Home > Education > Political Marketing > Menguak Wajah Asli Bulan Sabit Padi

Menguak Wajah Asli Bulan Sabit Padi

Perpecahan di internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperlihatkan derasnya arus pragmatisme mengikis wajah idealisme yang selama ini mereka pakai. Inikah wajah asli partai berbasis massa gerakan Tarbiyah ini?

Suasana gegap-gempita di aula Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Kamis (20/11) malam itu tampaknya tak bisa menyembunyikan kekecewaan kader-kader dan elite-elite PKS yang sedang menggelar acara “Launching 100 Pemimpin Muda Indonesia”. Maklum, dari 104 tokoh muda yang diundang untuk diganjar anugerah, tak lebih dari 30 orang yang menampakkan batang hidungnya.

Bahkan, beberapa tokoh, seperti Fadjroel Rachman, Budiman Soedjatmiko, dan Usman Hamid, secara tegas menolak pemberian penghargaan itu. Penolakan mereka terkait iklan PKS yang memunculkan sosok Soeharto sejajar dengan para guru bangsa, seperti Bung Karno, KH Ahmad Dahlan, dan KH Hasyim Ashari.

“Saya tidak bersedia hadir karena bagi saya sikap PKS (soal iklan Soeharto) adalah pengkhianatan terhadap reformasi,” ujar Fadjroel Rachman dalam pernyataan sikapnya, Kamis (20/11). Budiman dan Usman Hamid juga beralasan kurang lebih senada. Sebagian besar memilih tak hadir sebagai bentuk penolakan halus atas penghargaan tersebut.

Munculnya iklan PKS yang memosisikan Presiden kedua RI itu sejajar dengan para pahlawan negeri ini sejatinya adalah anti-klimaks dari konflik internal di partai berlambang bulan sabit dan padi itu. Setidaknya, sejak Pilpres 2004 putaran I, bibit-bibit perpecahan sudah mulai menggerogoti PKS.

Kala itu, secara resmi PKS mendukung pasangan Amien Rais-Siswono Yudhohusodo. Namun, di tingkat massa grass root terjadi pembelokan dukungan ke pasangan Wiranto-Salahudin Wahid. Anis Matta dituding sebagai biang perpecahan dukungan tersebut. Sebab, Sekjen PKS itu sejak awal menginginkan partainya mendukung duet Wiranto-Wahid.

Makanya, ketika iklan Soeharto muncul, tudingan kembali mengarah ke Anis Matta. “Anis Matta, setahu saya, selain dekat dengan Cendana juga dekat dengan Wiranto, karena Anis Matta punya hubungan saudara dengan istrinya Wiranto. Deal-deal-nya ke Cendana mungkin lewat Wiranto. Posisinya sulit digeser karena dia punya kuasa di PKS,” ujar analis politik Charta Politika, Burhanuddin Muhtadi kepada Indonesia Monitor, Sabtu (22/11).

Kuasa Anis di PKS, menurut Burhanuddin, didukung oleh figur Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin yang sangat realistis dan pragmatis. Hilmi tidak mengharamkan kreasi-kreasi model Anis dkk yang menurut sebagian kader PKS melenceng dari khitah partai ini. “Ini berbeda dengan sikap Tifatul (Presiden PKS) dan HNW (mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid) yang masih ingin mempertahankan jatidiri PKS yang idealis,” ujarnya.

Tak heran, sampai iklan tersebut ditayangkan, di internal PKS masih terjadi beda pendapat. Anggota Majelis Syuro PKS Martri Agoeng mengakui, iklan Soeharto memang dicetuskan oleh Anis Matta selaku Ketua Tim Pemenangan Pemilu Nasional (TPPN) PKS. “Iklan itu dalam koordinasi beliau,” ujar Martri Agoeng kepada Indonesia Monitor, Kamis (20/11).

Elite PKS yang tidak srek dengan gagasan Anis adalah Tifatul Sembiring. Sebagai presiden partai, Tifatul merasa dilangkahi oleh sekjennya yang mengeluarkan materi iklan kontroversi tersebut. “Memang komunikasi antara pengelola iklan dan Pak Tifatul belum srek. Pak Tifatul sempat bertanya-tanya di awal kemunculan iklan itu, tapi saya pikir itu karena soal komunikasi,” ujar Martri. Belakangan, Tifatul terlihat mulai melunak, dan ikut meng-counter orang-orang yang memprotes iklan tersebut.

Peneliti Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S Bakry juga melihat ada yang tak beres dengan iklan tersebut. Dia yakin, munculnya iklan itu karena kuatnya pengaruh Anis di lingkungan DPP, sampai-sampai pertimbangan presiden partai pun diabaikan. “Anis Matta dari dulu memang pro-Soeharto,” ujar Umar S Bakry kepada Indonesia Monitor, Kamis (20/11).

Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin langsung membantah tudingan Umar. Menurutnya, PKS selama ini dekat dengan kalangan manapun dan dengan siapapun, termasuk keluarga Cendana. Makanya, dia menepis tudingan jika iklan tersebut dikompensasi dengan guyuran dana dari Cendana.

“Tidak ada itu. PKS membiayai aktivitasnya dari kantong para kadernya sendiri,” ujar Hilmi Aminuddin kepada Indonesia Monitor di sela-sela acara “Launching 100 Pemimpin Muda Indonesia” di Bandung, Kamis (20/11).

Meski elite-elite PKS berusaha rapat-rapat menutup konflik di internal partai, aroma perpecahan terasa begitu menyengat. Tak hanya soal iklan Soeharto, soal rencana menyongsong Pilpres 2009 elite-elite PKS juga terbelah. Setidaknya, ada empat faksi yang sama-sama ngotot dengan argumennya.

Menurut sumber Indonesia Monitor di internal partai, perpecahan berawal dari keinginan beberapa elite PKS untuk mengetahui prospek duet SBY-JK di Pilpres 2009. Secara diam-diam, PKS pun memberi tugas khusus kepada dua kader mereka di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Mennegpora Adhyaksa Dault dan Mentan Anton Apriyantono, untuk membaca arah duet SBY-JK. “Hal ini dilakukan sebagai pijakan bagi PKS dalam mengambil langkah politik ke depan,” ujar sumber. Sebab, mereka sepakat, sudah saatnya PKS meminta “jatah” lebih, tak sekadar menteri, tapi kursi RI-2, bukan RI-1. Pilpres 2009 adalah momentumnya.

Hasil “investigasi” Adhyaksa dan Anton, masih menurut sumber, cukup mengejutkan: SBY kecil kemungkinannya duet lagi dengan JK. Hasil ini langsung memantik perpecahan. Sebagian anggota Majelis Syuro berpendapat, SBY masih layak untuk didukung sebagai capres, berpasangan dengan HNW. Selain anggota Majelis Syuro, Adhyaksa juga masuk faksi yang setuju opsi ini, mengingat kedekatan Adhyaksa dan SBY sebagai sesama pendiri Partai Demokrat.

Sebagian anggota Majelis Syuro berpendapat, justru JK yang layak didukung sebagai capres (dengan formasi kandidat RI-2 tetap HNW), mengingat RUU Pilpres mensyaratkan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara, di mana Partai Golkar lebih berpotensi ketimbang Partai Demokrat. “Makanya, pilihan JK adalah pilihan realistis berdasarkan angka-angka itu,” ujarnya.

Di luar dua pilihan itu, ada juga faksi di PKS yang menghendaki lepas sama sekali keterikatan dengan penguasa hari ini, baik SBY maupun JK. Di kelompok ini, sebagian menghendaki HNW dipasangkan dengan Megawati, sebagian lagi menghendaki Wiranto sebagai capresnya.

Faksi yang menghendaki HNW ditandemkan dengan Megawati adalah kelompok Hidayat Nur Wahid sendiri. Sementara, yang menghendaki Wiranto sebagai tandem HNW adalah kubu Anis Matta. Meski Wiranto hanya bermodal partai baru, Hanura, namun faktor Anis bisa menjadi kekuatan yang tak dimiliki kubu lain.

Martri Agoeng mengakui, kader-kader PKS memang menghendaki ke depan tak sekadar mendapat jatah menteri, tapi lebih dari itu. Kalau berdasar pada amanat Mukernas, PKS menginginkan kadernya maju sebagai capres. “Namun, itu masih akan melihat hasil pemilu legislatif,” ujarnya.

Apakah jika PKS memperoleh suara signifikan langsung mengajukan capres sendiri? “Belum tentu juga,” ujarnya. Martri berkaca pada Pilkada Kota Bogor, beberapa waktu lalu. Meski PKS menjadi partai terbesar di kota itu, mereka memilih mengajukan calon wakil walikota. Apakah ini mengarah ke SBY, di mana perolehan suara PKS diprediksi bakal mengungguli Demokrat? “Peluang itu sangat besar. Sebab, kita tidak hanya melihat perolehan suara pemilu saja, tapi sumber daya manusia juga harus dihitung-hitung lagi,” akunya.

Adhyaksa Dault yang dikabarkan aktif di salah satu faksi juga menepis tudingan adanya faksi yang menghendaki PKS segera mencabut dukungan dari SBY-JK untuk menggaet capres dari partai lain, seperti Megawati. Apalagi melakukan manuver untuk “menelikung” SBY atau JK menjelang Pilpres 2009.

“Tidak ada (manuver) itu. Saya tidak pernah menarik-narik orang PKS untuk berpasangan dengan Bu Megawati, SBY, atau siapapun. Apalagi saya ini orang yang dipilih PKS dan kemudian diterima oleh Pak SBY, sehingga naif bagi saya kalau mengkhianati Pak SBY,” ujar Adhyaksa Dault kepada Indonesia Monitor, Kamis (20/11).

Wasekjen PKS Fachri Hamzah menambahkan, kalaupun PKS melakukan koalisi dengan Demokrat, tak serta-merta bisa dikatakan sebagai kelanjutan koalisi terdahulu. Makanya, jika itu direalisasikan, harus ada landasan baru yang mesti dibicarakan. “Tidak seperti koalisi amatir pada 2004 lalu, di mana koalisi dilakukan di tengah jalan sehingga gampang pecah,” ujar Fachri Hamzah kepada Indonesia Monitor, Jumat (21/11).

Fachri mengakui meski masih kecewa dengan masuknya Golkar dalam gerbong koalisi SBY-JK, sampai saat ini tidak ada seting politik untuk menelikung JK agar kader PKS bisa berduet dengan SBY. “Kita lebih banyak berjalan dengan waktu, dengan menangkap isyarat langit dan bumi, tengok kiri-kanan. Itu yang kita lakukan. Terlalu jauh dan berbahaya buat kita kalau melakukan seting-seting dari awal,” tuturnya.

? Sri Widodo, Moh Anshari, Ukay S Subqy

Source : Indonesia Monitor, 3 Desember 2008

You may also like
Arie Sudjito: PKS Partai Dakwah yang Krisis Etika
Protes Putusan MK, Caleg Dinilai Takut Bersaing
PKS Dinilai Progresif dalam Melangkah
Parpol Baru tidak Miliki Format Kaderisasi yang Baik

Leave a Reply