Setelah Muhammad Nazaruddin diberhentikan sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat dan kabur ke Singapura, dua hari berturut-turut Susilo Bambang Yudhoyono memimpin rapat khusus para petinggi partai dan anggota DPR dari Partai Demokrat di kediaman pribadinya di Puri Cikeas, Bogor. Ada apa?
Begitu seriuskah persoalan internal PD sehingga SBY harus turun tangan? Kasus hukum yang diduga melibatkan Nazaruddin dalam proyek wisma atlet SEA Games di Palembang bukan pertama kali dialami PD. Sebelumnya, Jhonny Allen Marbun, anggota DPR yang juga Wakil Ketua Umum DPP PD, diduga terlibat kasus suap dana stimulus fiskal Kementerian Perhubungan pada 2009, tetapi hingga kini tak ada tindak lanjut.
Jauh sebelum itu, Aziddin—anggota DPR dari Fraksi PD—bahkan dipecat dari partai dan keanggotaannya di DPR karena terlibat kasus calo katering haji pada 2006. Belum lagi kasus-kasus korupsi APBD yang diduga melibatkan sejumlah kepala daerah asal PD. Kasus-kasus serupa sebenarnya tak hanya dialami parpol yang diprakarsai oleh Presiden SBY ini. Parpol-parpol lain, ketika berkuasa atau jadi bagian dari kekuasaan, juga sarat dengan kasus suap dan korupsi. Hanya saja tidak semua kasus hukum itu terungkap ke publik, baik karena ”kecanggihan” parpol menutup aib mereka maupun lantaran kentalnya perselingkuhan antara parpol dan aparat penegak hukum.
Khawatir citra ternoda
Mengapa kasus Nazaruddin begitu mengguncang PD, bahkan SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD tampak ”panik”? Bukankah langkah partai memberhentikan Nazaruddin sebagai bendahara umum sudah tepat? Pertama, sulit dimungkiri PD tengah berada di puncak kekuasaan. Setelah berhasil mengantar kemenangan SBY secara berturut-turut dalam dua pemilu presiden, PD juga sukses meraih kursi terbanyak di DPR. Guna melengkapi keberhasilannya, SBY membentuk koalisi enam parpol pendukung pemerintah yang mencakup 75,5 persen kekuatan parpol di DPR. Mungkin saja SBY dan para petinggi PD tidak ingin prestasi dan citra mereka ternoda oleh ulah seorang Nazaruddin.
Kekhawatiran ini jadi sangat beralasan jika benar Nazaruddin memiliki data tentang ”borok” partai dan mau membongkarnya ke publik. Faktanya, baik ”ancaman” Nazaruddin sebelum kabur ke Singapura maupun ancaman melalui pesan pendek atas nama Nazaruddin dari Singapura, yang belum diketahui kebenarannya, bisa memaksa para petinggi PD kalang kabut dan kemudian merapatkan barisan bersama SBY di Puri Cikeas.
Kedua, M Nazaruddin yang dipromosikan Ketua Umum DPP PD terpilih, Anas Urbaningrum, adalah ”wakil” generasi baru partai yang diharapkan memegang tampuk kepemimpinan partai dan bahkan bangsa pada masa depan. Realitas ini penting terkait tidak adanya lagi peluang SBY maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Jika generasi baru partai sudah telanjur ”rusak”, tentu jadi sulit menyelamatkan kelangsungan partai ke depan.
Termasuk di dalam barisan generasi baru PD yang diharapkan SBY tentu saja Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang kini menjabat sekretaris jenderal partai. Boleh jadi para generasi baru PD yang mulai turut pula menikmati berbagai proyek pemerintah dengan memanfaatkan ”fasilitas kekuasaan” partai ini dianggap kurang berhati-hati dalam memobilisasi dana bagi partai. Karena itu, SBY dan jajaran petinggi PD merasa berkepentingan agar Nazaruddin tidak ”bernyanyi” sesuka hati yang berpotensi merusak citra partai.
Ketiga, SBY dan para petinggi PD berkepentingan agar kasus Nazaruddin tak berimbas pada berbagai ”prestasi” yang dianggap berhasil dibukukan pemerintah di bidang ekonomi, politik, dan hukum. Terlebih jika benar ada ”borok” partai yang diketahui Nazaruddin sehingga pemecatannya sebagai bendahara umum berubah jadi ”senjata makan tuan” bagi PD.
Skenario partai?
Problematik terbesar PD terletak pada fakta bahwa parpol ini telanjur jadi besar dan bergelimang kekuasaan ketika secara organisasi sesungguhnya belum terkonsolidasi. Sebagai refleksi kekecewaan terhadap Partai Golkar, PDI-P, dan parpol berbasis Islam pasca-Pemilu 1999, PD jadi wadah beragam kepentingan yang hampir tanpa batas. Mantan militer, pejabat, birokrat, pengusaha, aktivis LSM, hingga tokoh agama dan adat menjadi bagian dari partai yang hampir identik dengan sosok SBY ini.
Belakangan, sejumlah kepala daerah atau wakil yang pencalonannya diusung parpol lain berbondong-bondong memasuki PD. Pasca-kongres II di Bandung (2010), sejumlah aktivis bahkan turut ”kepincut” untuk beradu nasib di dalam PD. Meski tak ada yang salah dengan kecenderungan ini, semua itu berlangsung ketika PD belum punya tradisi berpartai yang melembaga dan bermartabat, seperti sering dipidatokan SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD.
Tak ada pilihan lain bagi SBY dan jajaran PD kecuali memaksa Nazaruddin kembali ke Tanah Air. KPK yang tengah menyidik kasus dugaan suap atas Sekretaris Kemenpora dan juga dugaan suap atas Mahkamah Konstitusi berkepentingan agar duduk perkara hukum yang menimpa Nazaruddin menjadi jelas, tidak hanya bagi PD, tetapi juga untuk bangsa kita. Jika tidak, akan muncul penilaian publik bahwa pelarian mantan Bendahara Umum DPP PD tersebut adalah skenario yang didesain dalam rangka penyelamatan partai. Juga, jika tidak, berbagai komitmen SBY tentang pemberantasan korupsi, termasuk di internal PD, tentu akan dikenang sekadar sebagai pidato semata.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.