Jika ada yang baru pada Pemilu 2009, masa kampanye ”ibu hamil” adalah salah satunya. Disebut ”ibu hamil” karena kampanye akan berlangsung sepanjang usia kandungan rata-rata ibu hamil.
Merujuk lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2008, jadwal kampanye dilaksanakan selama hampir sembilan bulan, mulai 12 Juli 2008 hingga 5 April 2009.
UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 81 huruf a hingga g menyebut, kampanye dapat dilakukan melalui tujuh metode, yakni; pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan elektronik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan perundang-undangan.
KPU lalu memilah tujuh metode itu dalam jadwal kampanye, yang dibagi dalam dua babak. Pertama, seluruh metode kampanye dapat dilakukan oleh peserta pemilu sejak jadwal kampanye dimulai hingga masa tenang, kecuali rapat umum. Karena metode ini, kampanye baru boleh dilaksanakan pada babak kedua selama 21 hari, 16 maret 2009 hingga 5 April 2009.
Pelanggaran babak pertama
Meski kampanye babak pertama melarang peserta pemilu menyelenggarakan rapat umum, pada fase ini diprediksi akan menimbulkan gelombang pelanggaran. Asumsi ini berangkat dari samarnya aturan kampanye yang dibuat KPU. Pelanggaran amat mungkin terjadi, khususnya pada metode kampanye yang disebut terakhir, yakni ”kegiatan dalam bentuk lain”, yang pada Pasal 13 Ayat 7 Peraturan KPU No 19/ 2008 dijelaskan bisa berupa kegiatan sosial dan budaya, perlombaan olahraga, jalan santai, kesenian dan bazar, hingga istigotsah dan tablig akbar.
Bagi peserta pemilu, berbagai kegiatan itu membuka peluang untuk menggelar kegiatan yang menyerupai rapat umum. Dengan kemasan sedemikian rupa, amat sulit membedakan kedua metode kampanye itu. Hal ini dapat dijadikan dalih oleh peserta pemilu. Padahal, Pasal 269 UU No 10/2008 menyebut, pelanggaran kampanye yang tidak sesuai jadwal semacam itu masuk kategori tindak pidana pemilu, dengan ancaman hukuman kurungan maksimal satu tahun dan denda maksimum dua belas juta rupiah.
Selain masalah aturan yang tidak jelas dan interpretasi metode kampanye yang multitafsir, masalah lain yang muncul adalah pada proses penyelesaian pelanggaran. Menilik UU No 10/2008, Pasal 253-Pasal 256, penyelesaian pidana pemilu bisa memakan waktu hingga dua bulan. Dimulai sejak laporan disampaikan pengawas pemilu, diteruskan ke polisi, diajukan ke penuntut umum (bila berkas tak lengkap bisa berputar ke polisi lagi), lalu masuk pengadilan, hingga mendapat putusan dan dilaksanakan (upaya hukum terakhir dan mengikat berujung di pengadilan tinggi).
Sementara Pasal 128 mengatakan, pengawasan oleh pengawas pemilu serta tindak lanjut KPU atas temuan atau laporan pelanggaran yang diterima tak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye. Artinya, di satu sisi proses hukum berjalan, sementara pada sisi lain, tidak ada implikasi apa pun terhadap jadwal kampanye peserta pemilu yang melakukan pelanggaran.
Pada contoh kasus pelanggaran kampanye babak pertama itu, peserta pemilu yang menggelar ”rapat umum” di sembarang babak, misalnya, akan menikmati apa yang disebut ”pemilu damai”. Ini terjadi karena tidak ada sanksi yang tegas, berefek hukuman langsung dan berdaya pukul kepada yang melakukan pelanggaran. Maka, gelombang pelanggaran kampanye babak pertama tinggal menunggu waktu.
Selain menjadi kampanye terunik dalam sejarah pemilu di Indonesia karena pelaksanaannya sembilan bulan dan dibagi dua babak, kampanye Pemilu 2009 diperkirakan akan menjadi pemilu dengan catatan pelanggaran terbanyak. Sebab, selain diikuti 40 parpol (meningkat hampir 70 persen dibandingkan peserta Pemilu 2004), terdiri dari 34 parpol nasional ditambah enam parpol lokal di Aceh, gelombang pelanggaran amat mungkin terjadi karena waktu kampanye yang panjang. Di sini, perilaku buruk parpol dalam melanggar aturan main kampanye mengonfirmasi dugaan itu. Logikanya, semakin banyak jumlah parpol dan panjangnya waktu kampanye, potensi pelanggarannya kian tinggi.
Pengawas pemilu
UU No 22/2007 tentang penyelenggara pemilu mengatur tugas Bawaslu, Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dan peserta pemilu untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.
Meski telah berbentuk badan permanen dan tak lagi bersifat ad hoc, Bawaslu belum diberi kewenangan ideal oleh UU untuk mengawasi jalannya pemilu. Dengan keterbatasan wewenang, Bawaslu seakan hanya menjadi pelengkap hajat demokrasi. Bawaslu ”tidak gagah” sebagai peniup peluit pemilu dan sebatas hakim garis. Wasitnya adalah KPU karena berhak memberi sanksi pelanggaran meski pada domain administratif.
Dari dua UU yang terkait Pemilu 2009, UU No 22/2007 dan UU No 10/2008, kewenangan Bawaslu lebih banyak bersifat meneruskan laporan dan memberi rekomendasi terhadap dugaan dan/atau terjadinya pelanggaran pemilu. Ia tidak dalam posisi melakukan eksekusi atas pelanggaran yang terjadi. Di sinilah susahnya, potensi pelanggaran akan datang bergelombang tetapi kemampuan Bawaslu amat terbatas.
Sejatinya, Bawaslu harus menjadi ”anjing penjaga” pemilu yang ditakuti, setidaknya dihormati dan memiliki kewibawaan. Hal ini agar semua unsur yang diawasi, penyelenggara maupun peserta pemilu, berhati-hati untuk tidak melanggar.
Namun, dengan segala kelemahan fungsi dan wewenangnya, Bawaslu hanya akan dianggap sebagai tukang protes, yang boleh jadi, peringatan dan rekomendasinya akan diabaikan. Jika demikian, pelanggaran akan menjadi amat biasa, bahkan dianggap tidak penting untuk ditindak.
Terlepas dari fakta politik itu, seharusnya Bawaslu tidak kalah terhadap sistem penyelenggaraan pemilu yang mengeliminasinya. Bawaslu masih mampu berdaya. Syaratnya hanya mau, ngotot, dan lasak membersihkan praktik curang pemilu. Melakukan terobosan kreatif atau semacam lompatan radikal tetapi legal (tidak bertentangan dengan peraturan), bisa dijadikan sebagai gagasan awal menyusun konsep pengawasan yang efektif dan mempunyai efek jera. Sedikit main gertak juga tak apa.
Bawaslu harus berdaya. Bernapas panjang, berdaya gertak tegas, berdaya tekan kuat, dan berdaya jangkau luas untuk meneguhkan komitmennya mengawasi instrumen mahal demokrasi, setidaknya untuk sembilan bulan masa kampanye. Pada kampanye babak pertama, publik akan mengukur keberdayaan Bawaslu dalam mengawasi aneka kegiatan kampanye, khususnya praktik curang pelaksanaan metode kampanye babak kedua, yang dipaksakan diselenggarakan pada kampanye babak pertama.
Dampak kampanye
Sejatinya, kampanye bukan monopoli parpol atau peserta pemilu. Kampanye adalah bagian penting sarana pendidikan politik. Jika tidak dikelola dengan baik, kampanye akan kontraproduktif bagi pendewasaan wawasan politik masyarakat. Alih-alih memilih calon yang ada, kampanye boleh jadi akan kian menyadarkan masyarakat untuk tidak memilih dalam pemilu.
Diharapkan, kampanye dua babak ini dilaksanakan oleh penyelenggara, pengawas khususnya peserta pemilu, dengan berpedoman pada asas jujur, adil, kepastian hukum, dan tertib. Dengan demikian, berbagai bentuk pelanggaran dapat dihindari dan diminimalisasi.
Said Salahudin Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Jakarta Raya
Source : kompas.com
terima kasih telah memuat tulisan saya disini. sangat membantu disaat saya kesulitan menelusurinya di Kompas.
salam hangat,
Said Salahudin
Koordinator SIGMA/ Direktur Pemantauan LIMA
terima kasih pak Said, semoga membantu bapak dalam mengarsip tulisan, salam hangat dari kami
admin siwah.com