Setelah sekian pemilihan kepala daerah (pilkada) terselenggara, semakin tampak bahwa partai politik (parpol) menghadapi situasi yang tidak mengenakkan.
Di satu sisi parpol memiliki peran yang teramat penting di dalamnya dengan menjadi pengusung pasangan calon, apalagi sebelum diperbolehkannya calon independen, sementara di sisi lain cukup banyak hasil-hasil pilkada yang menunjukkan gejala ketidakkonsistenan antara kekuatan partai dengan perolehan suara dari calon-calon yang mereka dukung.
Kasus terakhir pada pilkada di Jawa Timur menegaskan kembali fenomena tersebut. Calon yang resmi mewakili PKB, yang memiliki dukungan terbesar pada Pemilu 2004 lalu (30,55%) harus menerima kenyataan hanya didukung oleh sekitar 7% pemilih saja.
Data-data yang ditampilkan oleh para penyelenggara penghitungan cepat sedikit banyak menunjukkan bahwa dua konstelasi parpol yang berbasiskan hasil Pemilu 2004, juga Pemilu 1999, tidak dapat memproyeksikan secara simetris hitung-hitungan perolehan suara para calon yang berlaga di pentas pilkada. Dua pasangan calon yang akan bertarung dalam putaran kedua bukanlah pasangan yang diusung oleh partai-partai besar, melainkan pertarungan calon dari PPP plus 11 parpol vs PAN,Partai Demokrat,dan PKS.
Tampaknya para pengamat sepakat bahwa salah satu faktor penting yang memengaruhi pilihan para pemilih adalah figur para calon sendiri. Tidak hanya mereka, para calon dan partai-partai politik juga sudah menyadari fenomena tersebut dan ramai-ramai mengusung figur-figur yang dapat dengan cepat diterima oleh publik.
Tidak peduli apa basis penerimaan tersebut.Fenomena artis yang terjun dalam pilkada mempertegas hal itu?yang ternyata juga merembet kepada penonjolan para tokoh tertentu dalam pemilihan presiden melalui iklan-iklan politik belakangan.
Beda Logika
Ada satu hal yang kerap terlupa bahwa penggunaan perolehan parpol sebagai basis dalam perkiraan perolehan suara calon dalam pilkada adalah suatu hal yang kurang tepat secara teoretik. Perolehan suara parpol diambil dari pemilihan umum yang berbasiskan kepada pemilihan yang menggunakan sistem proporsional atau perwakilan berimbang. Logika dasar yang digunakan dalam pemilihan dengan sistem ini adalah pilihan ditujukan kepada parpol dengan segala atribut dan simbolnya.
Maka, di dalam benak pemilih, yang akan mereka coblos adalah atribut partai dengan berbagai karakter yang kemudian menjadi preferensi pemilih.Mereka dapat mengidentifikasi dirinya dengan segala ciri dan karakter simbolis partai pilihan mereka. Adakah figur bermain dalam logika pilihan semacam ini? Tentu.
Namun figur yang didorong oleh parpol adalah top figure yang mewakili keseluruhan para wakil yang dicalonkan dan memiliki rentang pengaruh ke seluruh wilayah pemilihan.Patut dicatat bahwa pada pemilu legislatif di tahun 2004 lalu hanya dua figur yang langsung melenggang ke parlemen karena mendapat dukungan melebihi syarat minimal yang harus diraih.
Selebihnya? Sebagian berterima kasih terhadap mekanisme bahwa nomor urut calonlah yang berperan; sementara popularitas figur tertentu yang tidak memperoleh suara minimum harus merelakan sumbangan suaranya untuk diberikan kepada calon yang tidak lebih populer dari dirinya,namun berada di nomor urut di atasnya.
Maka tidaklah tepat jika kekuatan para calon yang bertarung dalam pilkada harus dikaitkan secara langsung dengan peta kekuatan partai-partai politik yang mengusungnya. Kesalahan cara berpikir semacam ini membuat setiap hasil pilkada diumumkan partai-partai besar yang kalah dalam pilkada menjadi kebakaran jenggot, sementara partai-partai yang relatif kecil perolehan suaranya dalam pemilu sebelumnya merasa besar kepala dan menganggap bahwa partai mereka memiliki peran signifikan.
Figur vs Loyalitas Partai
Dalam beberapa survei dan polling yang penulis ikuti setelah Pemilu 2004,data yang terhimpun menunjukkan signifikannya jumlah pemilih yang tidak loyal.Mereka adalah yang memilih partai tertentu dalam pemilihan legislatif namun memilih figur yang bukan usungan partai tersebut dalam pemilihan presiden.
Angka yang didapat berada di kisaran 56% untuk pemilih loyal,sehingga potensi ketidakloyalan ada di kisaran 44%. Tentu angka ini tidaklah menjadi patokan yang memadai bagi keseluruhan ketidakloyalan pemilih di semua pemilihan,terutama pilkada.
Namun, fenomena tersebut menggambarkan bahwa sebagian pemilih memiliki logika memilih yang berbeda dalam pemilihan legislatif dan eksekutif.Pemilihan presiden, gubernur, wali kota dan bupati dengan tegas menunjukkan karakter dari sistem pemilihan distrik yang nyata-nyata mengedepankan figur calon.
Artinya, berharap pemilih memiliki loyalitas terhadap partai tertentu sehingga dapat memenangkan pilkada adalah sebuah kerancuan, sama rancunya dengan mengatakan bahwa Achmady- Suhartono yang diusung PKB akan memenangi pilkada karena perolehan partai tersebut terbanyak di provinsi itu. Pemilih di Jawa Timur memiliki preferensi tersendiri terhadap calon yang tidak bisa dipaksakan.
Apalagi pilkada tersebut melahirkan banyaknya figur yang memiliki basis yang sama untuk diperebutkan dengan ketokohannya masing-masing.Otomatis kekuatan figur akan menjadi lebih signifikan dan jika bersimbiosis dengan partai tertentu akan melahirkan sinergi positif.Artinya, loyalitas partai terjaga karena pilihan figur yang tepat.
Adapun pilihan figur calon yang salah justru akan menambah potensi pembangkangan pemilih partai yang pada akhirnya melahirkan keterpurukan partai tertentu. Selain itu,pola koalisi sesaat dalam pilkada yang tidak jelas juga membangun potensi ketidakloyalan. Pemilih loyal dapat saja hengkang ke calon dari partai lain karena pilihan koalisi yang tidak membuatnya nyaman.
Jika kebingungan bertambah, jalan keluar dari para pemilih cukup sederhana,yaitu tidak memilih. Sudah saatnya kini parpol diposisikan tidak sebagai faktor utama di dalam memengaruhi pemilih sekaligus menjadi basis utama dalam dukungan terhadap calon-calon partai di dalam pilkada.
Logika distrik yang dominan dalam pilkada menjadikan figur calon memiliki peran yang juga tidak kalah penting? yang seharusnya tidak menimbulkan kekagetan atau keterpanaan manakala calon partai besar kalah ataupun calon partai kecil menang.
Syahrul Hidayat
Dosen Ilmu Politik FISIP UI dan Mahasiswa Program MPhil/PhD, University of Exeter, Inggris (//ahm)
Source : okezone.com