Panggung politik nasional dalam sembilan bulan ke depan, tepatnya mulai 12 Juli 2008 sampai dengan 5 April 2009, akan menyuguhkan berbagai atraksi yang dilakukan para elite politik.
Tontonan yang merupakan bagian dari pesta akbar pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, itu diperkirakan akan semakin meriah dan variatif dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara.
Tujuan berbagai pertunjukan tersebut hanya satu, merebut hati rakyat serta meyakinkan publik bahwa partai dan para kandidat mereka pantas mendapatkan dukungan.
Pentas politik dipastikan riuh rendah dengan bujuk rayu, janji manis, dan tebar pesona karena pada tahun 2008 masih menyisakan puluhan pilkada yang harus diselesaikan sampai dengan Desember tahun ini.
Masa panjang kampanye mempunyai tujuan pokok agar masyarakat mempunyai cukup waktu untuk memperdebatkan gagasan yang ditawarkan partai politik serta agenda prioritas kebijakan pilihan lima tahun ke depan. Namun, berdasarkan pengalaman selama 10 tahun terakhir ini, kampanye semakin terjebak pada upaya habis-habisan sekadar membangun citra politisi untuk menjadi tokoh yang populer.
Usaha tersebut dilakukan melalui tampilan di berbagai media, disertai dengan retorika dan rengekan politik agar dapat memberikan kesan dekat, peduli, berempati, serta bersedia berjuang untuk rakyat.
Perdebatan yang sehat, rasional, serta terfokus justru tidak mendapatkan tempat dalam kampanye selama ini. Tragisnya, dramatisasi politik tersebut segera berakhir setelah mereka berhasil mendapatkan dukungan masyarakat dan duduk di posisi yang diinginkannya.
Prosedural
Kampanye membangun imaji (citra) tersebut semakin menemukan momentumnya dalam demokrasi prosedural. Prosedur telah menjadi kekuatan yang dapat mengupacarakan dan mengorbitkan siapa pun yang populer untuk menjadi penguasa. Visi dan misi hanya merupakan bagian dari persyaratan prosedural yang harus dipenuhi politisi untuk meraih kekuasaan.
Proses seperti ini tentunya hanya akan memproduksi elite politik yang belum dapat dijamin komitmennya atas aspirasi masyarakat. Alih-alih berempati kepada penderitaan rakyat, yang terjadi justru melakukan perselingkuhan politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu, antara lain, bisa disaksikan pada kampanye para calon kepala daerah Provinsi Jawa Timur yang mengumbar janji. Sementara tak satu pun kandidat berani menyatakan akan menuntaskan kasus Lapindo, bahkan menyinggung kasusnya pun mereka tak mempunyai nyali.
Perekrutan pemimpin semacam itu terbukti tidak bakal menjamin kinerja politik para pemegang kekuasaan. Hal yang sangat berbeda terjadi di negara yang telah mapan kelembagaan politik dan birokrasinya, di mana siapa pun yang memegang kekuasaan akan mendapatkan dukungan sistem yang sudah stabil. Alhasil, kinerja pemerintahan tidak akan terganggu produk yang dihasilkan proses politik.
Adapun di Indonesia, siapa pun mempunyai keabsahan sebagai penguasa bilamana berhasil melalui serangkaian prosedur formal yang ditetapkan peraturan perundangan.
Tetapi, apakah yang bersangkutan mempunyai wawasan, kemampuan, dan keterampilan mewujudkan janji-janji saat kampanye, hal itu menjadi tidak relevan.
Artinya, pencitraan bukan lagi sekadar memoles sisi negatif politisi yang secara manusiawi mempunyai kekurangan, melainkan sudah menjadi lampu aladin yang diharapkan dapat mengubah hitam menjadi putih.
Rakyat yang miskin serta mengidap amnesia kolektif menjadi lahan yang subur bagi politik pencitraan. Janji-janji muluk dan sikap bermanis-manis menjadi senjata ampuh untuk meninabobokan rakyat.
Harus kritis
Oleh sebab itu, masyarakat harus didorong agar semakin kritis dan tidak mudah tergiur dengan mulut manis, senyuman ramah, serta gerak-gerik teatrikal yang memang sengaja dilatih untuk tampil dalam sandiwara politik tersebut.
Untuk menetralisasi ekses-ekses kampanye pencitraan politik, diperlukan gerakan masyarakat yang terorganisasi dan solid, terutama dalam hal mencari dan menyajikan rekam jejak politisi.
Hal itu perlu dilakukan agar proses demokratisasi tidak dibajak oleh elemen-elemen kekuatan lama yang dewasa ini sangat getol membangun citra dan menebarkan janji berjuang untuk rakyat melalui partai politik.
Dalam jangka menengah dan panjang, agenda untuk membangun lembaga-lembaga politik dan pemerintahan harus didukung bersama. Tujuannya, untuk melembagakan perekrutan politik dan sirkulasi elite secara damai dan beradab.
Melalui pembangunan institusi politik, ekses-ekses politik pencitraan semakin dapat dikurangi. Kampanye dalam waktu panjang harus dimanfaatkan untuk membangun kredibilitas parpol dan para kandidat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas mandat kekuasaan yang dipercayakan rakyat kepada mereka.
J. Kristiadi
Source : kompas.com