Banda Aceh, (Analisa). Kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengingatkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh agar tidak terus melakukan tugas-tugas yang melampaui batas kewenangannya.
KIP di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diminta hanya menjalankan aktivitas selaku penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di provinsi itu, bukan malah ikut-ikutan membuat regulasi sendiri dan menafsirkan aturan hukum yang ada.
Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah menyatakan, salah satu bukti KIP telah melewati batas kewenangannya adalah sikap ngotot mereka yang tetap memaksakan untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemberlakuan kembali calon independen dalam Pilkada Aceh.
Padahal putusan MK tersebut sampai saat ini belum dimasukkan ke dalam Qanun Pilkada, sehingga dinilai masih ilegal untuk diberlakukan. “Calon independen itu belum bisa dijalankan, karena belum masuk Qanun Pilkada. KIP jangan ngotot memberlakukan calon independen, karena belum ada aturan hukum yang jelas, seperti qanun yang belum selesai,” ujar Adnan Beuransyah kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (16/9).
Politisi Partai Aceh yang juga Ketua Pansus IV yang membahas Qanun Pilkada itu menambahkan, selama ini KIP Aceh telah melakukan beberapa pelanggaran seperti melakukan tahapan pilkada tanpa pengawasan dari Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). “Semua tahapan pilkada harus dilakukan dalam pengawasan oleh Panwaslih. Sedangkan Panwaslih belum terbentuk,” kata Adnan.
Ia juga meminta seharusnya KIP dalam melakukan tahapan pilkada menunggu qanun selesai. “Semua tahapan harus berpedoman kepada qanun, jadi itu yang saat ini tidak dilakukan KIP,” ujar Adnan Beuransyah.
Tetap Menolak
Sementara itu, Partai Aceh tetap menolak kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah mendatang. Partai lokal ini menilai KIP Aceh menyalahi aturan jika tetap mengakomodasi calon independen. “Jalur independen untuk pilkada kali ini tidak dapat diikutsertakan,” kata Juru Bicara Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh, Fachrul Razi dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (15/9).
Menurut Fachrul Razi, calon independen sama sekali tidak bisa diakomodasi karena belum ada aturan hukumnya, sebab Qanun Pilkada belum disahkan. KIP juga dinilai melanggar “Terkecuali di Pilkada 2017-2022 ke depan. Itupun kalau ada perubahan UU-PA atau lahirnya UU-PA yang baru atas dasar adanya putusan MK,” ujar Fachrul.
Merujuk Qanun No 7 tahun 2006 yang secara tegas disebutkan, calon perseorangan hanya sekali yaitu pada tahun 2006. Pengalaman Pilkada di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada rentang tahun 2007-2008, dimana banyak calon perseorangan atau independen tidak dapat mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah sampai menunggu UU baru yang mengakomodir calon perseorangan.
Calon perseorangan di Indonesia, lahir pasca UU No.12 tahun 2008. Pada tahun 2007, seorang kandidat calon kepala daerah dari NTB melakukan uji materi UU No.32 tahun 2004 tentang adanya calon di luar partai, karena perpolitikan di Aceh, dimana calon perseorangan mayoritas menang pada tahun 2006, maka MK mengabulkan calon perseorangan dalam Pilkada. Namun MK tidak memperhatikan di Aceh ada independen sebagai konsensus konflik karena pada saat itu belum ada partai politik lokal.
Partai Aceh menyatakan tetap akan konsisten pada jalur hukum bahwa independen hanya sekali berlaku pada Pilkada tahun 2006 dan selanjutnya semua harus berkompertisi melalui partai politik lokal atau nasional. Karena kekhususan Aceh yang memiliki partai lokal.
“Apabila ada calon independen, maka gugur secara hukum dan politik karena ada partai lokal. Di daerah selain Aceh, silahkan ada calon independen karena mereka tidak memiliki partai lokal. Tidak mungkin ada double atau dua jalur dalam berkompetisi, karena pada saat itu independen hanya sekali oleh karena belum adapartai lokal, khususnya Partai Aceh dan pilihan tersebut adalah alternatif,” terangnya. (mhd)
Source : Harian Analisa
Posted with WordPress for BlackBerry.