Jakarta, Kompas – Dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pemilihan Umum 2009 di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang diduga melibatkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, semakin menunjukkan rendahnya integritas dan profesionalitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Kasus itu akhirnya memunculkan pertanyaan tentang legitimasi Pemilu 2009.
”Keabsahan Pemilu 2009 memang diakui, tetapi untuk legitimasi merupakan pertanyaan lain,” kata Malik Haramain, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Kamis (23/6), di Jakarta.
Penilaian itu muncul, menurut Malik, karena dugaan pemalsuan surat MK hanya salah satu dari sebagian kasus yang muncul pada Pemilu 2009. Sejumlah masalah lain telah muncul, seperti kekacauan kinerja pelaporan hasil penghitungan suara secara elektronik dan amburadulnya daftar pemilih tetap.
Bahkan, DPR periode 2004-2009 sampai membentuk panitia khusus angket untuk mengusut kekacauan daftar pemilih tetap pada Pemilu 2009. Salah satu rekomendasi pansus itu adalah memberhentikan komisioner KPU. ”Dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada era reformasi, kualitas Pemilu 2009 memang paling banyak dipertanyakan,” kata Malik. Ia menambahkan, kondisi itu terutama disebabkan rendahnya kapasitas KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Nurul Arifin, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, menambahkan, rendahnya kapasitas anggota KPU membuat mereka sering kebingungan saat membuat keputusan sehingga akhirnya mudah diintervensi. Namun, kekacauan di KPU itu juga dapat diduga merupakan bagian dari desain besar yang dimainkan kelompok tertentu. ”Dalam politik, upaya desain-mendesain biasa terjadi, terutama jika memiliki kekuasaan,” kata Nurul.
”Yang pasti, Pemilu 2009 merupakan kesalahan kolektif kita serta menjadi pelajaran yang amat mahal dan berharga. Kondisi 2009 tidak boleh terulang pada pemilu mendatang. KPU mendatang harus lebih berintegritas dan profesional,” ujar Nurul. Persyaratan menjadi anggota KPU pun, kata Nurul, akan diperketat. Setiap anggota KPU harus memiliki pemahaman cukup di bidang politik dan pemilu.
Polisi jangan ragu
Terkait pengusutan kasus surat MK yang palsu itu, menurut ahli pidana pemilu Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso, Kamis, polisi tidak usah ragu untuk segera menindaklanjuti. Masalahnya, tindak pidana itu bukan tergolong pidana pemilu yang memiliki masa kedaluwarsa. Pemalsuan dan penggelapan surat—meskipun berkaitan dengan hasil pemilu—merupakan tindak pidana umum yang masa kedaluwarsanya hingga 12 tahun.
Mengenai banyaknya laporan masyarakat yang masuk ke Panitia Kerja (Panja) Pemilu berkenaan dengan dugaan kursi yang ditempati orang yang tak berhak, Topo mengungkapkan, polisi dapat menindaklanjuti laporan itu untuk mengecek kebenarannya. ”Kalau ada bukti-bukti, bisa diproses,” ungkapnya.
Hanya saja, apabila seorang anggota DPR terbukti mendapatkan kursi dengan tidak semestinya, ungkap Topo, mekanisme penggantian anggota DPR (pengembalian kepada yang berhak) tidak diatur dalam UU Pemilu. Putusan pengadilan tidak dapat menjadi dasar untuk menanggalkan kursi yang didudukinya. Jalan keluarnya ketika yang bersangkutan diberhentikan atau dinonaktifkan saat menjalani hukuman yang dijatuhkan, yaitu proses pergantian antarwaktu.
Ketika ditanya bagaimana jika yang berhak adalah calon anggota legislatif dari partai politik lain, Topo mengungkapkan, sulit dilakukan. ”Kerangka hukum kita tidak mengatur seperti itu. Memang agak sulit,” katanya.
Ia menyarankan Panja Mafia Pemilu sebaiknya fokus pada kemungkinan terjadinya perubahan putusan-putusan MK (apakah ketetapan KPU sesuai dengan putusan MK). Panja tidak perlu menarik persoalan terlalu jauh ke belakang, seperti pada tahapan-tahapan pelaksanaan pemilihan karena hal itu bukanlah otoritas Panja.
Dalam menghadapi kasus itu, sosiolog UI, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo menghadapi kendala politis karena diduga terkait kepentingan Partai Demokrat. ”Kapolri ewuh pekewuh karena diangkat oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Pengangkatan sebagai Kapolri itu sendiri bagaikan durian runtuh bagi Timur,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, dugaan kasus pemalsuan surat MK harus terus dibongkar oleh Komisi II DPR melalui proses politis sehingga tak ada hal yang ditutup-tutupi. ”Kendala politis harus diangkat atau dibongkar di DPR sehingga tak ada yang ditutup-tutupi,” ungkapnya.
Jika kasus terbongkar di DPR, ujarnya, hal itu diharapkan dapat menjadi dorongan bagi penyidik Polri untuk mengusut serta tidak terbebani beban politis dan psikologis. Tamrin mengakui, upaya membongkar dugaan kasus pemalsuan itu secara politis di DPR belum menjamin penegak hukum dapat mengusutnya seperti kasus Bank Century.
Secara terpisah, Timur Pradopo hanya mengungkapkan, ”Masih diselidiki.” Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam mengatakan, penyidik Polri tak tertekan atau terpengaruh secara politis dalam mengusut dugaan kasus itu. Penyidik masih mendalami alat bukti yang diperlukan. (NWO/ANA/FER)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.