Peluang partai politik kecil untuk masuk parlemen pada Pemilu 2014 tampaknya akan semakin kecil jika ambang batas parlemen (parliamentary threshold) antara 3-5 persen jadi diberlakukan. Dari sembilan parpol, Pemilu 2014 bisa-bisa hanya menyisakan empat parpol besar, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, dan PKS (parliamentary threshold 5 persen). Atau ditambah empat parpol lagi, yaitu PAN, PPP, PKB, dan Partai Gerindra (parliamentary threshold 3 persen). Sisanya, meski mereka menjadi kontestan pemilu, suara mereka akan hilang dan tak dihitung sama sekali.
Sejarah pemilu di Indonesia menunjukkan, partisipasi kontestan pemilu selalu menimbulkan persoalan tersendiri. Fenomena ini sangat terasa pada Pemilu 1955. Pada pemilu pertama itu tercatat lima kategori peserta pemilu, yaitu partai politik (parpol) bercakup nasional (17), parpol bercakup lokal (4), organisasi kemasyarakatan (ormas) bercakup nasional (5), ormas bercakup lokal (4), dan perkumpulan pemilih (3). Karena menghimpun peserta yang mewakili kelompok di dalam masyarakat, Pemilu 1955 sering disebut sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia.
Dari hasil pemilu ini, empat partai besar (PNI, Masjumi, NU, dan PKI) menguasai mayoritas (76,9 persen) parlemen. Sisanya tersebar pada parpol papan tengah, seperti PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, dan Perti, dengan distribusi 4-8 kursi. Partai tingkat lokal ormas dan kelompok pemilih mendapat bagian kursi paling kecil, 1-2 kursi.
Meski terlihat struktur politik yang timpang antara parpol besar dan parpol kecil, keikutsertaan kelompok-kelompok kecil dalam parlemen mencerminkan adanya akomodasi sistem pemilu terhadap keterwakilan kelompok minoritas di parlemen.
Dalam kerangka ini, kehadiran kelompok-kelompok minoritas yang berskala lokal sangat signifikan dalam memperkenalkan mekanisme pemilu kepada masyarakat pedesaan. Faktanya, kelompok-kelompok minoritas yang menjelma dalam partai dan ormas lokal serta kelompok pemilih individual mendapat dukungan yang kuat di wilayah-wilayah pedesaan.
Mengakomodasi perbedaan sosial
Pemilu 1955 dan 1999 ”berhasil” mengakomodasi perbedaan-perbedaan sosial, seperti agama dan etnis, ke dalam sebuah kompetisi politik dalam rangka mengantar wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Meskipun jumlah kursi parlemen yang diperebutkan relatif lebih kecil, semua suara rakyat diperhitungkan dengan baik. (Sultani/Litbang Kompas)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.