Pemilu 2009 telah memasuki tahap awal yaitu pencalonan anggota legislatif oleh partai politik. Namun, publik tidak dilibatkan, dalam proses politik yang amat menentukan negara pada masa datang.
Kini, masyarakat dihinggapi kejenuhan politik (political fatigue), atau semacam kekecewaan demokrasi (democratic disappointment), akibat kurang bermaknanya demokratisasi terhadap kehidupan masyarakat.
Tingginya angka golput dalam pilkada, tampilnya sedikit pemimpin muda, lemahnya kaderisasi dalam partai, merosotnya kredibilitas penyelenggara negara karena korupsi, dan skandal moralitas menjerat elite politik, mengurangi ”greget” publik menyambut Pemilu 2009.
Kecenderungan ini memberi pertanda khusus Pemilu 2009. Melemahnya antusiasme publik berpartisipasi dalam pemilu dan lunturnya kepercayaan publik terhadap demokrasi bisa menyebabkan kualitas Pemilu 2009 merosot, tidak sebaik Pemilu 2004. Jika tidak diatasi, hal ini dikhawatirkan menjadi sandungan politik bagi keberlanjutan demokrasi di Tanah Air.
Kualitas demokrasi
Di masyarakat yang demokrasinya sedang berkembang, seperti Indonesia, rendahnya partisipasi politik mengindikasikan aneka makna. Bisa jadi ini pertanda buruk performa institusi demokrasi, atau mencerminkan rendahnya kesadaran politik warga. Tetapi, melihat tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004, tidaklah tepat menyalahkan warga negara. Masalahnya terletak pada institusi demokrasi kita.
Partisipasi adalah soal hak, bukan kewajiban. Penggunaannya pun tidak bisa dipaksakan, tetapi berdasarkan kesadaran politik warga. Jika masyarakat memandang penggunaan hak politiknya akan memberi manfaat bagi kehidupannya, dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, jika tidak, mereka akan mengabaikannya.
Merosotnya partisipasi politik bisa dibaca sebagai kurang bermaknanya, lembaga-lembaga demokrasi dalam memajukan hak-hak dasar hidup warga.
Gejala ini sebenarnya sudah terbaca sejak tahun 2001-2003, saat demokrasi di Tanah Air masih berkembang dalam tahap awal (Olle Tornquist, dkk, 2004). Namun, dampaknya mungkin baru dirasakan sekarang.
Merosotnya partisipasi publik merupakan dampak bekerjanya sistem demokrasi selama ini. Dalam sistem demokrasi yang telah berkembang, tingkat partisipasi merupakan pertanda politik penting untuk menilai kualitas demokrasi. Saat rakyat merasakan kebutuhan dasar dan hak-hak politiknya tidak terpenuhi, mereka akan bersikap apatis terhadap proses politik yang terjadi.
Ketidakpastian
Bagaimana meningkatkan partisipasi warga yang sudah merosot dan tidak percaya pada demokrasi? Tidak ada rumus pasti atas masalah ini. Partisipasi adalah masalah rumit, terkait kompleksitas hubungan lembaga politik dengan kehidupan masyarakat sipil yang luas.
Sistem demokrasi selalu menghadapi ketidakpastian. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah panglima. Terlebih mendekati pemilu, mereka adalah penentu terakhir permainan politik, dengan segala misteri di dalamnya. Apa kemauan rakyat dan kepada siapa mereka menjatuhkan pilihan politik selalu menjadi tanda tanya bagi demokrasi.
Masalah ini bukan hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga negara yang telah maju demokrasinya. AS, misalnya, selalu menghadapi masalah tingginya angka golput. Namun, karena politik sehari-hari, atau normal politics, mereka bekerja dengan baik maka mereka bisa mengatasinya.
Bagi Indonesia, tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004 bisa dijadikan modal dasar guna mengatasi ketidakpastian ini. Masalahnya, terletak pada institusi demokrasi kita. Bagaimana menjadikan institusi-institusi demokrasi ini lebih berarti sehingga publik kian berpartisipasi dan menjadikan sebagai kepedulian bersama.
Kini, yang paling mendesak, jelas di depan mata sekaligus paling realistis dilakukan, adalah bekerjanya institusi Pemilu 2009. Bagaimana menjadikan Pemilu 2009 lebih berkualitas, setidaknya seperti Pemilu 2004 sehingga mendongkrak kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Memberi nilai lebih
Kualitas demokrasi bisa ditingkatkan dengan memberi nilai lebih pada bekerjanya institusi demokrasi dengan menambahkan kebaikan atau berbagai kemuliaan nilai demokrasi untuk kebaikan bersama (public virtues).
Fundamental dalam demokrasi, seperti ditekankan Amartya Sen (1999), adalah hidup dalam kebebasan. Dengan itu, warga negara bebas menyampaikan pikiran, pendapat, berbicara, menentukan pilihan, dan tujuan hidupnya. Dalam hal ini, berkembangnya demokrasi akan memperluas kebebasan nyata (the real freedom) dan memperkaya makna hidup (enrhicing human life), menjadikan kehidupan publik lebih bermakna.
Dalam sistem demokrasi yang bebas dan terbuka, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat akan menumbuhkan berkembangnya diskusi publik. Diskusi publik ini akan menumbuhkan berkembangnya nalar publik (public reasons) berupa berkembangnya kepedulian publik terhadap masalah yang dihadapi.
Di sini menjadi jelas perbedaan antara sistem otoriter, atau otokrasi, dan demokrasi. Jika dalam pemerintahan otokratis, berbagai masalah pembangunan, seperti bencana kelaparan, kemiskinan, kemerosotan kualitas hidup, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik sosial akibat pembangunan cenderung ditutup-tutupi rezim penguasa, dalam demokrasi—berkat berkembangnya diskusi publik—bisa segera diatasi.
Merosotnya partisipasi publik dan kualitas demokrasi bisa diselamatkan dengan menumbuhkan berkembangnya demokrasi nalar publik (public reasons democracy) dalam Pemilu 2009. Dengan demikian, politik demokrasi kita memiliki kepedulian terhadap aneka masalah yang dihadapi publik. Pemilu dengan diskusi harus dikembangkan.
Masalah-masalah mendesak yang dihadapi bangsa, seperti pemulihan krisis ekonomi, pemilihan pascakonflik, pemulihan pascabencana, jaminan keamanan, kemerosotan kualitas hidup kesehatan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan problema sosial-ekonomi lainnya, harus bisa diangkat dan mendapat pemecahannya dalam Pemilu 2009. Tanpa itu, dikhawatirkan kualitas demokrasi kita akan kian merosot, tidak peka terhadap masalah-masalah dihadapi bangsa sekarang ini.
Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM, Yogyakarta
Source : kompas.com