AKURAT.CO, Opini publik menjadi kekuatan strategis dalam politik demokrasi, bahkan pada abad ke-18, Thomas Harris (1709) pernah mengemukakan aksioma politik Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) (Gibson, 2004:90).
Opini publik tidak sekedar dapat mempengaruhi, tetapi menentukan kekuasan dalam sistem politik demokrasi. Buktinya, dalam pemilu, siapapun yang mendapatkan dukungan opini publik mayoritas dalam bentuk suara pemilih sudah pasti meraih kemenangan elektoral dan menghantarkannya untuk memimpin lembaga eksekutif dan legislaltif.
Di abad ke-5 SM sampai dengan Abad ke-19 M, opini publik dapat diukur dengan teknik yang sangat sederhana yaitu seperti pertemuan warga, distribusi produk cetakan (seperti buku, selebaran, dll.), kerumuman rakyat, petisi, forum diskusi, demonstrasi, dan boikot. Kini opini publik diukur dengan polling atau survei yang menggunakan metode statistik yang valid dan reliabel (Herbst, 1995:48; Traugott & Lavrakas, 2008). Dalam politik elektoral modern, tentunya, polling adalah bagian tak terpisahkan dalam praktek kampanye kandidat ataupun partai politik.
Kandidat dan partai menggunakan polling sebagai bagian yang esensial dari operasi pengumpulan data kampanyenya. Polling memberikan kandidat informasi tentang apa yang pemilih pikirkan dan bagaimana kecendrungan mereka memilih (Traugott & Lavrakas, 2008:1). Polling mendeskripsikan preferensi politik pemilih.
Selain hal tersebut, ada peran polling lainnya yang perlu menjadi perhatian pemilih yaitu polling bukan hanya sekedar memberi informasi kepada kandidat tentang apa yang mesti ditawarkan kepada pemilih, tetapi juga citra politik kandidat yang diinginkan publik (Moore, 1995:125). Polling bagian tak terpisahkan dari strategi pencitraan kandidat dalam kampanye. Publikasi polling yang positif sudah pasti akan mendatangkan citra politik positif bagi kandidat dan bahkan polling dapat merekayasa citra poltik kandidat sesuai yang diinginkan pemilih. Polling bagian penting dari manajemen kesan poltik kandidat.
Selanjutnya publikasi hasil polling memiliki dua jenis dampak terhadap formasi opini publik elektoral yaitu pertama, bandwagon effect. Ini ditandai dengan adanya kecendrungan dukungan elektoral yang meningkat pada kandidat yang sekiranya diprediksi akan memenangkan pemilu berdasarakan hasil polling. Efek ini dapat mengaktivasi partisipasi pemilih potensial yang terkategori rendah keterlibatan elektoralnya. Dan kedua, sebaliknya underdog effect. Dukungan empatik pemilih terhadap kandidat yang dipredikisi kalah (the trailing candidate) dalam Pemilu.
Polling sering kali dapat mempengaruhi perilaku pemilih (Hitchens, 2009). Bahkan bagi pemilih yang pasif dengan literasi polling yang rendah, polling berpotensi menjadi alat yang ampuh (powerful tool) untuk membentuk opini publik. Oleh karena itu, polling sangat rentan dapat direkayasa atau dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, apalagi dengan keterbatasan ilmiah.
Bagi politisi Machiavellian, bandwagon effect dapat dijadikan “senjata” untuk mendulang dukungan elektoral demi meraih kemenagan elektoral. Oleh karena itu, tidak selamanya polling diselenggarakan dengan metode penelitian ilmiah, tetapi dengan metode yang tidak ilmiah atau disesuaikan dengan hasil polling yang telah dirancang sebelumnya. Itulah yang dinamakan dengan pseudo-poll atau phony poll (polling palsu).
Polling palsu memanipulasi opini publik dan sudah pasti menyesatkan nalar politik pemilih. Oleh karena itu, mengenali polling palsu merupakan bagian penting dari upaya merawat nalar sehat pemilih. Ini juga merupakan bagian dari literasi elektoral dan pendidikan politik pemilih, apalagi kini menjelang hari pemungutan suara Pemilu, 17 April 2019. Potensinya banyak pihak dengan sengaja menggunakan polling palsu demi target elektoral.
Ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam politik elektoral di Indonesia, Rhenal Kasali pernah menulis artikel dengan judul Jajak Pendapat Palsu dan dipublikasikan di surat kabar Kontan pada tanggal 1 Februari 1999.
Ragam Polling Palsu
Ada dua jenis teknik polling palsu yang umumnya digunakan dalam Pemilu yaitu call-in poll dan push poll (Merkle dalam; Traugott & Lavrakas, 2008).
Pertama, call-in poll. Teknik ini merupakan teknik yang paling umum digunakan baik oleh pollster tidak professional ataupun media massa. Teknik ini digunakan ketika publik, pembaca surat kabar atau pendengar radio ditelpon untuk mengungkapkan opininya. Dr. Norman Bradburn, direktur NORC (National Opinion Research Center) menyebutnya dengan sebutan SLOP (Self-Selected Listener Oriented Public Opinion Surveys).
SLOP disebut sebagai polling palsu, karena hasil polling seolah mencerminkan pendapat publik, padahal tidak. Dengan jumlah sampel yang besar seolah sudah menyertakan publik secara luas, padahal sampelnya dimanipulasi atau diambil dengan teknik yang tidak ilmiah.
Dalam polling tersebut, sampel dipilih atau diambil dengan cara yang tidak ketat, bahkan bisa jadi responden sendiri yang memilih dirinya sendiri sebagai sampel. Sampel diseleksi berdasarkan kepentingan pollster demi mencapai hasil polling tertentu. Hal yang sama juga dilakukan oleh pengelola website yang menampilkan pesan persuasif penawaran kesediaan pengguna untuk mengikuti polling daring (online poll). Hasil agregat polling tersebut secara instan dipublikasikan. Ini yang dinamakan dengan pendekatan log-in poll. Pendekatan ini juga banyak digunakan oleh pengguna media sosial seperti Twitter.
Pada tahun 1989, Tim Timothy C. Evans diprediksi dengan mudah akan memenangkan Pemilu Walikota Chicago. Itulah hasil call-in polling terhadap pendengar dan pemirsa yang dipublikasikan oleh stasiun radio Chicago berorientasi-kulit hitam dan Cable News Network (Warren, 1989). Pada akhirnya, efek publikasi polling tersebut mempermudah Evan, seorang kandidat independen, menjadi Walikota Chicago dengan mengalahkan Richard M. Daley, seorang putra mantan Walikota Richard J. Daley dengan dukungan mayoritas pemilih Hispanik. Dari kasus tersebut, sepertinya, media massa nampak menjadi termometer besar opini publik dengan tujuan mengukur temperatur opini publik dengan tipuan (a gimmick) dan telah melakukan malpraktek polling.
Di Amerika Serikat, ada 800 poll. Ini merupakan varian dari call-in poll. Untuk 800 poll, khalayak media atau pembaca surat kabar diminta menelpon nomor telpon 1-800 yang tanpa biaya. Polling ini biasa disponsori oleh organisasi media yang memproduksi berita. Mereka ditanyakan tentang opini mereka terhadap topik pertanyaan atau topik tunggal (Traugott & Lavrakas, 2008:177).
Call-in poll juga sering dilakukan oleh surat kabar dengan cara kupon polling yang dicetak di halaman surat kabar. Pembaca mengirim jawaban polling tersebut kepada surat kabar dan disusun data hasil polling. Polling jenis ini tidak mempunyai nilai apa-apa kecuali sekedar memenuhi rasa ingin tahu, tetapi hasilnya tidak dapat dipakai untuk menggambarkan opini publik dengan presisi yang tinggi.
Dalam era internet, kini ada aplikasi polling instan yaitu seperti Strawpoll.com. Pada awalnya aplikasi ini merupakan layanan straw-poll untuk Twitter. Di Pemilu 2019, aplikasi ini banyak digunakan oleh publik untuk mengukur kontestan elektoral misalnya calon anggota legislatif di setiap daerah pemilihannya. Jelas polling instan tersebut merupakan polling palsu. Mengapaa demikian? Karena polling instan mengabaikan teknik ilmiah penarikan sampel. Kini sudah banyak portal-portal lokal yang melakukan jenis polling instan seperti Strawpoll.com. Jenis polling tentunya hanya efektif untuk menstimulasi pemilih untuk mengenali atau mengingat kembali kandidat (candidate recall or recognition).
Selanjutnya jenis yang kedua dari polling palsu yaitu Push poll. Teknik ini biasa dalam bentuk trik telemarketing yang licik dan tidak etis (a sneaky and unethical telemarketing trick) yang digunakan dalam kampanye politik di Pemilu di Amerika Serikat.
Sejumlah besar orang ditelpon dan diminta untuk berpartisipasi dalam apa yang menurut mereka adalah polling yang sah (a legitimate poll). Dalam prosesnya, orang-orang tersebut diberitahu tentang hal-hal negatif, sering kali salah, tentang kandidat lawan. Tujuannya adalah untuk menggeser (to shift) atau mendorong (to push) opini orang tentang kandidat. Polling ini bukan bertujuan mengumpulkan data riil opini publik pemilih, tetapi sebagai black campaign yang ditujukan untuk menggiring opini publik.
Selanjutnya selain teknik-teknik tersebut di atas, masih ada dua teknik polling palsu lainnya yang biasa digunakan dalam marketing politik dan penggalangan dana di Pemilu Amerika Serikat adalah SUGing dan FURGing. Keduanya merupakan praktik menipu (deceptive practices) yang dirancang untuk memanipulasi orang dan ini dikutuk oleh asosiasi riset survei profesional.
Pertama, teknik SUGing berasal dari kalimat Selling Under the Guise (Jualan Dalam Samaran). Polling ini mengarahkan orang melalui apa yang tampaknya sebagai polling sah (a legitimate poll) dengan tujuan mencoba agar mereka mendukung kandidat tertentu. Pertanyaan-pertanyaan polling disusun sedemikian rupa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk memantapkan promosi politik terbaik (the ultimate sales pitch) untuk kandidat tertentu yang dipasarkan.
Dan kedua, teknik FURGing. Teknik berasal dari kalimat Fundraising Under the Guise (Penggalangan dana dalam Samaran). Dalam polling ini, responden diberikan survei palsu (a bogus survey) dengan tujuan agar dapat memberikan donasi kepada kandidat. Kusioner polling ini seringkali ditargetkan pada mereka yang memiliki sudut pandang tertentu dan kalimat yang ditanyakan (the questing wording) pun mengalami bias yang sesuai pandangan (point of view) tertentu.
Selanjutnya untuk melengkapi literasi pemilih tentang polling dalam pemilu dan mengkontraskan polling palsu, penting bagi mengenal dengan baik polling professional.
Mengantisipasi Polling Palsu
Untuk melindungi pemilih dari dampak pubikasi polling palsu, regulasi Pemilu mengatur mekanisme pendaftar dan prinsip profesionalitas penyelanggaraan polling dalam Pemilu 2019. Hal ini diatur dalam Pasal 449 UU No. 7 Tahun 2017 juntco Pasal 27 – 34 PKPU No. 10 Tahun 2018. Setiap lembaga survei atau polling (jajak pendapat) dan pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mendaftar ke KPU RI, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.
Dalam pendaftaran tersebut, lembaga polling wajib menyerahkan sebuah surat pernyataan yang berisi komitmen etis yang terdiri dari 8 (delapan) hal yaitu: (1) tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu; (2) tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu; (3) bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas;
(4) mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar; (5) benar-benar melakukan wawancara dalam pelaksanaan Survei atau Jajak Pendapat; (6) Tidak mengubah data lapangan maupun dalam pemrosesan data; (7) menggunakan metode penelitian ilmiah; dan (8) melaporkan metodologi pencuplikan data (sampling), sumber dana, jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu.
Kedelapan prinsip tersebut mempertegas nilai-nilai yang termaktub dalam Kode Etik Penyelenggaraan Polling yang diterbitkan oleh asosiasi lembaga penyelenggara polling.
Di masa tentang Pemilu 2019, tangal 14 – 16 April 2019, lembaga penyelenggara polling pemilu dilarang mempublikasikan hasil polling. Lembaga polling terregister di KPU RI pastinya akan dapat mematuhi ketentuan ini. Mengapa demikian, karena lembaga polling professional dapat menghormati pemilih di hari tenang sebagai masa dimana pemilih mematangkan pilihan elektoralnya.
Selanjutnya untuk mengantisipasi pemilih terdampak atas publikasi hasil polling palsu, pemilih dapat mengakses daftar nama lembaga survei/polling terdaftar di KPU RI. Selanjutnya juga pemilih dapat mengecek daftar keanggotaan dari asosiasi lembaga penyelenggara polling professional.
Di Indonesia, misalnya, ada Persepsi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia), AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik), dan ALSHCI (Asosiasi Lembaga Survei dan Hitung Cepat Indonesia). Selain menerbitkan kode etik yang bersifat mengikat setiap lembaga polling yang tergabung, asosiasi tersebut membentuk dewan etika, lembaga peradilan atas pelanggaraan kode etik yang dilakukan oleh anggotanya.
Literasi polling adalah bagian penting dari literasi elektoral dan ini juga menjadi faktor penting dalam merasionalisasi keputusan elektoral pemilih.
* DR. Idham Holik, Anggota KPU Jawa Barat
Source: Akurat.co