Tak mudah menjadi seorang Sultan Hamengku Buwono X. Selain mesin politiknya belum memadai, hubungan politik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memanas.
Sejak mendeklarasikan sebagai capres 28 Oktober lalu, relasi Sultan-Yudhoyono kelihatan kurang bagus. Bahkan, dalam pertemuan raja-raja di Istana Negara, 29 November, Sultan tak diundang. Sebaliknya, dalam rakor gubernur se-Indonesia, Kamis (11/12), Sultan tak hadir karena menghadiri diskusi Strategi Kebudayaan Indonesia di UI.
Dalam sambutannya, Yudhoyono menyindir, ”Gubernur juga pemimpin, semestinya hadir di acara penting ini. Karena ciri seorang pemimpin harus bertanggung jawab. Sebelum minta yang lain, dia harus lebih dulu menghormati pemimpin. Sistem harus ditegakkan. Etika politik dan etika pemerintahan harus ditegakkan,” kata Presiden.
Panasnya hubungan antarkandidat menjelang pemilu adalah salah satu ekstrim buruk demokrasi elektoral. Penekanan pada aspek kontestasi sering melahirkan konsekuensi kontraproduktif jika kontestasi elektoral tak disikapi secara matang. Matang di sini mengacu mentalitas demokratik ideal, di mana tiap manusia politik memandang lawan sebagai ”aku yang lain”, keberadaannya adalah keniscayaan yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi (Mouffe, 2000). Lawan bukan musuh yang harus ditiadakan, tetapi friendly enemy yang niscaya, setara, dan dihargai proporsional. Karena tanpa lawan, pertarungan demokratik tak dimungkinkan berlangsung.
Kematangan sikap
Secara natural, meminjam perspektif Hobbesian, memperlakukan lawan sebagai ”aku yang lain” adalah sulit. Naluri kebinatangan mendesak orang untuk memangsa orang lain. Maka, kalah pun direkayasa agar ada pemilihan ulang atau diproses di Mahkamah Agung. Ini mencerminkan democracy-complex. Pada dirinya demokrasi mengandung ketegangan, antara insting kebinatangan untuk saling menghancurkan dan insting kemanusiaan untuk saling menghargai.
Dalam demokrasi, guna mematikan insting animalis itu ditekankan aspek ”kesadaran politik”, kesadaran untuk berpikir dan bertindak rasional, termasuk bersikap bijaksana (ethical awareness). Kesadaran ini melekat dengan kematangan sikap. Dan yang terpenting dalam penyelenggaraan kontestasi elektoral adalah kematangan sikap demokratik (democratic attitude). Apalagi pilpres di Indonesia dilaksanakan langsung. Di dalamnya, sosok adalah determinan utama dibandingkan mesin politik dan/atau jaringan dukungan.
Pada konteks ini, kita perlu melihat studi Marcus dan MacKuen (1993), yang dilakukan lagi tahun 2000 bersama Neuman. Mereka menguji teori Kecerdasan Afektif dengan mengukur pengaruh emosi terhadap sikap dan tindakan politik dengan mengambil data pemilih di AS yang dihimpun National Election Study sejak tahun 1980.
Kesimpulannya, kecemasan dan kemarahan terhadap kandidat (1) mereraskan seluruh evaluasi partai dan pandangan tentang kandidat; dan (2) mendorong pemilih mencari informasi tambahan tentang kandidat daripada mempertahankan fanatisme politik. Sebagai contoh, pada Pemilu 2000, sebagian pemilih Demokrat melarikan dukungan dari Clinton setelah skandal Lewinsky tahun 1996.
Mereka yang maju pada pilpres 2009 perlu sadar, perilaku mereka dipantau khalayak politik. Evaluasi partai, promosi melalui iklan, atau orasi terbuka tidak akan berguna jika kandidat memperlihatkan kekerdilan mental. Karena pada titik final, berkaca kepada Marcus dan kawan-kawan, pilihan didasarkan pada apa yang dirasakan tentang kandidat.
Jika mau jujur, proses elektoral kali ini tidak memberi harapan besar bagi masyarakat. Alasannya, selama ini proses politik tidak memberi perubahan signifikan guna meningkatkan kualitas hidup rakyat. Alasan lain, sosok para kandidat yang tidak begitu luar biasa dalam hal kepemimpinan.
Angka golput
Mencuri hati pemilih dalam kondisi seperti ini tidak cukup dengan mengandalkan mesin partai. Apalagi tingkat distrust terhadap partai tinggi, yang secara sederhana terbaca pada eskalasi angka golput. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput terkait derajat antusiasme pemilih, selain faktor teknis. Tahun 1955, golput 12,24 persen. Tahun 1999, golput turun (10,4 persen) terkait antusiasme atas perubahan pasca-Soehartoisme. Tahun 2004, golput naik (24,34 persen). Rendahnya skala perubahan selama 1999-2004 dibandingkan ekspektasi masyarakat diduga sebagai alasan. Diprediksi, golput tahun 2009 akan lebih tinggi. Ini terkait pemenuhan janji politik pemerintah yang tidak memuaskan, termasuk reformasi internal partai yang jalan di tempat.
Jadi, ada dua masalah, krisis sosok pemimpin dan buruknya kinerja partai. Dua masalah ini klasik, tetapi merupakan akar kelumpuhan dan kebuntuan demokrasi. Di ranah ini, kita berharap elite yang mau maju pada Pemilu 2009 harus mampu mengurangi kerumitan yang ada. Atau setidaknya tidak menciptakan kerumitan baru. Persaingan yang mencemaskan perlu disikapi dengan bijaksana agar rakyat masih pantas berharap bahwa di antara banyak calon, ada satu yang memegang lilin di tangan, lalu menuntun bangsa keluar dari lorong gelap sejarah 63 tahun.
Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia
Source : kompas.com