Home > News > Opinion > Kampanye dan Pemasaran

Senin, 7 Juli 2008,Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 34 partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilu 2009.

Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 24 partai peserta Pemilu 2004 sekaligus memupus harapan terjadinya proses penyederhanaan (penyusutan) secara alamiah jumlah kontestan pemilu.Kita masih ingat,Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai. Di luar opini mengenai menurunnya kinerja regulator parpol, ada dua fakta di balik angka 34 itu.Fakta pertama, parpol tetap dianggap sebagai komoditas strategis sebagai produk politik yang masih layak dipasarkan.

Lebih dari itu,setidaknya di mata para pengurusnya, ke-34 partai itu memastikan bahwa kehadiran dirinya amat strategis dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta kedua, kini ke-34 partai itu siap bertarung merebut simpati calon pemilih. Mereka akan segera menemui kita selaku khalayak politik.Bahkan di antaranya ada yang sudah menyapa kita jauh sebelum KPU meloloskannya sebagai kontestan pemilu. Mereka akan merayu dan meyakinkan supaya kita memilih satu di antara mereka.

Saturated Politics

Fakta pertama adalah hak mereka untuk mengklaim dirinya penting, bahkan sine qua non dalam berdemokrasi. Fakta kedua adalah kewajiban mereka untuk mencari calon pemilih guna membuktikan dirinya dibutuhkan oleh publik. Yang tak boleh dilupakan oleh partai-partai politik adalah kenyataan bahwa publik kita sedang mengalami kejenuhan politik (saturated politics).

Penyebab utamanya justru adalah pemilihan,mulai dari pemilu legislatif, presiden, gubernur,bupati/ walikota hingga kepala desa. Dalam rentang 2004–2008, umumnya warga yang memiliki hak pilih setidaknya sudah menggunakan hak pilihnya sebanyak tiga kali: pemilihan anggota legislatif, presiden, dan gubernur/ bupati/wali kota. Bahkan ada yang sudah empat kali: pemilihan anggota legislatif, presiden, gubernur,dan bupati/wali kota.

Karenanya bisa dipahami jika akhir-akhir ini partisipasi politik dalam sejumlah pilkada tidak melebihi 60%.Itu pun sudah ditopang oleh popularitas kandidat, entah itu incumbent, tokoh politik nasional ataupun selebritis.Para pemilih rupa-rupanya mengalami pencerdasan politik dari pemilihan ke pemilihan. Tentu saja situasi demikian mengharuskan parpol untuk menyiasati pasar politik yang jenuh tersebut menjelang Pemilu 2009.

Diperlukan kreativitas yang lebih variatif agar para pemegang hak suara mau datang ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS) pada waktunya nanti. Berita baiknya boleh jadi penurunan partisipasi pemilihan tersebut menandakan bahwa pemilu di Indonesia sedang memasuki pemilu substantif. Rakyat sudah bosan dengan ritual pemilihan. Mereka sekarang ingin tahu ”isi” parpol atau kandidat politik pilihannya.

Jika indikasi ini benar adanya, hal itu pertanda tugas berat sedang menanti para pengurus parpol. Mereka harus mengomunikasikan parpolnya dengan baik dan benar. Terutama menyangkut tata caranya agar mudah dipahami maksudnya oleh calon pemilih. Parpol juga harus mampu melakukan komunikasi yang dapat dipercaya oleh konstituen.

Sudah barang tentu untuk mencapai dua dimensi komunikasi politik tersebut kita tidak dapat mengandalkan kampanye politik yang sudah kita kenal. Karena, lazimnya, dalam kampanye politik berbentuk arak-arakan di jalanan kita tak akan mendapatkan komunikasi politik yang baik dan benar itu. Dalam kampanye politik seperti itu, khalayak hanya dijejali janji politik dan dibakar oleh yel-yel politik.Unsur emosionalnya lebih menonjol daripada unsur rasionalnya.

Pemasaran Politik

Bila pawai politik tidak dapat kita andalkan untuk membuat konstituen paham atas substansi (visi, misi, tujuan, dan program) parpol, mau tak mau kita harus melirik pada pendidikan politik yang lebih riil.Namun,harus diakui dengan jujur, dalam menghadapi pemilu tak ada waktu bagi parpol untuk melakukan pendidikan politik. Karena itulah parpol mesti memakai pemasaran politik sebagai sarana mencapai tujuan politiknya.

Kelebihan pemasaran politik di antaranya adalah kita dapat memakai pendidikan sebagai pendekatan. Istilah gampangnya, menjual sambil mendidik. Tujuannya adalah menjual parpol,tetapi caranya adalah dengan mendidik konstituen sehingga mereka melek politik. Untuk jelasnya mari kita jawab dua pertanyaan: apakah pemasaran politik itu? Bilamana pemasaran politik juga sebagai pendidikan politik? Pemasaran politik adalah upaya menjual produk parpol (political product).

Menurut Lees-Marshment (Lilleker dan Lees-Marshment, 2005: 5–6),produk partai politik terdiri atas delapan komponen. Pertama, kepemimpinan (leadership) yang mencakup kekuasaan, citra, karakter, dukungan, pendekatan,hubungan dengan anggota partai, dan hubungan dengan media.

Kedua,anggota parlemen (members of parliament) yang terdiri atas sifat kandidat, hubungan dengan konstituen.Ketiga, keanggotaan (membership) dengan komponen-komponen kekuasaan, rekrutmen, sifat (karakter ideologi, kegiatan, loyalitas, tingkah laku, dan hubungan dengan pemimpin. Keempat, staf (staff), termasuk di dalamnya peneliti, para profesional, dan penasihat.Kelima, simbol (symbol) yang mencakup nama, logo, lagu/ himne.

Keenam, konstitusi (constitution) berupa aturan resmi dan konvensi. Ketujuh, kegiatan (activities), di antaranya konferensi, rapat partai. Kedelapan, kebijakan (policies) berupa manifesto dan aturan yang berlaku dalam partai. Jika kita cermati dengan saksama, kedelapan produk tersebut tidak lain tidak bukan adalah ”isi perut” partai politik.

Seandainya kedelapan produk itu yang dipasarkan kepada konstituen, dengan sendirinya akan berlangsung proses pendidikan politik.Konstituen menjadi mafhum apa yang menjadi gagasan, karsa, dan karya serta orang-orang sebuah parpol. Bilamana semua parpol melakukan hal yang sama tentu khalayak dapat membandingkan isi perut antarparpol; partai mana yang lebih menjanjikan perubahan dan partai mana yang hanya membual saja.

Pada gilirannya, hal itu akan menciptakan para pemilih yang rasional. Mengingat adanya partai baru, terang saja produk ke-34 parpol peserta Pemilu 2009 itu tidak sama, khususnya dalam hal anggota parlemen.Kekurangan ini sebetulnya bisa diisi dengan daftar calon anggota legislatif yang akan bertarung. Jadi tidak ada masalah bagi partai baru sekalipun untuk melakukan pemasaran politik.

Pentingnya Media Promosi

Seperti halnya dengan kegiatan penjualan produk lain,pemasaran politik juga amat memerlukan media–– baik media massa maupun bukan–– sebagai sarana promosi.Untuk itu mau tak mau parpol harus bekerja secara konseptual dan didukung oleh metodologi tertentu. Penggunaan media promosi memang harus dipertimbangkan secara matang sesuai target pemasaran yang hendak dicapai.

Dalam pemasaran, termasuk pemasaran politik, memang semua langkah mesti diperhitungkan secara cermat.Alhasil, kegiatan pemasaran politik akan membuat parpol memiliki manajemen politik yang baik. Pemasaran politik niscaya membuat parpol menjadi partai yang modern di samping membuat konstituen mendapat pencerahan politik.(*)

Dr Ibnu Hamad, MSi, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kampanye-dan-pemasaran-2.

Source : Uni Sosial Demokrat

You may also like
Political Marketing itu “Menjual Figur”
Lembaga Survey dan Konsultan Marketing Politik; Antara Data Statistik, Teori Politik, Analisis Sosial-Budaya dan Ekskusi Program Kreatif
Suara Rakyat, Suara Siapa?
The Shopping Aisles of Democracy: New insights into the consumer approach to campaigning and governance.

Leave a Reply