Home > News > Opinion > Menata Ulang Koalisi

Menjelang Kongres PDI Perjuangan, muncul wacana dari sejumlah pemimpin PDI-P agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menata ulang koalisi pendukungnya. Pernyataan ini lalu diartikan sebagai aspirasi beberapa elite di PDI-P agar partai ini mengubah posisi dari oposisi jadi partai koalisi pendukung SBY.

Koalisi pendukung pemerintah yang ada sekarang dianggap rapuh berdasarkan perilaku mereka dalam kasus Bank Century, kemarin. Golkar, PKS, dan PPP yang merupakan anggota koalisi justru bersikap sangat kritis: mengambil posisi dan sikap berseberangan dengan pemerintah.

Penataan ulang koalisi dianggap perlu agar kejadian kemarin tidak berulang. Untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan politik yang stabil, pemerintah butuh dukungan kuat di parlemen. Penataan ulang koalisi tak serta-merta menjamin terciptanya pemerintahan efektif dan politik yang stabil jika idenya sekadar berkontekskan perubahan partai anggota koalisi dan perhitungan jumlah kursi di DPR.

Dari aspek pilihan partai, boleh dibilang PKS dan PPP berbeda dengan Golkar. PKS dan PPP lebih agamis. Golkar lebih nasionalis dan sekuler. Ternyata dua tipe partai ini sama-sama memutuskan mengambil posisi berseberangan dengan SBY dalam kasus Century.

Dari aspek jumlah kursi di DPR, koalisi yang selama ini dianggap ”tambun” oleh banyak pengamat tak cukup mampu menjaga stabilitas koalisi pemerintah. Bayangkan jika koalisi yang dibangun lebih kecil dari yang ada, pemerintah lebih rentan lagi terhadap tekanan dan guncangan politik. Artinya, jarak ideologis ataupun penguasaan jumlah kursi di parlemen bukan faktor penjamin terciptanya koalisi stabil.

Tiga hal

Ada tiga masalah fundamental terkait ide koalisi atau oposisi di Indonesia yang harus diklarifikasi dan diselesaikan sebelum koalisi politik di Indonesia dapat stabil pada masa mendatang. Pertama, tidak jelasnya arti partai koalisi dan partai oposisi dalam politik Indonesia. Kedua, dasar bagi koalisi pendukung pemerintah lebih banyak terkait kepentingan politik ketimbang persamaan visi dan kebijakan. Ketiga, mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang ”membelot” tidak jelas.

Yang paling membingungkan saat bicara soal partai pendukung pemerintah adalah klaim bahwa partai-partai ini akan menjadi partai koalisi kritis. Artinya, mereka akan tetap kritis terhadap pemerintah meski mereka bagian dari pendukung pemerintah. Pertanyaannya: apa pembeda partai koalisi kritis dengan partai oposisi? Bukankah partai oposisi juga partai yang memang bersikap kritis terhadap pemerintah? Bukankah partai oposisi sama dengan partai koalisi kritis yang memang berniat menjaga agar pemerintahan tetap stabil dalam lima tahun mendatang? Bukankah akhirnya yang membedakan partai koalisi kritis dengan oposisi hanya pada akses terhadap posisi-posisi pemerintahan?

Jika partai koalisi kritis bisa memperoleh akses terhadap posisi-posisi di pemerintahan dan dapat juga mengkritik pemerintahan secara terbuka dan frontal, apa untungnya jadi oposisi di dalam politik Indonesia? Bukankah sebaiknya semua partai oposisi menjadi partai koalisi kritis?

Ini adalah hal pertama yang harus diklarifikasi dan dipertegas oleh politisi kita, terutama elite politik yang memang berkomitmen mendukung Presiden SBY ke depan. Tanpa kejelasan, partai dan elite politik dapat leluasa mengaku sebagai partai koalisi, tetapi berperilaku seperti oposisi dan mengganggu jalannya pemerintahan yang efektif.

Hal kedua adalah realitas saat ini: koalisi pendukung pemerintah dibangun atas dasar konvergensi kepentingan. Ada kepentingan pihak SBY dan Partai Demokrat menjaga pemerintah tetap stabil. Mereka perlu merangkul partai pemegang kursi di parlemen. Partai politik di parlemen berkepentingan dapat akses terhadap kekuasaan. Timbal balik ini jadi dasar terbentuknya koalisi pendukung pemerintah.

Namun, harus dicatat, partai politik ini juga berkepentingan mengakumulasi tabungan citra politik mereka. Dalam kasus yang mendapat perhatian publik cukup serius, misalnya, mereka berkepentingan bertindak populis. Ketika bertabrakan, kalkulasi untung-rugi kepentingan inilah yang bermain. Artinya, ketika sebuah koalisi dibangun bukan atas dasar konvergensi visi, kebijakan, dan program, melainkan dibangun atas dasar konvergensi kepentingan, kalkulasi untung-rugi kepentingan akan jadi penentu stabilitas koalisi itu. Ke depan jika ada penataan ulang koalisi konvergensi visi, kebijakan dan program harus dijadikan dasar utama koalisi itu.

Hal ketiga adalah mekanisme sanksi. Sampai sekarang ini belum ada kejelasan sanksi bagi partai koalisi yang bertindak di luar koridor koalisi. Ini perlu dibuat. Jika partai yang bertindak di luar koridor koalisi tak diberi sanksi tegas, ke depan semakin tidak jelas apa pembeda partai koalisi kritis dengan partai oposisi. Ketiga hal tersebut perlu dikonkretkan bukan agar partai tak lagi kritis dan jadi stempel pemerintah belaka. Namun, agar perpolitikan di Indonesia dapat lebih terstruktur dan bersih dari wacana atau konsep yang tidak jelas. Inilah yang harus jadi titik awal penataan ulang koalisi supaya koalisi ke depan lebih stabil dan disiplin.

Sunny Tanuwidjaja Peneliti CSIS

Source : Kompas.com, 27 Maret 2010

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Pakar: Golkar Tengah Mainkan Strategi Marketing Politik

Leave a Reply