SEBUAH ironi tersaji di depan mata.
Sejak 2017, perekonomian Indonesia menjadi yang terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan produk domestik bruto menembus US$ 1 triliun atau sekitar Rp 15 ribu triliun. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi mencatatkan prestasi yang patut dipuji. Setelah dihantam krisis ekonomi dan politik 1997-1998, Indonesia mampu menggeliat dengan rata-rata pertumbuhan pada 2000-2017 mencapai 4 persen. Tingkat kemiskinan juga menurun drastis, bahkan tinggal satu digit sejak Maret 2018.
Terlepas dari rentetan kabar baik ini, kesenjangan antara kaum miskin dan kaya justru makin lebar. Koefisien Gini—yang mengukur ketimpangan antara kelompok miskin dan kaya— naik dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,42 pada 2014, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peningkatan ketimpangan paling cepat se-Asia Tenggara (Indrakesuma et al, 2015). Ketimpangan ini terutama disebabkan oleh akumulasi kekayaan yang menumpuk pada segelintir elite kaya. The Credit Suisse Research Institute merilis “Global Wealth Report” yang menunjukkan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 49,3 persen dari total kekayaan di seluruh Nusantara. “Prestasi” ini hanya dikalahkan oleh Rusia, India, dan Thailand.
Bank Dunia juga mengeluarkan laporan menyesakkan bertajuk “Indonesia’s Rising Divide” (2015). Pada periode 2003-2010, tingkat konsumsi 10 persen kelompok orang kaya di Indonesia tumbuh lebih dari 6 persen per tahun, sedangkan konsumsi 40 persen orang miskin hanya tumbuh 2 persen. Seolah-olah tak mau kalah, Oxfam mengumumkan catatan yang mengagetkan: gabungan empat orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih besar dibanding total kekayaan 40 persen penduduk miskin—sekitar 100 juta orang. Karena sulitnya mengurai benang kusut ketimpangan inilah peneliti menduga akumulasi kekayaan yang terkonsentrasi pada segelintir orang kaya tersebut menjadi kondisi “normal baru” (new normal) yang menggambarkan wajah ekonomi-politik Indonesia pada jangka waktu yang lama (Suryahadi, 2018).
Opini Publik
MESKIPUN ketimpangan sosial nyaris tak terbantahkan, tak banyak yang kita ketahui bagaimana persepsi publik terhadap kesenjangan tersebut. Dua aliran kesarjanaan yang selama ini bertikai dalam mendefinisikan konsekuensi politik disparitas pendapatan sama-sama bertumpu pada pendekatan kualitatif ketimbang data survei. Aliran oligarki percaya bahwa kesenjangan ekonomi adalah anak kandung struktur ekonomi-politik yang dikuasai elite predatoris (Winters, 2001; Hadiz dan Robinson, 2014). Sedangkan kubu pluralis menilai politik Indonesia pada dasarnya sangat kompetitif. Terlepas dari kenyataan adanya ketimpangan sosial-ekonomi, kelompok-kelompok civil society dan kaum miskin bisa berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan kebijakan publik (Aspinall, 2014; Liddle, 2014; Ford, 2014).
Kedua kubu tersebut tak pernah menjadikan opini publik sebagai unit analisis. Bagi kubu oligarki, pendapat warga biasa mengenai seberapa timpang distribusi pendapatan dan apakah opini publik tersebut punya implikasi politik tak dianggap penting. Bagi mereka, dalam sistem politik yang dikuasai oligarki kaya, opini orang biasa tak berguna. Sebaliknya, kubu pluralis lebih menitikberatkan pada aktivisme politik lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat ketimbang pendapat warga biasa.
Karena itu, kami melakukan survei tatap muka pada September 2018 kepada 1.210 responden di seluruh Indonesia. Responden dipilih melalui multistage random sampling sehingga bisa mewakili populasi nasional baik dari sisi demografi maupun wilayah. Dengan jumlah responden sebanyak itu, margin of error diperkirakan kurang-lebih 2,9 persen pada tingkat derajat kepercayaan 95 persen dengan asumsi simple random sampling. Kendali mutu dijalankan dengan mendatangi ulang responden yang sudah diwawancarai, dan kami tak menemukan kesalahan berarti.
Kami memakai dua pertanyaan utama untuk mengukur sikap warga terhadap ketimpangan. Pertama, seberapa adil tingkat pemerataan pendapatan di Indonesia? Pertanyaan ini pernah dipakai Asia Barometer dalam survei nasional 2016 di Indonesia oleh Lembaga Survei Indonesia. Pada awal 2016, -mayoritas responden menilai distribusi pendapatan tidak adil (53,2 persen). Dua setengah tahun kemudian, pada September 2018, publik terbelah: 41,1 persen menilai sangat adil/cukup adil, sedangkan 42,4 persen menilai sangat tidak adil/tidak adil.
Kedua, bagaimana kondisi pendapatan antarkelompok masyarakat di Indonesia selama lima tahun terakhir? Kami pernah menanyakan pertanyaan ini ketika diminta Bank Dunia dan Ausaid melakukan survei nasional pada 2014, di ujung masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Lagi-lagi polanya sama: opini publik lebih positif pada 2018 dibanding pada 2014. Pada Mei 2014, 48,7 persen responden menilai tingkat pendapatan “semakin tidak merata” atau “jauh semakin tidak merata”. Pada September 2018, responden yang menilai negatif merosot drastis tinggal 18,7 persen, sedangkan yang menilai kondisi kian merata makin banyak.
Isu kesenjangan sosial menemukan puncaknya pada masa pemerintahan Yudhoyono. Jadi persepsi yang lebih positif terhadap pemerataan pendapatan bisa jadi merupakan refleksi dari perubahan obyektif ke arah yang lebih baik. Rasio Gini memang menurun dari 0,420 pada 2014 menjadi 0,389 pada Maret 2018. Meskipun tingkat ketimpangan masih tinggi, publik mengapresiasi kinerja Presiden Joko Widodo dalam memangkas jurang kesenjangan antara kaum miskin dan kaya. Persepsi yang lebih optimistis ini juga mungkin buah dari tekanan publik: pemerintah Jokowi, paling tidak secara retorik, bertekad mengurangi kesenjangan ekonomi yang telah lama berurat-akar.
Polarisasi Politik
DALAM leksikon ilmu politik, pertanyaan yang kemudian menarik diulas adalah mengapa publik berbeda menilai isu kesenjangan? Apa faktor determinannya? Sejauh ini, studi mengenai kesenjangan sosial di Indonesia sekadar dipotret dari masalah ekonomi tanpa mengaitkannya dengan faktor politik (Suryahadi, 2018; World Bank, 2015).
Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa persepsi terhadap ketimpangan bisa jadi merupakan refleksi dari fakta subyektif ketimbang obyektif. Studi di Amerika Serikat atau Amerika Latin, misalnya, menemukan pemilih yang mengidentifikasi dirinya sebagai liberal-kiri cenderung menganggap pemerataan pendapatan tidak adil dibanding pemilih konservatif-kanan (Anderson dan Singer, 2008; Cramer dan Kaufman, 2011).
Masalahnya, ideologi kiri-kanan kurang berlaku di Indonesia. Untuk itu, kami menguji sejauh mana faktor politik berperan menjelaskan persepsi ketimpangan melalui beberapa variabel. Pertama, karena partai-partai Islam di dunia umumnya memakai isu kesenjangan ekonomi umat sebagai cara menangguk dukungan (Pepinsky et al, 2009: 585-6), variabel politik yang kami uji adalah dukungan terhadap politik Islam. Kedua, berhubung Prabowo Subianto sejak 2009 memakai ketimpangan sebagai isu sentral kampanye, kami berhipotesis bahwa pemilih yang mendukung Prabowo cenderung menilai pemerataan pendapatan tidak adil ketimbang pemilih Jokowi. Sebaliknya, mereka yang merasa puas atas kinerja Jokowi cenderung menganggap distribusi pendapatan lebih adil.
Dalam analisis regresi, faktor ekonomi dan politik tersebut dikontrol oleh agama, wilayah, serta gender. Hasilnya, kedua faktor tersebut sama-sama signifikan dalam menjelaskan persepsi kesenjangan di Indonesia. Perbedaannya, dilihat dari efek substantifnya, faktor politik lebih kuat menjelaskan persepsi ketimpangan ketimbang variabel ekonomi. Dalam hal ini, dukungan kepada Prabowo memiliki efek yang sangat besar dalam menjelaskan ketidakpuasan terhadap ketimpangan. Sebaliknya, pemilih Jokowi atau mereka yang merasa puas atas kinerjanya cenderung menilai pemerataan pendapatan sudah adil.
Menariknya, dalam analisis regresi berdasarkan survei 2014 dan 2016, dukungan kepada Prabowo bukan prediktor yang signifikan. Ia baru menjadi determinan utama sejak 2018. Ini bisa jadi karena, saat survei 2014 diadakan, polarisasi politik Prabowo versus Jokowi belum setajam sekarang. Pada 2016, Prabowo juga belum memanaskan mesin dan narasi kampanyenya.
Sedangkan ketika survei September 2018 dilakukan, Prabowo sudah resmi menjadi calon presiden 2019 dan kembali mendendangkan lagu lama soal ketimpangan yang menganga; segelintir elite yang mengontrol kekayaan Indonesia dan sejenisnya. Jangan lupa, pada akhir 2016 hingga awal 2017, Indonesia diguncang demo anti-Ahok yang menaikkan narasi kesenjangan antara —meminjam istilah kelompok anti-Ahok—pribumi dan nonpribumi.
Saat ini data observasional mungkin belum bisa menjawab secara meyakinkan hubungan sebab-akibat apakah kondisi obyektif ketimpangan yang dialami seorang penduduk membuatnya tidak puas atas kinerja Jokowi dan mendorongnya memilih Prabowo. Atau mereka lebih dulu “jatuh cinta” kepada Prabowo karena alasan-alasan lain, baru kemudian menerima narasi Prabowo tentang ketimpangan.
Agar solid memisahkan hubungan sebab-akibat di atas, desain survei eksperimen menjadi keniscayaan. Namun -perbandingan hasil regresi multivariat pada 2014 dan 2018 setidaknya memberikan jawaban sementara bahwa faktor politik tersebut tidak bersifat endogenous. Pada 2014, persepsi ketimpangan semata-mata ditentukan oleh variabel-variabel ekonomi.
Makin rendah tingkat pendapatan, mereka akan makin merasa tingkat pendapatan tidak adil. Dukungan kepada Prabowo saat itu tidak signifikan menjelaskan persepsi negatif ketimpangan ekonomi. Faktanya, Prabowo sudah lama mendendangkan isu ketimpangan. Bukan sejak Pemilihan Umum 2014, tapi bahkan sejak 2009, ketika ia maju sebagai calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri.
Intinya, isu kesenjangan sosial tidak lagi memadai dilihat semata-mata dari aspek ekonomi an sich. Studi terakhir kami jelas membuktikan aspek politik turut berperan menjelaskan persepsi positif atau negatif isu kesenjangan ini. Faktor politik ini terutama disebabkan oleh polarisasi politik dan sikap partisan terhadap dua tokoh utama dalam pentas elektoral 2014 dan 2019: Jokowi versus Prabowo.
*BURHANUDDIN MUHTADI, Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
* EVE WARBURTON, Peneliti Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute, Singapura
Source: Majalah Tempo