Home > Education > Political Marketing > Memilih Pemimpin Aceh

pilkada aceh

Tahun ini, jelang akhir periode jabatan gubernur dan para bupati/walikota, Aceh akan menulis cerita baru yang boleh jadi akan tetap menjadi cerita lama. Rakyat akan memilih pemimpin baru di tingkat propinsi sampai kabupaten, ataukah masih berselera dengan yang lama.
Ada dua hal yang layak direnungkan, rakyat bakal mencari pemimpin yang diinginkan, atau barangkali lebih tertarik untuk memilih orang yang kebetulan sangat berkeinginan untuk menjadi pemimpin?

Jelas sekali. Terdapat perbedaan yang cukup kental antara pemimpin yang diinginkan dengan orang yang ingin menjadi pemimpin. Yang satu lebih menunjuk pada figur yang benar-benar dibutuhkan untuk bisa membawa Aceh ke jalan yang lebih baik. Sedang yang lainnya, lebih memperlihatkan seseorang yang memiliki birahi untuk berkuasa.

Dari perbedaan itu bisa ditebak, ke mana semua akan berujung. Ketika misal warga Aceh benar-benar konsisten nantinya memilih pemimpin yang  diinginkan. Jauh-jauh hari mereka bisa mengarahkan ujung matanya dan mungkin lengkap dengan ikrar diri, untuk hanya memilih pemimpin yang layak menjadi pemimpin. Ia sudah memiliki bayangan, figur yang berkarakter seperti apa yang bakal dipilihnya.

Di sini, masyarakat yang cerdas akan cenderung berselera pada pemimpin yang memang diyakininya bukanlah profil yang hanya bisa membawa manfaat untuk beberapa orang saja. Bukan hanya pemimpin yang hanya bisa memayungi sekelompok orang saja. Baik itu payung partai atau apapun.

Berbeda halnya, andai pikiran warga Aceh lebih mengarah pada kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan yang berkutat untuk melanggengkan sebentuk egoisme. Taruhlah misal, saya mengenalnya, dan dengan memilihnya akan membantu saya untuk membuat usaha saya bisa menemukan eskalator. Karena terpengaruh kekerabatan atau sesuatu yang berdekatan dengan itu. Ketika begini, tidak menjadi suatu hal yang terlalu penting, apakah yang ia pilih menjadi pemimpin benar-benar pemimpin yang diinginkan ataukah memilih pemimpin yang berbirahi menjadi pemimpin.

Terkait ini—pemilih dan karakternya. Saya teringat dengan pandangan M Alfan Alfian dalam salah satu artikelnya (Menyoal Pemilih Cerdas: Majalah FIGUR Edisi XXXVI/Th. 2009). Disebutkan Alfian, di sana ada kedaulatan yang dimiliki rakyat sebagai pemilik.

Kedaulatan itu biasanya terkendala oleh dua hal: internal dan eksternal. Internal, karena kurangnya proaktif, sehingga pemilih mudah apatis. Gangguan lain, biasanya, kalau sang pemilih over-subyektif, mengedepankan pertimbangan primordial dan irasional yang berlebihan, sehingga kurang bertanggungjawab atas pilihannya. Kurangnya informasi, bisa berasal dari kemalasan sang pemilih, atau memang terbatasnya sosialisasi pemilu. Kalau yang kedua terjadi, maka otoritas penyelenggara pemilu patut digugat.

Faktor eksternal yang menggerogoti kedaulatan pemilih adalah bujukan-bujukan yang tidak benar dan menyesatkan, tetapi daya pikatnya tinggi. Iklan-iklan politik yang rancu kadang sangat membius pemilih yang kurang kritis, yang membiarkan dirinya menjadi obyek yang ditentukan, bukan yang menentukan.

Menurut Alfian lagi, pemilih cerdas akan menetapkan pilihannya berdasar upayanya menelusuri rekam jejak para caleg. Tentu bukan dalam konteks primordialitas rekam jejak itu, tetapi integritas, kapasitas, kapabilitas, dan prospek caleg tersebut ke depan yang diharapkan mampu menjadi anggota legislatif yang mumpuni. Dalam bahasa agama, calon pemimpin yang kita cari adalah yang sidiq (benar), amanah (bisa dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (komunikatif).

Nah, bagaimana dengan kita di Aceh?
Persoalan rakyat yang masih banyak harus berhadapan dengan masalah yang membosankan mereka, seperti kemiskinan yang disebutkan BPS, persentasenya di Aceh tahun 2010 saja sebesar 20,98 persen atau 861,85 ribu jiwa dari jumlah penduduk 4,4 juta jiwa. Ini kerap menjadi masalah. Ini bisa menjadi sebuah problem untuk mereka bisa ‘membentuk diri’ menjadi pemilih cerdas yang dimaksudkan. Tak pelak, ketika ini tidak bisa mereka lawan, jangan heran bila nanti yang muncul sama sekali bukan pemimpin yang diinginkan. Melainkan, kita harus berlapang dada melihat senyum sumringah mereka yang berbirahi menjadi pemimpin karena berhasil dapatkan yang diinginkannya.

*Zulfikar Akbar-Alumni Civic Education for Future Indonesian Leaders XIX Yogyakarta

Source : Atjehpost

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Tak Ada Ideologi Politik di Jabar
PKS di Pilgub Jabar tanpa Konsultan Politik Eep Saefullah Fatah
Polmark Ungkap Faktor Signifikan Kemenangan Anies-Sandi

1 Response

Leave a Reply