Jakarta,Kompas – Praktik korupsi di lembaga legislatif saat ini ditengarai semakin ganas. Politisi instan juga semakin banyak. Perbaikan partai politik, terutama terkait transparansi keuangan partai dan pengukuran kinerja kadernya, menjadi jalan utama memperbaiki kondisi Dewan Perwakilan Rakyat.
Kondisi itu mengemuka dalam diskusi tentang DPR yang terbelit korupsi di Redaksi Kompas, Jakarta, Selasa (28/2). Diskusi dipandu Teten Masduki dari Transparency International Indonesia. Narasumber yang tampil adalah Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, Haryatmoko (ahli etika dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta), Akhiar Salmi (ahli hukum pidana korupsi dari Universitas Indonesia, Jakarta), Sebastian Salang (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), dan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR, Eva Kusuma Sundari.
Narasumber dan pemandu sepakat, perilaku koruptif yang ganas di DPR itu terungkap jelas di media massa, dengan banyaknya anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi. Semakin banyak dan beragam pula kasus korupsi yang terungkap di DPR.
Eva tak menampik sinyalemen korupsi di DPR makin marak dan masif. Kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang wakil rakyat di DPR yang beragam. Apalagi, anggota DPR harus berburu modal untuk mengamankan posisinya pada Pemilu 2014.
Tegang cari uang
”Saat kembali masuk DPR tahun 2009, saya melihat ada perubahan manajemen partai dibandingkan periode sebelumnya. Sekarang semua orang, baik untuk perseorangan maupun partai, sudah tegang mencari uang untuk pemilu. Pembicaraan tentang kebangsaan sangat sulit ditemukan. Politik untuk pengabdian hampir tidak terlihat,” kata Eva.
Becermin dari kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Teten menilai, korupsi di DPR sudah amat memprihatinkan. Dari kasus itu terlihat, anggota DPR ikut mengatur pelaksanaan proyek di kementerian atau lembaga dan kemudian mendapatkan uang dari kegiatan itu.
Menurut Eva, ada tiga hal yang membuat wakil rakyat terjerat korupsi, yaitu pembiayaan partai, sistem pemilu dengan memakai suara terbanyak yang membuat biaya politik semakin tinggi, dan lingkungan.
Pada Pemilu 2004, Eva mengaku menghabiskan Rp 225 juta untuk kampanye, dengan Rp 75 juta di antaranya dipakai untuk sumbangan kepada partai. Namun, biaya itu melonjak pada Pemilu 2009. ”Dahulu, pemilih sudah senang jika dikunjungi dan disapa. Namun, sekarang, hal itu tidak cukup lagi,” ucapnya.
Di saat yang sama, fraksi di DPR juga belum memiliki indikator kinerja untuk menilai para kadernya. Akibatnya, siapa yang menyumbang partai paling banyak cenderung dapat dekat dengan elite partai dan lebih diperhitungkan.
Tertutupnya pengelolaan keuangan partai, lanjut Sebastian, membuat parpol memberi ruang yang besar kepada kadernya untuk terjebak dalam korupsi. Pasalnya, partai meminta kadernya untuk memberikan sumbangan, baik secara rutin maupun jika ada kegiatan.
”Sumbangan itu menentukan kedekatan dan akhirnya besarnya pengaruh yang dimiliki seorang anggota DPR. Orang lalu menggunakan pengaruhnya, antara lain dengan duduk di Badan Anggaran DPR,” ujar Sebastian.
Korupsi di DPR, kata Sebastian, sekarang dilakukan dengan memborong berbagai proyek di APBN. Sejumlah calo memberikan uang kepada pejabat di kementerian atau lembaga untuk mendapatkan sejumlah proyek. Uang itu juga diberikan kepada sejumlah anggota DPR agar mereka menyetujui sejumlah proyek. Dalam kondisi ini, lelang hanya menjadi formalitas.
”Saya bingung, dari mana memperbaiki DPR. Jalan paling mungkin, dengan mendorong parpol membuat rancangan anggaran selama periode tertentu seperti satu tahun, dan bagaimana memenuhinya. Rancangan itu lalu diumumkan ke publik.” tutur Sebastian.
Ia melanjutkan, ”Tentang perbaikan sistem pemilu atau lingkungan, selama masih banyak politisi instan, semua dapat diakali.” Politisi saat ini umumnya bukan orang yang bekerja keras dan mengakar di masyarakat. Mereka pun cenderung memakai uang untuk meraih dukungan.
Mentalitas instan dalam politik, lanjut Haryatmoko, juga dipicu oleh tingginya ketidakpastian politik. DPR pun menjadi tidak peka terhadap aspirasi konstituennya.
Korupsi di DPR pun kini berkembang menjadi korupsi kartel elite. Korupsi kartel elite ini biasanya mendapatkan dukungan jaringan politik (parpol), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi.
Suburkan korupsi
Agus Santoso mengakui, proses demokrasi yang berkembang di Indonesia justru menyuburkan korupsi. Demokrasi yang dalam alam teoretis mengandung unsur musyawarah, dalam praktiknya menjelma menjadi negosiasi berdasarkan uang. Akibatnya, banyak keputusan di lembaga legislatif tidak didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tetapi pada berapa besar uang yang bisa diperoleh anggota DPR.
Sudah jadi rahasia umum, jika sebuah lembaga ingin menyelesaikan legislasi yang terkait dengan lembaganya, mereka harus menyediakan dana untuk kegiatan anggota DPR. Menurut Agus, dana itu biasanya dianggarkan dalam pos sosialisasi yang hanyalah formalitas. Lembaga pemerintah di daerah juga diduga kerap dimanfaatkan anggota DPR.
Menurut Agus, dari ribuan transaksi mencurigakan yang dianalisis, PPATK menemukan pola tertentu dalam proses korupsi. Satu temuan PPATK adalah tindak pidana korupsi banyak dilakukan oleh lembaga yang sebagian besar pegawainya berhubungan sejak remaja. Mereka juga kuat ”melindungi” korupsi.
Akhiar mengingatkan, hakikat wakil rakyat adalah menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi warga yang diwakilinya. Wakil rakyat yang terlibat korupsi adalah orang yang tidak memahami amanahnya.
Akhiar pun menyarankan adanya waris pidana untuk pelaku korupsi. Anak atau keluarga pelaku korupsi harus ikut bertanggung jawab mengembalikan kerugian negara dari pelaku yang sudah terbukti. Sebab, jika tidak terungkap, anak dan keluargalah yang menikmati hasil korupsi. (ANA/NWO/FAJ/TRA)
Source : Kompas.com