Jakarta, Kompas – Politik pencitraan di kalangan politisi demi memenangi pilkada dan pemilu dapat terjebak dalam kemasan semu. Ini bisa mendangkalkan kualitas demokrasi karena menjual tampilan instan, bahkan manipulatif.
< !-more->
Lembaga survei pun bisa terjebak dalam strategi pencitraan politisi yang bertarung dalam pilkada atau pemilu. Sangat terbuka kemungkinan konflik kepentingan dalam survei didanai pemodal yang sedang bertarung.
Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad, mengatakan, strategi pencitraan di kalangan kandidat saat ini lebih mirip dengan ”politik bedak”. Kandidat dipoles sedemikian rupa sehingga borok-boroknya tertutupi dan digantikan tampilan memikat. Hanya jejak rekam baik yang ditonjolkan, sementara hal-hal negatif disembunyikan.
”Demi menciptakan citra bagus terkadang kandidat mau memanipulasi data, termasuk memainkan statistik yang sudah diolah demi kepentingannya,” kata Herdi, Senin (16/7).
Bagi Direktur The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto, pencitraan lewat publikasi survei dipandang efektif karena ada kecenderungan pembaca media memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei.
Lembaga survei bisa saja menaikkan suatu isu tertentu dari hasil riset dengan agak mengabaikan isu lain. ”Inilah yang disebut sebagai era komodifikasi survei karena ternyata hasil riset menjadi komoditas yang seksi dalam pertarungan isu media,” kata Gun Gun.
Kenyataannya, menurut Wakil Ketua Umum DPP PAN Dradjad Wibowo, Senin, banyak lembaga survei yang tidak bebas konflik kepentingan. Bahkan, sering kali kepentingan komersial lembaga survei lebih mendominasi hasil survei yang dipublikasikan.
Maraknya penggunaan survei oleh partai politik menunjukkan parpol semakin elektoralis, yaitu ingin memperoleh suara rakyat yang banyak untuk mendapatkan posisi politik. Akibatnya, parpol cenderung menggunakan kandidat populer tanpa memperhatikan ideologi atau sistem kaderisasi. ”Orientasi yang elektoralis menyebabkan pengakaran partai di masyarakat diganti dengan politik pencitraan, mesin, atau organisasi partai diganti dengan tim pemenangan, dan kader diganti oleh konsultan politik,” kata AAGN Ari Dwipayana, pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada, Senin.
Dalam praktik politik Indonesia, lanjut Ari, survei semakin dibutuhkan karena perilaku memilih ditentukan oleh persepsi terhadap kandidat dan agenda atau isu yang muncul saat momen elektoral. Masalahnya, dalam politik Indonesia popularitas dan elektabilitas tokoh lebih tinggi dari parpol. Padahal, popularitas dan elektabilitas parpol seharusnya setara atau lebih besar dibanding tokoh.
Partai Golkar menilai hasil survei sebagai pertimbangan penting dalam pemilu dan pilkada. Dalam petunjuk pelaksanaan disebutkan, calon kepala daerah diputuskan berdasarkan hasil survei. ”Survei penting untuk mendapatkan gambaran kekuatan figur-figur yang muncul,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Nurul Arifin.
Meski demikian, kata Nurul, tidak selalu calon kepala daerah ditetapkan berdasarkan hasil survei. Ada kalanya calon kepala daerah ditetapkan berdasarkan subyektivitas petinggi partai.
Rupanya tak semua parpol menjadikan hasil survei sebagai pertimbangan utama. Selain hasil survei sering meleset, tidak sedikit lembaga survei yang kurang obyektif dan lebih mendahulukan pertimbangan komersial. ”Survei sangat penting, tapi bukan satu-satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam pilkada dan pemilu,” kata Dradjad Wibowo.
Apalagi, lanjut Dradjad, politisi punya insting politik tersendiri dalam membaca tren di masyarakat.(IAM/NWO/NTA)
Source : Kompas.com