BAMBANG SETIAWAN
Pemilihan Umum 2009 akan menjadi ajang pembuktian kekuatan bagi partai kader untuk menunjukkan kepiawaian organisasinya, sekaligus mengukur seberapa kuat partai-partai lama masih bisa bertahan menghadapi gempuran partai-partai baru.
Berbeda dengan pertumbuhan kader kepemimpinan yang stagnan, pertumbuhan partai politik tampaknya tetap dinamis. Meskipun kinerja partai-partai secara umum dinilai mengecewakan, setidaknya tergambar dari pernyataan 84,7 persen responden jajak pendapat Litbang Kompas, namun persiapan partai-partai menuju Pemilu 2009 tampaknya tidak terpengaruh oleh pendapat publik.
Tujuh partai yang telah lolos ambang batas Pemilu 2004 setidaknya harus berhadapan dengan 24 partai baru yang lolos verifikasi Departemen Hukum dan HAM dan sembilan partai politik yang tidak lolos ambang batas perolehan suara, tetapi diperbolehkan ikut pemilu karena memiliki kursi di DPR.
Jika dilihat dari konteks pertumbuhan dukungan partai, pilihan publik setidaknya dipengaruhi oleh seberapa besar sebuah partai mengalami eskalasi citra dan solidaritas satu-dua tahun menjelang pemilu.
Jika dinamika sebuah partai menjadi mekanisme yang terus bergerak, ada kemungkinan pertumbuhannya seperti bola salju yang makin membesar. Sebaliknya, jika tren yang terlihat cenderung stagnan atau aktivitasnya tidak dinamis, sulit akan meraih dukungan dari massa mengambang yang jumlahnya sangat menentukan.
Dengan kisaran 40 hingga 50 persen dari jumlah potensial pemilih, massa mengambang akan menjadi penentu kemenangan pada saat-saat akhir. Pilihan sangat mungkin dijatuhkan kepada partai-partai yang dinamis.
Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya tampak bahwa pemilu membawa dinamika yang berbeda-beda pada setiap partai. Dalam Pemilu 1999, eskalasi yang demikian dahsyat terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sejak peristiwa 27 Juli 1996 PDI-P terus tumbuh dengan solidaritas dukungan basis massa yang makin kuat. Partai ini menampilkan tiga sisi partai yang sangat menonjol: soliditas basis massa, ideologi, dan kepemimpinan yang kuat. Hasilnya adalah, ia menjadi pemenang Pemilu 1999.
Namun, dinamika PDI-P tampaknya menjadi stagnan setelah partai ini mencapai tampuk kepemimpinan nasional. Sejumlah friksi membuat partai nasionalis ini mulai ditinggalkan elite-elite partainya. Dukungan terhadap partai tersebut terbukti menurun pada pemilu selanjutnya.
Sebaliknya, dua tahun menjelang Pemilu 2004, Partai Golkar lebih memperlihatkan diri sebagai partai yang dinamis. Lewat konvensi-konvensi yang dilakukan partai ini, Golkar mencitrakan sebuah partai dengan ideologi nasionalis yang demokratis. Dinamika Golkar mengubur kenangan publik pada represi politik yang dilakukan partai ini bersama ABRI dan birokrasi pada masa Orde Baru. Golkar Baru yang diembuskan lewat konvensi membuat partai beringin ini bisa menahan penurunan suara, bahkan menjadi pemenang Pemilu 2004.
Saat ini dinamika yang masif tampaknya terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Setelah tak mampu meraih ambang batas pemilu pada tahun 1999, PKS menunjukkan performa yang mengejutkan pada pemilu selanjutnya. Terutama di wilayah perkotaan, partai Islam ini mencitrakan diri hadir dengan kekuatan yang meningkat cepat. Di DKI Jakarta, misalnya, pada pemilu sebelumnya (1999) perolehan suara partai ini hanya berada di posisi lima. Namun, kemudian melejit menjadi posisi pertama di pemilu selanjutnya (2004).
Bahkan, dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung tahun lalu, calon dari PKS mampu meraih dukungan 42 persen, jauh lebih besar daripada basis massanya. Sejumlah kemenangan lain, termasuk Jawa Barat dan Sumatera Utara, membuat partai ini mempertunjukkan citra sebagai partai dinamis.
Tiga pilar kekuatan
Jika konstelasi kekuatan partai politik bisa dilihat dari tiga pilar—soliditas basis massa, kekuatan ideologi, dan kepemimpinan—baik Partai Golkar maupun PDI-P tak lagi dipandang sebagai partai yang memiliki soliditas basis massa paling menonjol. Sebaliknya, PKS menempati polisi puncak di dua pilar kekuatan partai tersebut (lihat grafik).
Dilihat dari soliditas partai, ada kecenderungan Golkar dan PDI-P akan mengalami stagnasi atau penurunan. Sementara itu, partai-partai lain juga tidak menunjukkan gejala peningkatan. Bahkan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengalami penurunan paling drastis dibandingkan dengan semua partai lain. Perpecahan di jajaran elite pimpinan partai membuat perubahan yang sangat signifikan pada kesetiaan pemilih. Dukungan yang pada Januari diberikan oleh 42,9 persen basis massa PKB turun drastis menjadi hanya separuhnya setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dipecat dari jabatannya.
Satu-satunya partai yang terus mengalami peningkatan soliditas basis massa tampaknya hanya PKS. Pada Oktober 2007 dukungan pemilih partai ini untuk kembali memilihnya 58,3 persen, lalu meningkat menjadi 68,8 persen pada Januari 2008, dan meningkat lagi menjadi 69,3 persen pada April 2008.
Sementara itu, dari sisi pilar ketiga, yaitu kepemimpinan, Golkar lebih menonjol dibandingkan dengan partai-partai lain. PKS di posisi ketiga setelah PDI-P.
Implikasi dari ketimpangan yang terjadi antara soliditas basis massa, ideologi, dan kepemimpinan adalah komplikasi yang potensial timbul dalam perebutan pimpinan nasional nantinya. Seperti halnya dalam dua pemilu sebelumnya. Partai pemenang pada akhirnya tidak memperoleh kursi presiden karena kurang kuatnya figur kepemimpinan, meskipun memiliki kekuatan di basis massa dan ideologi. PDI-P menang Pemilu 1999, tetapi yang menjadi presiden adalah tokoh dari PKB. Golkar menang di Pemilu 2004, tetapi yang menjadi presiden adalah tokoh dari Partai Demokrat.
Namun, di kedua pemilu sebelumnya juga terjadi fenomena eskalasi pencitraan figur tokoh yang memungkinkan pengambilalihan dukungan basis massa menjelang pemilu presiden. Figur Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang sangat aktif menjalin komunikasi dengan semua kalangan (termasuk dengan Presiden Soeharto waktu itu), menjadikannya sebagai sosok yang lekat dengan kebutuhan bangsa yang baru mengalami situasi politik yang berantakan.
Adapun di Pemilu 2004 dinamika kepribadian tokoh lebih terlihat pada Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak ia masuk dalam kabinet hingga mundur, popularitasnya mampu mengalahkan semua tokoh politik lain.
Menjelang Pemilu 2009, pertumbuhan popularitas elite politik tampak stagnan. Dengan demikian, dua kemungkinan bisa saja terjadi: kepemimpinan tetap di tangan incumbent atau diambil alih oleh salah satu tokoh dari partai yang dinamis. Tarik-menarik pada akhirnya akan terjadi pada seberapa kuat incumbent bertahan atau seberapa kuat determinasi partai memengaruhi publik untuk memilih tokoh baru yang tidak terkenal. (Litbang Kompas)
Tulisan ini dikutip dari Kompas Cetak, Senin, 19 Mei 2008