Kasus dugaan suap yang melibatkan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam ditengarai turut menyeret Partai Demokrat.
Bendahara Umum dan salah seorang Wakil Sekretaris Jenderal PD diwartakan berada di belakang transaksi success fee proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang. Mungkinkah korupsi diberantas jika ia berakar pada kepentingan parpol?
Perselingkuhan politik antara dunia usaha dan politisi parpol yang menghasilkan korupsi sebenarnya bukan berita baru. Bank Dunia, seperti dikutip Presiden SBY pada pidato pembukaan Konferensi Internasional Pemberantasan Penyuapan dalam Bisnis Internasional di Bali, mensinyalir ada 1 triliun dollar AS dikeluarkan dunia usaha untuk menyuap (Kompas, 11/5). Di Indonesia, main mata antara dunia bisnis, unsur-unsur penguasa, dan politisi parpol juga berlangsung sejak lama.
Pada era Orde Baru para pengusaha lazim dimintai sumbangan untuk yayasan-yayasan yang dibentuk dan diketuai sendiri oleh mantan Presiden Soeharto. Sebagian dana yang terhimpun kemudian disalurkan untuk membiayai Golongan Karya, ”partai pemerintah” yang didesain untuk memenangkan pemilu-pemilu manipulatif Orde Baru. Tak mengherankan jika Golkar yang kemudian menjadi Partai Golkar kelimpungan menghimpun dana politik pasca-Orde Baru.
Meningkat jelang pemilu
Meskipun demikian, jika berita tentang dugaan keterlibatan pengurus PD dalam kasus suap Sesmenpora itu benar, tetap saja kasus ini menarik untuk disimak karena beberapa alasan.
Pertama, Presiden SBY yang dari PD tengah gencar-gencarnya mengampanyekan pemberantasan korupsi. Dalam berbagai kesempatan, SBY bahkan berjanji akan berdiri paling depan memberantas korupsi.
Kedua, sudah tak terhitung anggota dan pengurus parpol serta anggota DPR yang ditahan karena terlibat tindak pidana suap dan korupsi. Kasus suap alih fungsi hutan lindung di Riau Kepulauan dan Sumatera Selatan juga kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (2004) dan sejumlah kasus suap lain tak hanya melibatkan satu parpol tetapi hampir semua parpol di DPR. Mereka tidak pernah jera dan juga tak pernah belajar dari pengalaman pahit politisi lain yang dipermalukan secara publik. Tanpa rasa malu, apalagi bersalah, para politisi parpol sering kali bersembunyi di balik pepesan kosong partai yang seolah-olah berpihak kepada nasib rakyat dan masa depan bangsa.
Ketiga, dugaan keterlibatan pengurus PD terkait success fee pembangunan wisma atlet untuk SEA Games di Palembang ini berlangsung ketika segenap parpol mulai berancang-ancang menghadapi Pemilu 2014 yang semakin mahal dan kompetitif.
Saling melindungi
Pertanyaannya kemudian, mengapa kasus tindak pidana korupsi dan suap yang melibatkan politisi parpol dan anggota DPR tidak berkurang, bahkan cenderung meningkat?
Di luar alasan yang bersifat personal, katakanlah ingin memperkaya diri dan hidup lebih mapan, para politisi parpol di lembaga legislatif dan eksekutif adalah sumber utama pendanaan parpol. Subsidi negara yang diterima parpol yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD terlampau kecil untuk memenuhi kebutuhan pendanaan parpol. Karena itu, satu-satunya jalan bagi parpol adalah ”memberdayakan” dan ”mengaryakan” para politisi parpol yang memiliki jabatan-jabatan strategis, baik di legislatif maupun di pemerintah.
Di DPR, misalnya, mereka mencakup unsur pimpinan komisi yang bermitra dengan pemerintah dan dunia usaha sesuai bidang masing-masing. Bagi politisi di pemerintah, beban pencarian dana parpol ada di pundak para menteri serta kepala dan wakil kepala daerah yang berasal dari parpol.
Oleh karena itu, kasus dugaan suap yang melibatkan Sesmenpora dan ditengarai menyeret pula pengurus PD merupakan tantangan luar biasa besar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Sudah jadi rahasia umum, para politisi parpol biasanya saling melindungi jika dihadapkan pada perkara dugaan suap dan korupsi. Mekanisme saling melindungi itu tidak terbatas pada sesama politisi dalam parpol yang sama, tetapi juga antarpolitisi dari parpol yang berbeda.
Kekuasaan tak terbatas
Selain faktor kebutuhan pendanaan parpol, korupsi dan suap yang melibatkan politisi parpol juga berakar pada kekuasaan hampir tak terbatas DPR pasca-amandemen konstitusi. Kekuasaan ini terutama terkait otoritas DPR dalam penentuan alokasi APBN dan kewenangan konfirmasi yang dimiliki DPR untuk mengangkat pejabat publik.
Melalui hak budget yang dimilikinya, Panitia Anggaran DPR atau tepatnya politisi parpol di Senayan dapat mengontrol alokasi proyek-proyek besar yang dianggarkan APBN melalui berbagai instansi pemerintah. Komisi-komisi DPR bahkan bisa menekan mitra mereka dari pemerintah agar pengusaha tertentu ”dimenangkan” untuk proyek besar tertentu. Dari situlah, skandal suap mengalir, sebagian masuk kantong politisi dan sebagian lainnya menjadi ”jatah” pundi-pundi parpol.
Di sisi lain, kasus suap pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan rombongan 25 politisi DPR adalah contoh terang benderang penyalahgunaan otoritas konfirmasi Dewan dalam pengangkatan pejabat publik. Kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Presiden dalam skema sistem presidensial itu juga merupakan sumber ”rezeki haram” bagi para politisi parpol di Senayan.
Pertanyaannya kemudian, mampukah KPK membongkar semua ini? Jawabannya jelas tidak sebelum kekuasaan hampir tak terbatas DPR (baca: parpol) dipangkas dan ditinjau ulang. Kita semua tahu, sebelum dapat berbuat banyak, kekuasaan KPK pun hendak dipereteli DPR.
Quo vadis parpol-parpol kita?
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Source : Kompas.com