Home > Education > Political Marketing > Masih Perlu Deklarasi Damai

deklarasi damai

Perjanjian damai Aceh telah ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005. Namun, di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, warga masih merasa perlu untuk mengikrarkan kembali rekonsiliasi dan perdamaian pada 22 Desember 2010.

Sore itu langit hitam. Hujan turun dengan deras, menambah dingin udara di Redelong, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, di salah satu rumah yang difungsikan menjadi kantor pertemuan, puluhan perempuan, mulai dari usia belasan hingga 70-an tahun, bernyanyi bersama. Tak hanya keragaman usia, suku mereka pun beragam, yaitu Gayo, Aceh, dan Jawa. Mereka menyanyikan lagu Gayo ”Tawar Sedenge”, kemudian lagu Aceh ”Bungong Jeumpa”, hingga lagu Jawa ”Suwe Ora Jamu”.

Para perempuan yang berasal dari berbagai desa, yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Cinta Damai (KPCD), itu tengah mempersiapkan diri untuk mendeklarasikan ”Kampung Damai” pada 22 Desember 2010.

Ada tiga poin deklarasi mereka. Pertama, sebagai perempuan Bener Meriah mereka menyatakan dengan sepenuh hati, bersama-sama, akan terus-menerus menyiarkan hakikat perdamaian dari keluarga sampai masyarakat luas. Kedua, perempuan Bener Meriah menolak setiap bentuk diskriminasi, adu domba, dan segala usaha yang memicu munculnya konflik dalam masyarakat. Dan, ketiga, perempuan Bener Meriah menyerukan kepada semua lapisan masyarakat agar menghilangkan rasa curiga, menghasut, dan segala sikap permusuhan terhadap masyarakat dengan alasan perbedaan ras, bahasa, kebudayaan, bahkan pandangan politik.

Dwi Handayani (25), Ketua KPCD, mengatakan, sejak perjanjian damai ditandatangani, pemerintah belum berupaya melakukan rekonsiliasi etnik hingga ke akar rumput. Padahal, Bener Meriah adalah daerah yang terimbas konflik sangat keras.

Bergeser

Kawasan Dataran Tinggi Gayo ini memiliki keragaman etnik cukup tinggi dan, semasa konflik, hal ini dimanfaatkan oleh pihak yang bertikai untuk menyemai kecurigaan. ”Selalu saja diembuskan kalau korbannya Jawa pasti yang membunuh orang Aceh. Akibatnya, orang Jawa takut orang Aceh. Demikian sebaliknya,” kata Dwi.

Rasa curiga antaretnik masih menebal hingga bertahun-tahun setelah perjanjian damai Aceh ditandatangani. ”Karena itu, deklarasi damai diadakan sebagai kampanye bahwa tidak ada perbedaan lagi antara etnik Gayo, Aceh, dan Jawa. Apalagi kami sudah terbentuk satu komunitas perempuan cinta damai dan kami tidak ingin pengalaman pahit yang pernah kami alami terulang kembali,” tutur Dwi, yang keturunan Jawa, tetapi lahir dan besar di Gayo.

KPCD didirikan pada 19 Juli 2009. Selain mengampanyekan perdamaian, para perempuan yang tergabung dalam kelompok ini juga mengembangkan jaringan usaha bersama dan membentuk koperasi simpan pinjam. Kini, anggota KPCD sebanyak 80 perempuan dari 16 desa.

Wiwin, staf Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang memfasilitasi pembentukan KPCD, mengatakan, walau intensitasnya menurun, segregasi antaretnik masih cukup terasa di wilayah tengah Aceh. Tanpa perawatan yang memadai, kondisi itu bisa dimanfaatkan untuk memancing konflik baru.

Sebagian besar pedagang dan pemilik rumah makan yang ada di Dataran Tinggi Gayo berasal dari pantai timur Aceh, terutama Pidie dan Pidie Jaya. Mugee atau penjual ikan berasal dari Bireuen. Pulang menjajakan ikan laut, petang hari, membawa sayur-mayur produksi dari kawasan Bener Meriah dan Aceh Tengah. Adapun mayoritas suku Gayo dan keluarga transmigran asal Pulau Jawa adalah petani sayur-mayur dan agrikultur serta pemilik perkebunan kopi. Simbiosis mutualisme terjadi.

Saat konflik memuncak, sentimen antaretnis dimunculkan sehingga isu konflik, yang semula mengenai ketidakadilan ekonomi, menjadi kemarahan antaretnis. Hal ini dimanfaatkan pelaku konflik untuk membuat jurang antaretnis.

Kasus pembakaran rumah yang ditempati para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Atu Lintang tahun 2008 hampir menjadi pemicu konflik baru. Berawal dari rebutan penguasaan terminal di Kota Takengon, antara Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) dengan para mantan kombatan. Perebutan terminal berujung pada tewasnya lima orang mantan anggota GAM.

Konflik lanjutan berhasil diredam, tetapi proses hukum yang cenderung tertutup membuat masyarakat tidak banyak tahu dengan perjalanan persidangan.

Sentimen antaretnik masih terus berkembang. Segregasi diciptakan dengan merendahkan peran satu suku terhadap suku lainnya.

Lemah

Lalu, bagaimana peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) yang dibentuk untuk merekonsiliasi Aceh pascadamai?

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja BRA. Pemerintah Aceh pun berniat memperbaiki sistem dan program kerja di lembaga itu. ”Susah. Susah. Rekomendasi sembarangan. Program tidak jelas, bahkan setengah liar. Panglima nyoe, panglima jih (panglima ini, panglima itu),” ujar Nazar.

Nazar menyatakan, seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, harus duduk bersama. Lembaga reintegrasi tidak bisa mengatasnamakan satu kelompok atau kepentingan tertentu. Pembuatan program kerja harus dilakukan untuk semua pihak.

”GAM atau bukan GAM harus dapat kesempatan. Program juga harus lebih produktif. Tidak bisa bagi uang begitu saja,” katanya.

Pimpinan BRA tidak menampik hal itu. Diakui, empat tahun (2006-2009) terakhir BRA terfokus mengurusi masalah ekonomi dan pembangunan rumah atau sarana fisik lain. Sisi psikologis jarang disentuh.

Sekretaris BRA T Hanif Asmara menjelaskan, pemenuhan kebutuhan fisik dan ekonomi masih terus diupayakan. Diakui, masih banyak yang belum mendapatkan. Begitu juga dengan para korban konflik. ”Masih ada korban yang belum mendapatkan perawatan kesehatan. Belum semua korban terverifikasi,” tuturnya.

Begitu juga dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, seperti penyediaan lahan kebun gratis bagi mantan kombatan, terkendala dengan ketersediaan lahan. Pengembangan ekonomi terhambat.

Hanif berupaya meyakinkan, pada tahun-tahun mendatang, BRA akan menekankan aspek psikososial dan mengurangi segregasi antaretnis. Nilai kearifan lokal akan lebih diakomodasi dalam program reintegrasi.

”Namun, hal itu juga tergantung dari pendanaan. Tanpa dana yang memadai, program tidak bisa berjalan. Semua program butuh pendanaan,” ujarnya. Tahun 2011, BRA mendapatkan jatah dana sebesar Rp 220 miliar dari pemerintah pusat, yang sejatinya merupakan dana tahun 2010.

Masih ada ketakutan

Walaupun suasana Aceh kini jauh lebih aman dan kondusif dibandingkan dengan sebelum perjanjian damai, ketakutan masih terus membayangi sebagian warganya. Ketakutan yang sepertinya sengaja dipelihara untuk melanggengkan praktik kotor berbisnis.

Kebanyakan narasumber masih memilih menjadi anonim saat menyampaikan informasi yang menyangkut perilaku negatif aparat keamanan dan mantan petinggi GAM atau para pelaku konflik lain. Masyarakat memilih diam meski mengetahui kebenaran fakta yang ada. Mereka mengkhawatirkan keselamatan dirinya ataupun keluarganya.

Pemukulan terhadap warga yang mengeluhkan kualitas kerja kontraktor, penembakan anggota Kodam Iskandar Muda (yang ternyata belakangan terkait kasus narkoba), pemukulan kepala dinas oleh kontraktor yang kalah tender, permintaan jatah keamanan untuk acara-acara publik atau area publik sudah menjadi rahasia umum. Hukum diabaikan.

Taufik Abda, mantan aktivis Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), menyatakan, rasa takut itu masih ada hingga lima tahun perdamaian berlangsung. Hingga sekarang. Terbukti, katanya, ratusan saksi dari partai politik lokal memilih mundur ketimbang melaksanakan tugasnya.

Alhamda, anggota staf Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, menyatakan, ketakukan tetap dipelihara karena penegakan hukum lemah. ”Hukum tidak boleh diskriminatif. Masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan tidak berani karena kekhawatiran mengganggu eksistensi kelompok tertentu lebih besar,” terangnya.

Wiwin mengaku hal seperti itu masih terjadi di wilayah tengah Aceh. Masyarakat lebih senang diam daripada berkonfrontasi meski tidak sesuai dengan hati nuraninya.

A Hamid Zein, Deputi Strategis dan Intervensi Kebijakan BRA, menyatakan, butuh waktu sepanjang konflik yang telah dijalani untuk mengembalikan kondisi Aceh lebih demokratis dan beradab. Ini artinya dibutuhkan waktu lebih dari 30 tahun. Mestikah selama itu?

Source : Kompas.com

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Tak Ada Ideologi Politik di Jabar
PKS di Pilgub Jabar tanpa Konsultan Politik Eep Saefullah Fatah
Polmark Ungkap Faktor Signifikan Kemenangan Anies-Sandi

Leave a Reply