Home > Education > Political Marketing > Ketimpangan Ekonomi Berbuah Tuntutan Pemisahan Diri

Ketimpangan Ekonomi Berbuah Tuntutan Pemisahan Diri

Kebijakan desentralisasi kekuasaan kerap dianggap sebagai cara ampuh meredam ketidakpuasan masyarakat daerah atas kekuasaan negara. Namun, pemberian otonomi tidak serta-merta menyelesaikan persoalan. BI PURWANTARI

Di mata publik, kebijakan otonomi tanpa menghapus ketimpangan ekonomi menjadi penyebab utama menguatnya tuntutan pemisahan diri. Tuntutan itu sering kali disebabkan relasi yang timpang di antara keduanya. Praktik ekonomi bersifat eksploitatif merupakan basis yang kerap menyumbang ketimpangan itu. Pemberian otonomi dianggap dapat mengubah ketimpangan dengan memberi kekuasaan kepada daerah untuk mengatur sendiri wilayahnya.

Sayangnya, tujuan ideal itu tidak selamanya berbuah manis. Di bawah kebijakan otonomi daerah, sejumlah wilayah belum memperlihatkan kemajuan berarti. Kehidupan politik yang demokratis dimaknai sebatas urusan prosedural. Politik uang menjadi warna yang kental dalam setiap pemilihan kepala daerah. Di sektor ekonomi, pengelolaan sumber daya alam cenderung menguntungkan segelintir orang. Beberapa wilayah dengan sumber daya alam melimpah terbukti tidak mampu menyejahterakan masyarakat. Akibatnya, berbagai konflik terus terjadi di daerah, bahkan di wilayah yang menyandang status otonomi khusus.

Kasus paling aktual adalah konflik di Papua. Persoalan eksploitasi alam Papua oleh PT Freeport Indonesia (FI) selama puluhan tahun telah memicu berbagai protes dari buruh PT FI dan masyarakat sekitar. Alih-alih mengupayakan penyelesaian damai, protes itu kerap direspons dengan tindak kekerasan oleh negara.

Sesungguhnya, dari tanah Papua, secara ekonomi negara memperoleh pemasukan besar dari eksplorasi PT FI. Dalam situs resminya, PT FI menyatakan, pada 2010, Pemerintah Indonesia menerima manfaat langsung 1,9 miliar dollar AS.

Di sisi lain, kehidupan ekonomi masyarakat Papua tetap terpuruk. Tingkat kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 36,8 persen setelah otonomi daerah diberlakukan. Angka itu hanya turun 10 persen dibandingkan masa sebelum otonomi daerah. Bahkan, indeks pembangunan manusia provinsi itu terus berada di peringkat terendah secara nasional sejak 2005.

Kasus Papua memperlihatkan kebijakan desentralisasi kekuasaan gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan itu mendorong munculnya penilaian negatif publik terhadap kebijakan yang digulirkan pemerintah pusat terhadap daerah.

Penyikapan itu muncul dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas, 26-28 Oktober, di 12 kota di Indonesia. Tiga perempat responden menyatakan, kebijakan terhadap daerah turut mendorong munculnya sentimen kedaerahan, bahkan tuntutan merdeka.

Kinerja rendah

Bila dilihat lebih jauh, penilaian negatif publik ini dilandasi ketidakpuasan atas kinerja pemerintah pusat, terutama di bidang politik dan ekonomi. Di bidang politik, lebih dari tiga perempat responden menyatakan tidak puas atas kebijakan pemerintah pusat untuk mendorong iklim politik demokratis di daerah. Lebih dari itu, 85,1 persen responden menilai pemerintah pusat tidak mampu mengatasi konflik yang terjadi.

Di bidang ekonomi, 73,8 persen responden menyatakan tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam memajukan ekonomi daerah. Bahkan, 81,4 persen responden menilai ada ketimpangan tajam dalam pembagian ”kue” ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam daerah.

Kinerja pemerintah pusat yang rendah sama artinya dengan kekuasaan yang tidak produktif. Indikatornya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun hadirnya kepemimpinan yang tegas. Ketegasan diartikan sebagai kepemimpinan dengan cara pandang yang jelas untuk mengubah kondisi masyarakat. Ketiadaan keduanya mengakibatkan bersemainya bibit ketidakpuasan yang berujung pada keinginan untuk memisahkan diri.

Dalam kasus Papua, kekuasaan negara yang tidak produktif tampak dari hubungan eksploitatif yang terus dilestarikan selama puluhan tahun. Hasilnya, keuntungan berlimpah bagi negara, tetapi kemelaratan bagi sebagian besar rakyat Papua.

Bagi publik, absennya dua indikator tersebut merupakan faktor penyubur menguatnya sentimen kedaerahan. Tidak adanya kepemimpinan yang tegas dan ketimpangan ekonomi, seperti dinyatakan oleh lebih dari separuh responden, turut memberi kontribusi munculnya sentimen kedaerahan. Di sejumlah daerah, absennya kepemimpinan yang tegas telah menumbuhkan kebangkitan milisi-milisi sipil yang bertindak dengan hukumnya sendiri. Kemunculan kelompok ini dicermati oleh 38,8 persen responden.

Aktor lokal

Seberapa jauh kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah mencapai sasaran yang dituju pada praktiknya sangat ditentukan oleh kontestasi politik lokal. Artinya, kekuatan politik lokal tidak hanya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, tetapi berperan sebagai aktor yang aktif mengatur ke arah mana dan bagaimana kebijakan tersebut dipraktikkan. Dalam hal ini, pemerintah daerah turut bertanggung jawab atas belum terciptanya demokrasi dan ketimpangan ekonomi yang tajam di daerah.

Penilaian negatif publik, tak pelak, juga ditudingkan pula kepada pemerintah daerah. Seperti halnya penyikapan terhadap pemerintah pusat, publik menganggap pemerintah daerah tidak becus mengelola sumber daya alam daerah untuk kesejahteraan masyarakat (65,8 persen), memajukan perekonomian (55,5 persen), hingga menciptakan iklim politik demokratis (52,5 persen).

Pola penyikapan seperti itu dilandasi kenyataan bahwa otonomi daerah telah memberi guyuran dana kepada daerah. Dengan menyandang status otonomi khusus, Papua memungkinkan mendapat kucuran dana otonomi khusus yang terus meningkat sejak 2008. Dalam APBN Perubahan 2010, Papua menerima Rp 2,69 triliun. Setahun kemudian, jumlah ini meningkat hingga Rp 3,10 triliun dan masih ditambah dana khusus infrastruktur Rp 800 miliar (Kompas, 28/8/2011).

Sayangnya, dana yang berlimpah dan pendapatan asli daerah dari eksploitasi sumber daya alam Papua tidak mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Realitas itu memunculkan dugaan praktik korupsi yang masif dilakukan aparat pemerintah lokal.

Desentralisasi kekuasaan telah bersalin rupa menjadi kolaborasi kekuasaan pusat dan daerah untuk melanggengkan hubungan eksploitatif di masyarakat. Dalam konteks ini, gaung kemerdekaan wilayah akan mudah bersemi. (Litbang Kompas)

Source : Kompas.com

You may also like
Jaga Efektivitas Dukungan
Konflik Menggerus Performa Partai
Survei Kompas: Konfigurasi Parpol yang Tidak Berubah
Apresiasi untuk Politik dan Keamanan

Leave a Reply