Tiga tahun menjelang pemilu, belum muncul sosok baru pemimpin yang cukup kuat di benak publik. Di tengah kekosongan sosok itu, rekam jejak tokoh mapan tampaknya masih lebih memengaruhi pandangan publik merumuskan siapa bakal calon presiden yang disukai dan kemungkinan dipilih pada tahun 2014.
Berdasarkan hasil jajak pendapat kali ini, sebagian besar responden (70,5 persen) mengaku belum mengetahui siapa tokoh yang layak dipilih di pemilihan presiden nanti. Sepertiga jumlah responden yang bisa menyebutkan nama pun cenderung tersebar ke berbagai nama tokoh. Namun, di balik ketidaktahuan itu, preferensi terhadap tokoh yang layak dipilih menjadi calon presiden tetap mampu disuarakan publik.
Tiga tahap preferensi ditanyakan, dari cakupan pengenalan dan perhatian melalui media, tingkat kesukaan subyektif, hingga kelayakan dipilih di pemilu. Dari tiga indikator itu, terlihat muncul pengelompokan pada beberapa nama tokoh lama, baik dari kalangan politisi maupun nonpolitisi.
Dari nama yang muncul di pemberitaan media, jajak pendapat ini mencatat nama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto paling tinggi diapresiasi responden. Separuh lebih responden (52,6 persen) menilai Jusuf Kalla layak dipilih sebagai presiden, bahkan 6 persen di antaranya menyatakan sangat layak. Prabowo disebut oleh 41,8 persen responden sebagai tokoh yang layak dipilih. Angka kelayakan sama ditujukan kepada mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani meski masih sedikit di bawah preferensi terhadap Prabowo.
Dari sisi tingkat kesukaan, nama Jusuf Kalla kembali mendapat apresiasi paling tinggi. Di bawah nama Jusuf Kalla muncul nama Sri Mulyani dan Ani Yudhoyono sebagai tokoh yang disukai responden. Dalam konteks pengenalan dalam pemberitaan, Sri Mulyani tercatat sebagai tokoh yang pemberitaannya paling tinggi diikuti responden. Sri Mulyani diapresiasi 78,4 persen responden disusul Jusuf Kalla dan Ani Yudhoyono.
Menonjolnya nama-nama Jusuf Kalla, Prabowo, Ani Yudhoyono, dan Sri Mulyani boleh jadi tidak lepas dari berbagai kiprah di ruang publik yang gencar dilakukan. Selain keempat nama itu, ada sejumlah nama lain (ada 11 nama) yang muncul dalam pemberitaan media dan terekam popularitas dan preferensinya di jajak pendapat ini dengan raihan rata-rata 30 persen.
Bursa capres
Menghangatnya nama tokoh-tokoh di bursa pencalonan bakal calon presiden 2014 tak terelakkan merupakan salah satu ekses mendekati berakhirnya periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa sosok kuat Yudhoyono (dan rival terdekatnya Megawati), ajang perebutan kursi RI-1 berubah menjadi ajang tanding yang relatif terbuka.
Dari tokoh parpol muncul nama Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang pertama kali dimunculkan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, organisasi sayap Partai Golkar. Nama Jusuf Kalla belakangan juga disebut-sebut. PAN menyebut Hatta Rajasa sebagai bakal calon presiden. Hal sama terjadi di Partai Gerindra yang mewacanakan Prabowo Subianto.
Dua parpol lain, seperti Partai Demokrat dan PDI-P, belum memunculkan wacana nama calon presiden. Meskipun demikian, nama Anas Urbaningrum dan Ani Yudhoyono santer disebut-sebut sebagai bakal calon presiden meskipun dalam satu kesempatan Presiden Yudhoyono menegaskan tidak menyiapkan siapa pun, termasuk istri dan anak-anaknya maju (Kompas, 10 Juni 2011). Sinyal tidak majunya Megawati terlihat pada rapat koordinasi nasional di Manado saat Megawati menyebutkan, hasil Kongres III PDI-P di Bali tahun 2010 secara eksplisit tidak menyatakan ketua umum terpilih otomatis menjadi calon presiden (Kompas, 28 Juli 2011).
Selain tokoh parpol, kalangan nonpartai juga mulai muncul. Sebut saja yang dilakukan Solidaritas Masyarakat Indonesia untuk Keadilan yang mendukung Sri Mulyani. Belakangan terbentuk Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI) yang khusus memperjuangkan Sri Mulyani pada pemilihan presiden 2014.
Cair dan terbuka
Satu hal cukup penting yang terungkap dari hasil jajak pendapat ini adalah preferensi terhadap latar belakang calon presiden yang semakin terbuka dan akomodatif terhadap perbedaan. Dalam hal etnis, misalnya, mayoritas responden (88 persen) tidak mengharuskan calon presiden berasal dari Jawa, sementara dari aspek jender, 55 persen responden menyatakan tidak masalah dengan calon presiden perempuan.
Pola penilaian terhadap faktor usia dan tingkat pendidikan juga semakin terlihat tegas bagi syarat calon presiden. Untuk faktor usia, misalnya, separuh lebih responden (64,3 persen) berharap presiden mendatang berusia 40-50 tahun. Dari syarat pendidikan, tingkat pendidikan sarjana ataupun pascasarjana semakin menjadi kebutuhan mutlak calon presiden. Yang jelas, publik masih mencari sosok pemimpin yang bersih, tegas, dan berani. (LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.