Agaknya, hasil Pemilihan Umum Legislatif 2009 membuat petinggi partai politik tidak lagi ada artinya. Penentuan anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak, proporsional terbuka, alias tidak lagi berdasar nomor urut membuat para petinggi partai yang dipatok di nomor kecil tak menjamin mereka melenggang ke gedung wakil rakyat.
Para tokoh parpol mati-matian dan merasa berjasa membesarkan partai ternyata tidak punya dukungan yang kuat dari konstituen, sehingga harus tersisih dengan tokoh-tokoh yang kadang kala pencalonannya sebagai wakil rakyat hanya sekadar sebagai penambang suara, vote getter.
Ternyata model proporsional terbuka memberi peluang emas kepada caleg yang tidak populer di tubuh partai menjadi wakil rakyat. Dengan bekal uang, jaringan, dan akses di daerah pemilihan membuat mereka punya kesempatan besar memijakkan kaki ke gedung legislatif mengalahkan elit partai. Sebagai tokoh yang dibesarkan oleh rakyat membuat mereka berkesempatan mengungguli para tokoh partai yang ditempatkan di nomor urut kecil.
Masuknya tokoh-tokoh nonpartai ke berbagai lapisan lembaga legislatif tentu saja membuat kalang kabut elit partai. Suasana partai yang selalu memosisikan elit partai sebagai poros utama dalam proses distribusi kesejahteraan elit berangsur-angsur pupus. Kini, keberadaan tokoh baru tersebut secara perlahan mulai menggusur elit partai. Dengan kekuatan akses dan modal yang dimiliki —terutama setelah menjadi pejabat publik— tokoh nonpartai malah menjadi kekuatan penentu di tubuh partai, menyingkirkan elite partai yang merasa paling berjasa membesarkan partai.
Tentu saja kenyataan ini membuat pusing tujuh keliling petinggi partai yang sudah terbiasa menjadi “raja kecil” di partai masing-masing. Mereka tak terima dan berusaha supaya Pemilu 2014 model penetapan caleg terpilih kembali seperti masa orde baru. Beberapa partai, seperti PDIP, dan beberapa partai lain bersikukuh untuk mengembalikan supermasi emas elit partai di kancah perpolitikan nasional.
Mempertahankan Feodalisme
Harus diakui tradisi feodalisme di perpolitikan nasional masih menjadi virus demokrasi yang sulit diberantas. Feodalisme menempatkan kekuasaan sebagai harta warisan bagi penerus di lingkaran elit partai. Feodalisme telah menjadikan elit partai atau patron sebagai pemilik syah parpol.
Kekuasaan elit partai tak ubahnya kekuasaan sekelompok bangsawan pada masa keemasan feodalisme di abad pertengahan. Dalam sejarah feodalisme, sekelompok orang disebut bangsawan yang menguasai suatu wilayah, memiliki hak kuasa atas tanah, hasil produksi dan hak atas setiap individu dalam wilayah tersebut. Hak-hak yang dimiliki pun terkesan tak terbatas, kaum bangsawan dapat mengambil keputusan yang merugikan masyarakat yang tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat tersebut karena kaum feodal memegang kuasa atas apapun yang berada di wilayahnya. Dengan kata lain, dalam sistem feodalisme, kedaulatan rakyat berada ditangan satu orang atau sekelompok orang yang mengambil hak kemerdekaan individual masyarakat dalam suatu komunitas dan ini bertentangan dengan demokrasi.
Dalam konteks sistem perpartaian Indonesia, feodalisme masih membelengu kuat pada setiap kebijakan dan kebijaksanaan partai. Paling tidak beberapa ciri berikut menjadi bukti cakar feodalisme begitu tajam menghunjam di partai negeri ini. Pertama, relasi kuasa berjalan dalam logika patron-klien. Pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya. Dalam posisi sebagai patron, pemimpin tidak hanya dicitrakan tanpa tanding, tetapi juga ditempatkan sebagai poros utama dalam proses distribusi kesejahteraan antarelite. Dalam posisi semacam ini, patron ibarat matahari yang menjadi sebab keteraturan dan akan selalu didekati demi memperoleh perlindungan dan akses sumber daya yang lebih besar.
Kedua, dalam politik di mana patron adalah matahari, segala sesuatu menjadi serba personal. Tidak ada pemisahan yang tegas antara yang personal dan yang publik. Yang terjadi adalah memublikkan sesuatu yang sesungguhnya bersifat personal. Yang menjadi keinginan dan kepentingan sang patron dianggap sebagai kepentingan publik. Sebaliknya, respons publik atas keinginan patron selalu ditempatkan sebagai serangan personal atas sang patron.
Ketiga, oposisi terhadap sang patron adalah pembangkangan. Tindakan oposisional tak bisa ditoleransi dan harus disingkirkan. Oposisi dianggap bukan penyeimbang dalam bertindak, melainkan ekspresi paling nyata dari ketidakpatuhan. Rivalitas hanya bisa dilakukan di bawah kontrol sang patron. Bahkan, dalam logika politik feodalisme baru, tidak boleh ada matahari kembar.
Pertahankan Proporsional terbuka
Beratnya risiko model proporsional terbuka yang harus ditanggung elit parpol membuat beberapa partai ingin kembali ke masa keemasan petinggi partai. Bagi elit partai yang terbiasa mendapat keistimewaan di tengah-tengah kader partai merasa tak terima jika di kemudian hari, kedudukan dan derajatnya malah di bawah pendatang baru.
Padahal masyarakat modern yang menjunjung tinggi demokrasi harus menjadikan nilai-nilai kesetaraan dalam menetapkan anak bangsa yang berminat menjadi pejabat publik. Bahkan, semangat yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, terutama nilai yang terkandung pada sila ke 2, kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke 5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan gamblang mengatakan Indonesia sebuah negara demokrasi, dan menutup ruang bagi tradisi feodalisme dengan mengedepankan kesetaraan setiap warga negara.
Atas dasar kesetaraan itulah kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No 10 Tahun 2008) ke sistem distrik. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini membatalkan penetapan anggota DPR dan DPRD melalui nomor urut menjadi suara terbanyak. Berdasar konstitusi, sesungguhnya kekuasaan tak terbatas elit partai sudah berujung, selesai.
Karenanya, heboh, bahkan konon akan berujung pada negosiasi politik antara partai yang berkepentingan demi mengembalikan penentuan caleg terpilih berdasar nomor urut sama artinya keinginan mengembalikan bangsa ini seperti zaman kerajaan yang menumpukan kekuasaan kepada patron, bangsawan, kerabat, dan keturunan.
Di tengah proses demokratisasi yang terus melaju sejak era reformasi, ternyata di tubuh partai politik masih tersimpan elit partai yang berusaha memagar dan memertahankan eksitensinya sebagai patron. Atas nama demokrasi, mereka kemudian beralasan bahwa proporsional terbuka hanya akan membuat soliditas partai kian tergerai ketika masing-masing caleg mengerahkan kemampuannya merebut kursi di parlemen.
Agaknya, partai itu lupa bahwa inti keberhasilan demokrasi justru terletak dari proses demokrasi. Sesolid apapun internal partai kalau tidak mampu menyetarakan kesempatan seluruh warga negara menduduki jabatan strategis di negeri ini sebagai pertanda partai itu masih mewarisi mental feodalisme yang sudah dibabat habis oleh founding father kita. Bukankah Bapak Bangsa memilih bentuk negara ini republik, bukan kerajaan? Itu artinya, proses demokratisasi harus memungkinkan transformasi dari kultur “kawula” atau klien menjadi kultur warga negara.
Dalam konteks inilah kemudian sesungguhnya wacana mengembalikan penetapan wakil rakyat berdasarkan keinginan elit partai (feodalisme) sudah berakhir sejak bangsa ini diproklamasikan. Sudah saatnya, rakyat Indonesia melawan kebijakan yang berusaha mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan Kerajaan Indonesia. Semoga.
Oleh : Arfanda Siregar, Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan.
Source : Harian Analisa
Posted with WordPress for BlackBerry.