TAK terbantahkan, pasca perdamaian bersemi antara GAM – NKRI, 15 Agustus 2005 lalu, banyak perubahan terjadi di bumi Aceh.Tak terkecuali iklim politik juga ikut berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi dalam butir MoU tersirat kebebasan Aceh mendirikan biduk politik tersendiri berlabel partai politik lokal.
Kondisi ini perlahan menjungkirbalikkan serambi Mekkah yang dimasa konflik sempat dicap sebagai ladang pembantaian berdarah menjadi kancah pergulatan demokrasi bersampul damai. Rakyat negeri segi tiga itupun termasuk penulis menggantungkan berjuta harapan dari situasi kontras tersebut.
Setidaknya, rakyat berharap konsekuensi konflik panjang berupa trauma ketakutan bakal berganti dengan ketentraman; kemelaratan ekonomi berujung kemakmuran; dan penindasan kejeniusan anak negeri diasah kembali dengan beragam ilmu pengetahuan.
Harapan ini tentu masih dalam kategori standar yang semestinya layak dinikmati rakyat merdeka.Namun mewujudkan asa itu bukan perkara mudah semisal membalikkan telapak tangan. Faktanya, 63 tahun usia kemerdekaan nusantara tercinta ini, masyarakat miskin masih berselemak hampir di seluruh sudut negeri.
Karena itu, di samping intelektual dan kritis menyikapi ketimpangan sosial, Indonesia teristimewa Aceh membutuhkan para politikus baik pemain lama maupun pendatang baru yang mempunyai itikad kuat membela mati-matian nasib rakyat demi perubahan positif di masa mendatang.
Kecuali itu, demi suksesnya proses demokrasi baru pasca damai, Aceh juga menuntut keikhlasan para politikus menanggalkan perangai tikus dan politik dagang sapi yang barangkali terlanjur dilakoni selama ini. Dengan begitu, momen demokrasi damai 2009 mendatang tidak sekedar menghasilkan pergantian wajah dipanggung parlemen, tapi juga berkonsekuensi merubah nasib rakyat.
Lantas timbul pertanyaan besar, mungkinkah asa ini tercapai? Dan bagaimana realita sebenarnya di lapangan?
Secara pribadi, penulis hanya bisa menjawab “entahlah..?!” sembari berdoa semoga harapan masyarakat Aceh itu benar-benar tercapai. Satu hal yang pasti, animo sejumlah anggota masyarakat Aceh memperebutkan kursi empuk pada pemilu 2009 mendatang, sangat besar sebagaimana ditulis Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi, SH (foto) melalui siaran persnya yang diterima Waspada, Jumat (22/8).
Bahkan, menurut hasil survei lembaga non pemerintah itu, animo masyarakat Aceh yang mendaftarkan diri menjadi caleg kali ini hampir sama dengan proses ikut test CPNS. Tapi ironisnya, keikutsertaan itu tidak dibarengi pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi anggota legislatif Aceh ke depan dan cenderung dilatarbelakangi faktor tidak memiliki pekerjaan alias melepaskan diri dari kungkungan pengangguran.
Jadi menurut Auzir, boleh dikatakan mayoritas caleg saat ini hanya menjadikan moment pemilu 2009 sebagai ajang adu keberuntungan dan mencari sensasi semata. Sebagian besar dari mareka hanya butuh rakyat ketika mau pemilu. Padahal figur caleg dambaan rakyat adalah orang-orang tangguh yang telah teruji membela rakyat dalam kondisi apapun.
Parahnya lagi, kata aktivis muda itu, banyak anggota masyarakat yang terlalu percaya diri untuk maju sebagai caleg meski terkadang untuk pemilihan kepala lorong di tingkat kampung saja mereka kalah, sehingga terkesan caleg-caleg itu sekadar ikut-ikutan tanpa visi dan misi yang jelas kecuali tok menduduki kursi empuk di ruang sidang.
Dapat dibayangkan betapa hancurnya negeri ini jika caleg sekaliber itu berhasil lolos ke dalam gedung terhormat. Paling-paling cengengesan, sesekali ngorok seusai memutar kursi goyang, sementara nasib rakyat terabaikan.Dengan kata lain, anggota dewan seperti itu hanya menjadikan status anggota legislatifnya sebagai ’kanoet bu’ alias tempat mencari makan semata.
“Menyikapi kondisi ini, kami berharap agar rakyat Aceh berhati-hati dan dapat mawas diri dalam memilih figur caleg pada serta demokrasi 2009 mendatang, sehingga aspirasi rakyat melalui lembaga legislatif ke depan dapat terakomodir dengan baik,” demikian nukil Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi, SH.
Sementara M. Nur Abri, seorang caleg muda Aceh Timur dari salah satu partai lokal saat dimintai tanggapannya tidak menafikan fenomena miris itu. Namun demikian, secara objektif dia menilai antusiasme sebagian masyarakat mencalonkan diri menjadi caleg harus dipandang sebagai suatu hal yang wajar.
Semakin banyak orang yang mendaftar diri sebagai caleg, kata Abri, akan semakin terbuka peluang terciptanya demokrasi hakiki di bumi Aceh. Sama halnya dengan kehadiran banyak partai akan memberikan pembelajaran politik baru, baik bagi kalangan partai politik itu sendiri maupun bagi rakyat pemilih. Lagi pula, kemampuan seseorang tidak adil jika dinilai hanya dari mana ia datang. Sebagai kiasan, kulit durian dari luar kelihatan membahayakan, tapi isinya diincar banyak orang.
“Namanya juga demokrasi. Siapa dan darimana pun dia datang, apakah dari kalangan petani, pengusaha, akademisi, miskin atau kaya, bodoh atau pintar, semuanya berhak mencalonkan diri sebagai caleg asalkan memenuhi persyaratan. Soal siapa yang terpilih itu urusan rakyat,” tandas pendiri Himpunan Mahasiswa Aceh Timur itu.
MUSYAWIR, WASPADA ONLINE
Source : Harian Waspada, 23 Agustus 2008