan sipil. Dengan cara kerja militer, akan memungkinkan tergalangnya kembali cara kerja yang lebih terorganisir, tertata rapi, dan terencana,” ujar Purwo.
Kondisi itu bisa menguntungkan sebab saat ini efektivitas kerja pemerintahan sangat buruk. Sebaliknya, kalangan militer relatif lebih mudah membangun efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, militer memiliki kelemahan, tak sabaran dan tidak terbiasa mendengar. Hal itu bisa mengembalikan pada era otoriterisme jika tidak dikawal.
Menurut Purwo, sepanjang kalangan militer sanggup menarik pelajaran dari masa lalu, dampak positif kehadiran purnawirawan bisa diperkuat. ”Tantangannya adalah sanggupkah keunggulan militer dikombinasikan dengan semakin kuatnya masyarakat sipil,” katanya. (eki/rwn/tra)
Source : kompas.com