Home > Education > Political Marketing > Lahirnya Eks-GAM Sakit Hati

Ada keinginan yang tak tergapai, atau ada janji yang tak dipenuhi, menjadi penyebab utama seseorang sakit hati, termasuk mantan anggota GAM. Berapa banyak jumlah mereka dan apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?

BEBERAPA waktu lalu, gencar diperbincangkan mengenai “Barisan Eks-GAM Sakit Hati”. Ada yang membantah keberadaan barisan eks-GAM sakit hati ini. Ada pula yang setuju. Di antara yang membantah adalah petinggi-petinggi eks-GAM itu sendiri seperti Irwandi Yusuf yang Gubernur/Kepala Pemerintah Aceh, Ketua Tim Monitoring Keamanan Komando Pusat KPA Darwis Jeunieb, juga Irwansyah, Juru Bicara KPA Pusat.

Ada juga yang menilai keberadaan barisan eks-GAM sakit hati memang benar adanya. Hal itu terlihat dari apa yang dikatakan oleh Otto Syamsuddin Ishak, Peneliti Senior Imparsial. Dia mengatakan, “Pada intinya eks-GAM adalah banyak barisan sakit hati yang merasa dikhianati oleh temannya sendiri”.

Nah, ada lagi yang mengaku bahwa banyak eks-GAM sakit hati yang mendatangi dirinya. Orang itu adalah Kepala Bagian Penerangan Daerah I Wilayah Batee Iliek, Kabupaten Bireuen, yang membawahi delapan sagoe (sekarang lima kecamatan). Namanya Rusydi Ramli Tambue, alias Bupati, alias Cek Roeh. Dia mengatakan sangat setuju dengan pernyataan Otto Syamsuddin Ishak. “Banyak yang datang menemui saya dan berkeluh kesah atas situasi ekonomi mereka saat ini,” kata pria paruh baya yang mengaku bahwa setelah MoU RI-GAM di Helsinki, ia ditugaskan oleh Panglima GAM Wilayah Batee Iliek waktu itu sebagai Senior Representative GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) Bireuen.

“Banyak sekali kawan-kawan saya pada umumnya eks-GAM ‘kecil-kecil’ atau eks-prajurit-prajurit TNA berjabatan rendah mengatakan kepada saya bahwa mereka sangat kecewa dan sakit hati kepada petinggi-petinggi eks-GAM sekarang ini. Mereka itu sakit hati karena merasa ditelantarkan. Ini memang wajar. Kita lihat saja para petinggi, semua sudah kaya-kaya dan sudah sejahtera, sedangkan eks-GAM kecil ini untuk makan sehari-hari saja susah sekali. Ini menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang cukup tinggi,” kata Rusdi.

“Jika ada yang mengatakan sebagian eks-GAM yang sudah sejahtera karena pandai mencari peluang usaha, itu tidak benar sama sekali,” timpalnya lagi. Dijelaskan, dalam situasi ini perlu diluruskan, tidak ada eks-GAM yang tidak pandai mencari peluang usaha. Menurut dia, yang ada adalah ketidakadilan eks-GAM kepada mantan anak buahnya sendiri. Rusdi mengutip pepatah Aceh, “Meunyoe yoeh mantoeng di laoet sapue pakat, teuman jinoe katroeh u darat, ka laen keunira.” Artinya, dulu waktu masih di lautan senasib seperjuangan, akan tetapi kini ketika sampai di darat (damai) sudah tidak senasib dan tidak seperjuangan lagi. “Dulu waktu di gunung satu telur dimakan sepuluh orang, sekarang setelah damai sepuluh telur dimakan satu orang,” kata dia lagi.

Dikatakan, ada juga petinggi GAM yang mengatakan di media dengan menyarankan agar “mantan anggota eks-GAM yang saat ini belum mendapatkan kesejahteraan, diharap bisa bersabar.” Pernyataan ini, menurutnya, disayangkan oleh ratusan eks-GAM yang merasa sakit hati. “Ada yang mengatakan bahwa para petinggi enak saja bicara seperti itu karena dia sendiri sudah kaya dan sejahtera, sedangkan kita terlunta-lunta. Akan tetapi, kalau sama-sama terasa belum sejahtera, maka oke-oke sajalah kita bersabar,” katanya.

Untuk itu, kata Rusdi, tak mungkin orang yang terus-terusan telantar mau untuk bersabar. Situasi ini dikhawatirkan menyebabkan eks-GAM yang sakit hati berubah haluan dan “terakumulasi” kepada eks-GAM Anti-MoU yang benihnya diyakini masih ada. “Kita tak ingin situasi ini memicu konflik baru di Bumi Aceh. Saya berharap kepada petinggi-petinggi eks-GAM, perhatikanlah dan berbagi rasalah dengan mantan-mantan anak buahnya yang belum sejahtera itu,” katanya.

Ia mengimbau rekan seperjuangan yang sudah sejahtera dan sudah mantap ekonominya agar berbagi dan saling bantu. Dengan demikian, tidak akan menjadi musuh antara satu dengan yang lain. Harus diingat, katanya, para petinggi yang sudah sejahtera tak terlepas dari pengorbanan rekan-rekan seperjuangan yang tersisih atau yang telantar tersebut. “Jika mereka-mereka ini tidak diperhatikan, dikhawatirkan akan menjadi bumerang yang sangat berbahaya nantinya. Kita sangat tidak inginkan itu terjadi,” pungkas Rusdi. (gun)

Tabloid KONTRAS Nomor : 536 | Tahun XI 8 – 14 April 2010, 13 April 2010

You may also like
A Fork in the Road for Aceh
Fase-fase Transformasi MoU Helsinki
Pimpinan Politik GAM Bertemu Marti Ahtisaari
Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

Leave a Reply