Home > Education > Political Marketing > KOMUNIKASI DAN TRANSPARANSI INFORMASI DALAM IKLIM DEMOKRASI

KOMUNIKASI DAN TRANSPARANSI INFORMASI DALAM IKLIM DEMOKRASI

pramono anung

KEMAJUAN teknologi di bidang komunikasi – sulit dipungkiri – telah menjadikan dunia seperti ruang tanpa sekat. Informasi sebagai bagian substansial dari kegiatan berkomunikasi tidak saja bisa dengan cepat diakses, tapi sekaligus juga dapat dengan mudah didistribusikan tanpa terkendala ruang dan waktu.

Bagi Indonesia, negara yang menjunjung tinggi hak publik dalam memperoleh informasi, lahirnya era teknologi informasi itu tentu tak bisa dinafikan. Tak lain, karena terbukanya kanal-kanal komunikasi dan informasi adalah prasyarat penting bagi terwujudnya kedewasaan politik yang demokratis.

Mark Roelofs, mendefinisikan politik, “Politics is talks… the activity of of politics (‘politicking”) is talking” : berpolitik adalah berbicara; yang berarti berpolitik tiada lain adalah berkomunikasi. Tentu saja yang dimaksud komunikasi itu bisa menggunakan media massa (suratkabar, majalah, tabloid, radio, tv, film dan internet) maupun non-media massa (surat, leaflet, booklet, spanduk, baligo, internet, saluran komunikasi interpersonal, saluran komunikasi kelompok dan organisasi serta jaringan komunikasi). Namun dalam praktiknya, seorang aktor politik seringkali mendayagunakan secara tumpang tindih saluran-saluran komunikasi tersebut.

Media massa dewasa ini semakin memiliki peran yang penting dalam demokrasi, sehingga Brian McNair, dalam bukunya, An Introduction to Political Communication,  mengatakan, sekalipun media massa seperti suratkabar, majalah, radio, dan TV bukan satu-satunya saluran komunikasi politik, saat ini di berbagai belahan dunia, peranan media sangat penting dalam kehidupan politik. karena masa kini kehidupan politik berada di era mediasi, terutama media massa (politics in the age of mediation).

Implikasi Kebebasan

Saat ini berkuasanya media dalam mempengaruhi pikiran, peranan, dan perilaku publik, sehingga Kevin Philips dalam buku responsibility in mass Communication mengatakan, bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy, yakni pemerintahan media, daripada demokrasi pemerintahan rakyat. Kekuatan media massa (powerful media) sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak, telah banyak memberikan andil dalam pembentukan opini publik. Saat ini dengan ditunjang oleh adanya kebebasan Informasi publik, media telah menjadi kekuatan baru selain kekuatan uang, dan kekuasaan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik bahkan hukum.

Contoh terbaru, sebagaimana yang dilansir majalah mingguan Tempo, tanggal 15 November 2010, yang menulis tentang tentang Mahkamah Konstitusi yang “limbung karena opini”, sebagai dampak dari tulisan Refly Harun di harian Kompas 25 0ktober 2010 : “MK Masih Bersih?” Kepada Tempo, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.  menuturkan dampak tulisan dari Refly Harun tersebut “Selain dicurigai keluarga dan kolega, sesama hakim juga saling curiga,”. Karena tuduhannya dinilai serius, kemudian MK membentuk tim investigasi dan menunjuk Refly sebagai ketua tim investigasi.

Menurut saya apa yang dilakukan oleh MK adalah preseden yang baik dalam mengatasi dampak dari kerancuan informasi publik, yang telah dipublikasikan secara masif dan potensial menimbulkan masalah kredibilitas suatu lembaga yang terhormat.

Hakikat dari informasi itu sendiri adalah pengetahuan, sementara pengetahuan adalah kekuatan (information is knowledge and knowledge is power). Di Indonesia, kekuatan informasi telah terejawantahkan dalam berbagai bentuk, salah satunya: peningkatan partisipasi publik dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara. Yang terjadi sekarang adalah setiap kebijakan penyelenggara negara yang dinilai menyimpang dan tak populer akan selalu  beroleh respons marak dari masyarakat.

Kita bisa simak, misalnya, penyikapan terhadap kasus Bibit-Chandra. Kebijakan terhadap dua nggota KPK yang oleh publik dinilai tidak memihak kepada (rasa) keadilan tersebut terbukti telah menyulut protes dari berbagai kalangan, diwujudkan antara lain dengan menggelar aksi demo turun ke jalan.

Jika dilihat dari kacamata demokrasi, peningkatan partisipasi publik terhadap penyelenggaraan negara – sebagaimana yang terekam dalam kasus Bibit-Chandra – itu jelas merupakan implikasi positif dari adanya transparansi informasi. Karena, tingginya kontrol dan pengawasan masyarakat tidak saja akan mendorong terciptanya lembaga negara yang lebih profesional, tapi juga terwujudnya pemerintahan yang lebih bersih dan akuntabel. Ini berarti, berbagai praktik manipulatif untuk mengelabui hak-hak rakyat akan semakin tereliminasi.

Sisi lain, peningkatan partisipasi publik itu juga akan mampu mendorong proses percepatan “transisi demokrasi” – yang dalam pengamatan saya tengah terjadi di Indonesia saat ini – menuju fase baru yang saya istilahkan “konsolidasi demokrasi”. Jika fase ini sudah bisa dilakukan, bukan tidak mungkin kedewasaan dan kematangan demokrasi di negeri ini benar-benar bisa terealisasi.

Namun demikian, yang penting digarisbawahi, kendati diyakini berimplikasi positif terhadap tumbuh-kembangnya demokrasi,  transparansi informasi juga memunculkan implikasi lain yang patut diwaspadai. Satu hal yang mencemaskan, tiadanya sekat akibat kemajuan teknologi komunikasi secara langsung telah mengancam nilai-nilai dan tatanan budaya bangsa.

Bahkan, jika transparansi informasi itu dimaknai sebagai sebuah absolute freedom (kebebasan mutlak), maka transparansi itu sejatinya menetaskan pula “kecemasan-kecemasan”, baik terhadap individu, kelompok, maupun negara. Individu maupun kelompok tentu memiliki “rahasia dapur” yang tak boleh diketahui publik. Demikian juga dengan negara yang mempunyai kerahasiaan dan akan mengganggu kedaulatan jika informasi yang rahasia itu bocor ke publik.

Masyarakat Informasi

Melihat implikasi-implikasi itu, maka setidaknya ada dua penyikapan yang harus dilakukan sebagai bentuk komitmen bersama. Yang pertama, tetap menjaga terjaminnya kebebasan publik untuk beroleh informasi sebagaimana diamanatkan amandemen UUD 1945 pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang  tersedia”.

Kedua, transparansi informasi harus disikapi secara arif dan bijaksana, dilandasi dengan pemahaman bersama bahwa there is no absolute freedom. Sehingga transparansi informasi tidak akan mengganggu atau membahayakan individu atau kelompok, apalagi mengancam keamanan dan kedaulatan negara.

Untuk penyikapakan yang pertama, lahirnya kebijakan dari penyelenggara negara yang terus menjamin adanya kebebasan publik dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi jelas menjadi keniscayaan. Kebijakan-kebijakan yang ada bahkan perlu “penguatan-penguatan” mengingat perkembangan zaman yang demikian cepat dan dinamis, termasuk perkembangan di bidang komunikasi dan informasi.

Dalam aplikasinya, kebijakan itu tentunya harus dibarengi dengan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan apa yang dinamakan “masyarakat informasi”, yakni masyarakat yang kebutuhan akan informasinya telah terpenuhi. Ini penting, karena selain bermanfaat  bagi pengembangan pribadi dan kelompok, pemenuhan kebutuhan akan informasi terhadap masyarakat juga akan menjadi stimulan perkembangan demokrasi.

Penting dicatat, meskipun kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dijamin dalam konstitusi, tapi dalam kenyataannya masih terdapat ketimpangan dalam mengakses informasi sebagai akibat dari disparitas ekonomi dan sosial di Indonesia. Di sinilah, pemerataan informasi menjadi program yang sudah seharusnya diprioritaskan.

Pemerataan informasi kepada masyarakat, utamanya terhadap kelompok dengan kemampuan ekonomi rendah, tentu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menghidupkan (kembali) lembaga-lembaga informasi dan komunikasi yang ada di masyarakat – selain penguatan terhadap lembaga informasi dan komunikasi resmi negara.  Yang penting, upaya itu mesti dibarengi dengan peningkatan fasilitas dan infrastruktur pelayanan, khususnya di bidang penyebaran dan pemerataan informasi.

Sementara untuk penyikapan yang kedua, kuncinya terletak pada transparansi penyelenggara negara dalam menerbitkan regulasi utamanya terkait dengan larangan dalam mengakses informasi-informasi tertentu.

Hakikatnya, publik telah memahami bahwa ada wilayah-wilayah “merah” yang sudah semestinya tidak dimasuki karena alasan-alasan yang bisa diterima secara logika kolektif. Namun, yang terjadi selama ini, pembuatan regulasi yang membatasi publik untuk mengakses informasi acap dicurigai sebagai sebentuk  praktik manipulatif penyelenggara negara yang secara tersembunyi menyimpan kepentingan yang kontradiktif dengan upaya untuk membangun demokrasi.

Ini tentu bisa dipahami, karena kenyataannya; di era Orde Baru praktik demikian nyata terjadi. Undang-undang yang mengatur masalah kerahasiaan negara, misalnya, dijadikan kedok untuk menutup-nutupi perilaku menyimpang penyelenggara negara, sekaligus jadi instrumen untuk menempatkan penyelenggara negara pada posisi yang “tak tersentuh”.

Karena itulah, terkait dengan informasi yang bersifat rahasia di mana di dalamnya mengandung hal-hal yang tak bisa diakses publik, perlu ada definisi yang jelas kepada masyarakat terhadap maksud dari rahasia itu sendiri. Penyelenggara negara perlu menyampaikan secara transparan mengapa sebuah informasi dikategorikan rahasia hingga tak bisa diakses publik.

Agar tak menimbulkan salah tafsir, pembahasan menyangkut hal-hal yang dikategorikan sebagai informasi rahasia itu tentunya perlu melibatkan sejumlah kalangan, termasuk LSM, akademisi, maupun tokoh-tokoh masyarakat.  Pun dalam pembahasan regulasi-regulasi lain menyangkut perlindungan terhadap ranah privat dan kelompok, serta nilai-nilai budaya bangsa.

Jika ini dilakukan, niscaya demokrasi yang kini tengah berkembang di negeri ini tak akan tercederai. (*)
Pramono Anung

Catatan: Ini adalah makalah yang akan disampaikan dalam seminar Komunikasi, Transparansi Informasi dan Demokrasi di Unpad, Bandung, Senin 29 Novermber 2010, bersama Menkominfo Tifatul Sembiring dan Rektor Paramadina Anies Baswedan.

Source: politikana.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Demokrasi “Roller Coaster”
Suara Rakyat, Suara Siapa?
Agenda Reformasi 1998 Dikhianati
Keroposnya Pilar Demokrasi Kita

Leave a Reply