Home > Education > Political Marketing > Kepemimpinan Resisten di Tengah Polutan

Kepemimpinan Resisten di Tengah Polutan

Sulitnya memprediksi siapa yang akan menjadi presiden pada Pemilu 2014 sangat erat terkait dengan perubahan lingkungan politik dan karakter elite politik yang ada sekarang ini. Perubahan sistem politik yang demikian cepat baru bisa melahirkan elite politik yang oportunistis.

Sejak lengsernya Soeharto dari kursi presiden, lingkungan politik berubah sangat cepat, mulai dari level konstitusi hingga praksis. Adopsi yang sangat masif terhadap demokrasi tidak hanya melahirkan sistem pemilihan baru, tetapi juga menelurkan sebuah komunitas elite baru menggeser posisi elite lama. Pada pemilu pertama setelah tumbangnya Orde Baru, hanya 19,9 persen anggota legislatif yang berasal dari periode sebelumnya. Lingkungan Senayan pun berubah dengan masuknya lebih banyak anggota DPR dari kalangan swasta. Pegawai negeri atau birokrat, sebagai sumber elite politik yang banyak direkrut pada periode sebelumnya, menyusut drastis dari 28,9 persen menjadi hanya 4,1 persen. Dengan demikian, dalam waktu cepat telah terbentuk sebuah komunitas baru yang memiliki kultur berbeda. Kultur baru itu ditunjukkan oleh karakter legislatif yang sangat ”garang” terhadap eksekutif.

Namun, kegagalan partai politik melakukan pengaderan menjadikan perubahan demi perubahan yang bergulir cepat pada tahap-tahap berikutnya tak bisa dihadapi oleh partai politik. Partai pada akhirnya berubah menjadi stempel bagi setiap orang yang punya kepentingan. Lunturnya ideologi partai-partai politik adalah cermin paling nyata dari runtuhnya sistem pengaderan di tubuh parpol. Partai menjadi mandul untuk menghasilkan generasi dengan nilai-nilai terbaik dari partai.

Perubahan politik yang tidak mampu diantisipasi oleh partai pada akhirnya hanya menghasilkan spesies-spesies elite baru, yang muncul bukan karena menyerap nilai-nilai demokrasi dan mencerna yang terbaik dari proses politik sehingga menjadi kuat. Yang muncul adalah spesies elite yang mampu bertahan di lingkungan baru yang terkontaminasi. Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Edy Yuwono mengatakan, dalam sebuah ekosistem yang terganggu, yang polutan, atau terkontaminasi, hanya spesies yang bersifat oportunis yang dapat bertahan. Sementara spesies yang tidak tahan terhadap lingkungan baru itu akan tersingkir.

Lingkungan politik yang belum stabil sejauh ini belum menghasilkan calon pemimpin baru yang diakui kekuatan karakternya. Lingkungan dengan sistem politik yang selalu berubah setiap pemilu baru sebatas menghasilkan generasi baru yang resisten, yang tahan berada di lingkungan penuh korupsi dan kelemahan hukum. ”Spesies oportunistis itu pemakan segalanya,” lanjut Edy.

Pada tataran eksekutif gejala yang sama juga muncul. Kepemimpinan nasional sejauh ini cenderung baru bisa bersikap resisten terhadap buruknya lingkungan, belum mampu hadir sebagai satu sosok yang bisa mengambil jarak dan melakukan perubahan dengan kekuatan inovasinya.

Tegas dan visioner

Panel rektor yang dilakukan Litbang Kompas cenderung memberikan penilaian yang buruk terhadap kepemimpinan di kalangan DPR sekarang. Rata-rata penilaian mereka jatuh di angka 4,8 ketika mereka diminta memeringkatkan 1 hingga 10 untuk kepemimpinan di kalangan anggota legislatif ini. Nilai kepemimpinan di DPR adalah terendah dibandingkan dengan kalangan menteri, pegawai birokrasi, kepala-kepala daerah, pengusaha, dan kelompok-kelompok lain yang ditanyakan. Di luar kepemimpinan di kalangan akademisi, sejauh ini kepemimpinan di kalangan TNI masih mereka pandang yang terbaik (rata-rata penilaian di angka 7).

Relatif positifnya pandangan mereka tentang kepemimpinan di tubuh TNI lebih merupakan refleksi simbolis dari sifat-sifat yang sesungguhnya diharapkan muncul pada diri presiden dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa saat ini. ”Mempunyai ketegasan dalam bertindak tidak harus dari kalangan militer. Birokrat juga ada orang yang memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagai pemimpin,” ujar Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta Soeprapto Soejono. Hal senada diungkapkan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Priyo Suprobo, kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi presiden Indonesia pada saat ini ialah, ”Presiden yang mempunyai kemampuan, yang tegas. Karena bangsa kita majemuk, jadi harus tegas dan menerapkan penegakan hukum.”

Wajar, jika karakter kepemimpinan yang terkait dengan sifat ketegasan kemudian muncul sebagai yang paling utama, menyikapi kurangnya ketegasan yang dirasakan ada pada presiden saat ini. Namun, sisi lain juga cukup kuat disyaratkan, yaitu kepemimpinan yang visioner dan cerdas. ”Tidak cukup jujur saja. Dia harus kuat dan punya visi ke depan,” tutur Rektor UII Yogyakarta Edy Suandy Hamid. (BAMBANG SETIAWAN, Litbang Kompas)

Source : Kompas.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Pakar: Golkar Tengah Mainkan Strategi Marketing Politik

Leave a Reply