Home > News > Opinion > Kampanye Terbuka di Aceh Bukan Ukuran Kekuatan Parpol

Kampanye Terbuka di Aceh Bukan Ukuran Kekuatan Parpol

Sejak bergulirnya era kampanye terbuka tanggal 16 Maret 2009 sampai tulisan ini dibuat, perhelatan kampanye terbuka di berbagai Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kurang menarik, lesu dan tidak bersemangat, hal ini sangat kontras dengan pertumbuhan demokrasi yang sangat cepat pasca penandatanganan MoU Helsinki. Bahkan, ikrar Pemilu damai yang digembar-gemborkan di depan Masjid Raya Baiturrahman serta dicanangkan di berbagai Kabupaten/Kota tidak diindahkan sama sekali, terbukti Brigade 8 PKS Aceh berani mengancam Partai Aceh yang diduga melakukan tindakan kriminal dengan memukul kader PKS di Lhokseumawe ataupun melakukan tindakan tidak terpuji kepada kader wanita PKS di Bireuen tanggal 16 Maret 2009 ketika konvoi bersama parpol mengawali rangkaian kampanye terbuka.

Memang ada beberapa partai politik nasional dan partai politik lokal yang menggelar kampanye terbuka dengan melibatkan massa cukup banyak antara lain Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh, Partai Golkar maupun Partai Demokrat yang menurut rencana akan menghadirkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 29 Maret 2009 di Stadion Lhong Raya, Banda Aceh, dimana dalam surat DPD Partai Demokrat Provinsi NAD kepada KIP Aceh disebutkan estimasi massa yang akan datang sekitar 50.000 orang.

Sementara itu, kampanye yang dilakukan oleh PKS serta PPP memang sempat menghadirkan massa agak banyak, namun tidak mencapai 5000 orang, sedangkan sejumlah partai lainnya baik para caleg atau parpolnya tidak melakukan kampanye secara rapat umum atau terbuka melainkan dengan kampanye yang bersifat door to door. Berbagai alasan disampaikan oleh para parpol ini antara lain tidak adanya dukungan finansial dari pengurusnya di tingkat Pusat/Jakarta, menilai kampanye terbuka tidak efektif untuk meraih suara dengan sistem perolehan suara terbanyak dan parliamentary threshold sekarang ini, masih maraknya intimidasi, serta karena parpol tersebut tidak memiliki perwakilan di Aceh yang notabene berarti tidak memiliki massa pendukung di Aceh.

Namun pertanyaannya sekarang adalah apakah benar kampanye terbuka yang dilakukan oleh partai politik berarti menggambarkan kekuatan nyata massa parpol yang bersangkutan yang nota bene berarti menggambarkan bakal jumlah kursi yang akan mereka peroleh dalam Pemilu 9 April 2009 mendatang?
Ternyata jawabannya untuk Aceh adalah : TIDAK. Mengapa? Situasi dan kondisi di Aceh menjelang Pemilu legislatif sangat berbeda dengan Provinsi lainnya, termasuk Provinsi bekas konflik lainnya seperti Maluku, Papua ataupun Irian Jaya Barat, sebab disamping karena di Aceh ada partai politik lokal (parlok), namun di Aceh juga masih marak dengan aksi-aksi kekerasan politik dan vandalisme politik seperti pelemparan granat, pembakaran mobil ketua partai di Aceh Singkil, intimidasi/teror/ancaman sampai ke desa-desa di pedalaman Aceh, teror melalui SMS sampai kepada perhatian yang cukup besar dari peninjau asing, bahkan sebelum dilaksanakan Pemilu saja sudah berkeliaran para peninjau asing tersebut seperti kedatangan Konjen Amerika Serikat di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang katanya untuk menjajaki kerjasama investasi bidang pertanian, ternyata juga memantau serta melakukan pengamatan dan penggambaran ketika terjadi pelemparan granat di Ponsel Radja di Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah, bahkan utusan Konjen AS juga sempat ke Aceh Jaya dan sejumlah tempat lainnya. Bahkan, kampanye terbuka yang dilakukan Partai Rakyat Aceh juga dihadiri oleh orang asing, termasuk peneliti dari Uni Eropa juga \”berkeliaran\” di Kabupaten Pidie dengan dalih ingin mengetahui persiapan pelaksanaan Pemilu di Pidie. Pertanyaannya? mengapa yang ditinjau adalah daerah atau wilayah yang berkategori \”hot spot\” dan pernah menjadi basis GAM di era konflik?

Sekali lagi, di Aceh ternyata kampanye terbuka yang dilakukan partai politik lokal ataupun partai politik nasional bukanlah menggambarkan kekuatan nyata mereka sebenarnya, sebab selain karena massa bersifat floating mass juga massa menghadiri kampanye partai politik juga disebabkan karena faktor adanya intimidasi/ancaman jika tidak menghadiri juga karena ekses mobilisasi massa yang dilakukan partai tersebut sebelum jadwal kampanye.

Tidak percaya? Salah satu parlok yang akan melakukan kampanye akbar terakhirnya di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya pada 1 April 2009 sudah jauh-jauh hari merencanakan mobilisasi massa mereka ke Banda Aceh persis seperti ketika penyambutan Tgk Hasan Tiro beberapa waktu yang lalu, bahkan isu yang berkembang agar masyarakat semakin tertarik datang ke Banda Aceh dikatakan bahwa Hasan Tiro akan datang pada 1 April 2009 tersebut, setidaknya informasi ini berkembang di berbagai mailing list.

Bahkan dengan kedok silaturahmi dan diundang, seringkali mobilisasi massa tersebut terjadi seperti ketika ada rencana kampanye salah satu partai politik di Sabang, penulis mendapatkan informasi bahwa ada sebanyak 150 kendaraan dari massa parlok tersebut yang sebenarnya berdomisili di wilayah Pase atau Aceh Utara dan sekitarnya bergerak ke Sabang dengan menggunakan kapal ferry BRR. Bahkan dari Calang, Kabupaten Aceh Jaya, konon kabarnya kalangan Kepala Dinas dan Kepala Badan juga ditekan atau diintimidasi oleh pihak yang tidak demokratis untuk memenangkan salah satu parlok secara mayoritas, termasuk akan ada rencana mobilisasi massa untuk menghadiri kampanye salah satu parlok di Banda Aceh pada 1 April 2009 mendatang.
Seharusnya Panwaslu Provinsi ataupun Panwaslu Kabupaten/Kota diback up oleh aparat keamanan dan aparat penegak hukum harus melarang kegiatan mobilisasi ini, sebab ada larangan dalam aturan tentang kampanye mendatangkan masyarakat dari daerah lainnya.

Ada beberapa tujuan politis yang ingin dicapai dengan melakukan mobilisasi massa dalam sebuah kampanye, namun setidaknya hal tersebut sebagai show of force atau unjuk kekuatan serta pembentukan opini publik bahwa massa parpol tersebut sangat kuat, sehingga menimbulkan faktor deterence bagi masyarakat untuk tertarik dan ikut-ikutan memilih parpol tersebut. Ini jelas secara tidak langsung merupakan penipuan politik, karena masyarakat dikecohkan dengan cipta situasi dan cipta kondisi yang dilakukan pengurus partai politik tersebut.

Padahal, sebuah partai politik dianggap sebagai parpol yang kuat dan layak dipilih jika visi dan misi jelas ketika terpilih nanti, tidak menjadi parpol preman atau menjalankan politik belah bambu dan politik manajemen konflik, administrasi partai berjalan rapi, ditunjang mutu SDM yang kredibel dan mampu serta selalu mengedepankan tabayyun atau silaturahmi bukan mengedepankan intimidasi, teror ataupun ancaman. Sekali lagi, kampanye terbuka atau rapat umum yang digelar salah satu parpol bukan jaminan atau bukan bukti mereka adalah parpol yang kuat dan layak dipilih, sehingga jangan sampai tertipu. Apalagi, kalau kampanye terbuka tersebut ada group band atau mendatangkan penyanyi dangdut sudah pasti masalah ini lebih menarik diperhatikan oleh masyarakat di Aceh yang nota bene haus hiburan daripada isi kampanye itu sendiri. Nah lho!

Oleh Tommy Chang Kautsar dan Tony Priyono
Kedua penulis adalah pemerhati masalah Aceh dan masalah strategis Indonesia. Sedang bekerja di Aceh sebagai peneliti masalah post conflict.

Source : Harian Umum Pelita

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply