INILAH.COM, Jakarta – Pemilu merupakan konsekuensi logis sebuah proses demokratisasi. Sederet politisi negeri ini pun tertantang untuk mengambil peran dalam suksesi nasional lima tahunan. Sayangnya keterlibatan mereka terkesan hanya berebut kekuasaan. Di mana para intelektual?
Menjelang Pemilu 2009 publik kerap disajikan berita perilaku yang tidak elok yang dilakukan pemunculnya berita media cetak dan elektronik, yang memberitakan perilaku tidak elok penyelenggara negara baik tokoh yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, birokrasi, kepolisian, hingga aparatus militer. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan tekad dan semangat politisi bahkan juga selebriti untuk terjun mencalonkan diri dalam Pemilu 2009.
Ancaman krisis keuangan global yang menerjang saat ini juga sama sekali tidak menyurutkan tekad dan semangat para kandidat. Mereka tetap optimis. “Slogan hampir seragam dikumandangkan oleh para kandidat, akan melakukan perubahan,” kata Guru Besar ITB Prof Dr Sudjana Sapiie.
Tidak beranjaknya perjalanan bangsa dari kubangan krisis, setelah lebih 10 tahun tumbangnya Pak Harto, adalah gambaran nyata belum adanya pemahaman yang sama atas masalah yang tengah melanda. Demikian pula, premis bahwa Indonesia tidak perlu demokrasi melainkan pemimpin kuat, yang disuarakan anggota masyarakat, yang notabene adalah rakyat juga, mengesankan kurang dipahaminya prinsip demokrasi.
Dalam negara non demokrasi tidak ada ruang bagi rakyat menyuarakan aspirasi. Perlunya pemimpin kuat, adil dan bijak, tanpa harus berdemokrasi, lebih mencerminkan rasa lelah dan putus asa kaum lemah dan tertindas akibat tak kunjung ada perubahan nasib.
“Mereka mungkin memimpikan datangnya Ratu Adil,” kata mantan aktivis Universitas Padjajaran Darmawan Hardjakusumah.
Di sinilah sebenarnya keberadaan kaum intelektual dibutuhkan. Tidak hanya sekadar akademisi, tetapi juga budayawan hingga tokoh masyarakat non partisan perlu bersama menepis premis menyesatkan seperti ‘semua sudah tahu masalah, yang diperlukan bangsa ini adalah solusi’ atau ‘bahwa yang diperlukan bangsa bukan demokrasi melainkan pemimpin yang kuat yang bisa membawa bangsa keluar dari kubangan krisis’.
Untuk itu, perlu diartikulasikan bahasa intelektual yakni bahasa logika karena didukung data, bukan bahasa politik yang acapkali menanggalkan logika. “Kaum intelektual harus mengangkat persoalan pokok masalah bangsa ke permukaan agar rakyat mengetahui kadar masalah yang dihadapi,” kata Prof MT Zen dari ITB.
Terhadap persoalan-persoalan pokok itu sejatinya para calon pemimpin menawarkan solusi. Obyek yang dipertarungkan adalah visi dan konsep tentang bagaimana menggerakkan ekonomi di atas kendala yang menghadang. Menurut Prof Gede Raka, seorang akademisi ITB, rakyat akan menilai visi, konsep, dan program yang dinilai terbaik untuk mana mereka menjatuhkan pilihan secara bebas dan rahasia sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat.
Pemilu bukan lagi acara menjajajakan citra diri atau gambar partai. Proses seperti ini akan melahirkan iklim politik berdimensi etika. Pemilu yang mempertarungkan visi dan konsep adalah esensi demokrasi, yang harus diperjuangkan masyarakat madani dan bangsa ini.
Menciptakan pemilu berkualitas tentu saja tidak hanya ditentukan oleh para pemain politik maupun penyelenggara dalam hal ini KPU. Netralitas kaum intelektual sangat dibutuhkan di tengah kejemuan publik akan kotornya dunia politik. Harapannya tentu saja pencerahan kelompok intelektual menjadikan para pemilih nanti lebih jeli dalam memilih wakil dan pemimpinnya.[L4]
Source : inilah.com