Membaiknya kehidupan berbangsa dan bernegara kian jauh dari kenyataan ketika kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara cenderung lemah. Di sisi lain, publik justru mencari wadah yang mampu memberikan harapan politik baru.
Silang sengkarut berbagai kasus hukum yang berkelindan dengan politik saat ini tampaknya membuat publik kehilangan orientasi lembaga mana yang bisa dipercaya memperjuangkan kepentingannya. Rata-rata kondisi institusi bentukan negara dinilai parah dalam kemampuannya memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara terutama ditujukan kepada lembaga legislatif. Sebanyak 76,6 persen responden menyatakan tidak percaya kepada lembaga yang mewakili suara rakyat ini. Sikap ini tentu tidak lepas dari persepsi publik yang selama ini melihat kinerja dan perilaku wakil rakyat jauh dari harapan mereka.
Sikap kurang percaya publik kepada DPR juga diikuti dengan keraguan mereka terhadap partai politik yang notabene institusi sah yang berhak menduduki kursi legislatif tersebut. Tingkat ketidakpercayaan publik kepada partai politik kurang lebih senada dengan sikap mereka kepada DPR (80,1 persen). Selain DPR dan partai politik, pemerintah dan lembaga penegak hukum juga menjadi ”sasaran” ketidakpercayaan publik.
Rendahnya kepercayaan ini tidak lepas dari banyaknya kasus hukum yang menjerat para elite politik. Sebut saja kasus dugaan korupsi proyek pembangunan wisma atlet yang menjerat M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Komisi Pemberantasan Korupsi belum berhasil menghadirkan Nazaruddin untuk diperiksa. Terakhir, kasus ini menjalar pada kisruh dan dugaan politik uang di kongres Partai Demokrat yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Menariknya, sikap publik yang cenderung tidak percaya kepada institusi negara, seperti pemerintah, DPR, lembaga penegak hukum, termasuk partai politik, tidak serta-merta juga terjadi pada TNI. Dibandingkan dengan lembaga politik, kredibilitas lembaga pertahanan negara ini lebih dipercaya dan diakui oleh 64,5 persen responden. Gerak langkah TNI yang selama ini dinilai relatif steril serta menjauh dari proses dan hiruk-pikuk politik bisa jadi turut memengaruhi kepercayaan publik kepada institusi ini.
Demikian pula, terhadap kelompok-kelompok di luar kekuasaan, seperti lembaga keagamaan, mahasiswa, pemuda, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa, publik justru menaruh kepercayaan. Sikap ini menjadi potret bahwa hal-hal yang berbau kekuasaan dan kepentingan politik seakan menjadi sesuatu yang negatif di mata publik, seperti yang tecermin pada ketidakpercayaan mereka kepada lembaga tersebut (lihat grafik).
Nasional Demokrat
Lunturnya moralitas dalam dinamika politik kekuasaan dengan banyaknya kasus korupsi bisa jadi turut memengaruhi penilaian publik yang cenderung antipati terhadap lembaga-lembaga kekuasaan beserta elitenya. Tidak heran jika kemudian kekuatan civil society, seperti kelompok agamawan, gerakan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan juga media massa, dianggap sebagai wadah ”kekuatan moral” yang mengimbangi kekuatan politik kekuasaan yang ”dicurigai” menjauh dari nilai-nilai moralitas publik.
Maka, tidak mengherankan jika kemudian sebuah kelompok kekuatan di masyarakat yang mencoba menjelma menjadi kekuatan politik akan terancam ”dijauhi” oleh publik. Apa yang terjadi pada organisasi massa Nasional Demokrat bisa menjadi salah satu contoh. Mundurnya sejumlah tokoh, termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X dari ormas yang mengusung gagasan restorasi Indonesia, yang dipicu oleh berdirinya partai politik Nasdem, menjadi bukti sinyalemen tersebut.
Dalam jajak pendapat ini, sebanyak 69,3 persen responden yang mengaku mengetahui keberadaan ormas Nasional Demokrat cenderung setuju jika organisasi tersebut tetap menjadi ormas sesuai tujuan awal dibentuknya, tidak berubah menjadi partai politik. Hampir separuh responden (43,5 persen) kelompok pemerhati meyakini, dengan tetap menjadi ormas, Nasional Demokrat akan mampu menjadi kelompok penekan sekaligus kekuatan moral yang mampu mengimbangi kekuasaan dibandingkan mengubah dirinya menjadi parpol.
Kekuatan moral rasanya menjadi kebutuhan bagi publik sebagai antitesis dari dinamika kekuasaan yang cenderung abai pada nilai-nilai moralitas. Tidak heran jika publik berharap besar kepada kelompok-kelompok di luar negara untuk tetap menjadi pengimbang kekuasaan, terutama yang mereka tujukan kepada kelompok agamawan (15,6 persen). Sikap kelompok agamawan beberapa waktu lalu yang menilai pemerintah melakukan kebohongan publik menjadi salah satu indikator representasi sikap publik yang setia menjaga agar kekuasaan tetap berjalan di rel yang benar.
Arah bangsa
Ketidakpercayaan publik kepada politik kekuasaan juga tidak lepas dari ketidakyakinan mereka kepada arah bangsa ke depan sebagaimana pernyataan separuh lebih responden (57,6 persen). Penilaian publik ini senada dengan hasil survei rektor yang digelar Litbang Kompas pada Mei lalu. Sebagian besar (63,3 persen) dari 30 pimpinan perguruan tinggi yang diwawancarai menyatakan pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas tentang arah Indonesia ke depan (Kompas, 23 Mei 2011).
Tentu saja kondisi ini semakin memengaruhi harapan publik kepada membaiknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, jika harapan tersebut dibangun di atas ketidakpercayaan publik kepada kekuasaan. Sinyalemen yang menyatakan kekuasaan cenderung korup telah ”menghantui” publik. Bagaimanapun sinyalemen ini semakin kuat dengan terjadinya berbagai kasus korupsi yang menyalahgunaan kekuasaan.
Meminjam istilah Benedict Anderson (1983), Old State, New Society, kita berada pada corak masyarakat baru yang kritis dan menuntut perubahan dibandingkan corak masyarakat di era Orde Baru yang ”terkungkung”. Namun, di sisi lain wajah kekuasaan negara bersama elite-elitenya masih membawa corak lama. Membangun masyarakat yang kritis dan setia ”menjaga” kekuasaan agar tidak diselewengkan rasanya akan mampu memulihkan kembali kepercayaan publik. Semoga!(LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.