Home > Education > Political Marketing > Mengurai Cabikan Luka Partai Politik

Mengurai Cabikan Luka Partai Politik

Belum tampak perubahan yang patut dibanggakan dalam mengikuti sepak terjang partai politik di negeri ini. Publik dan khususnya konstituen partai selama ini lebih banyak mengekspresikan ketidakpuasan ketimbang kebanggaannya dalam berpartai. Masih dapatkah partai terselamatkan?

Kondisi demikian tidak boleh dipandang sebelah mata. Betapa tidak, keberadaan partai nyaris tidak dirasakan manfaatnya oleh bagian terbesar publik. Malah, lebih mengerikan lagi, kiprah partai kerap justru dipersepsikan sebagai bagian dari berbagai persoalan politik yang terjadi di negeri ini.

Pandangan miring semacam ini tampaknya sudah menjadi bagian yang belum terlepaskan dalam benak sebagian besar publik. Setidaknya, melalui pencermatan satu dasawarsa terakhir terhadap berbagai opini publik yang diselenggarakan oleh Litbang Kompas, tampak benar ketidakpopuleran partai politik di mata publik. Beragam fungsi ideal yang sepatutnya dijalankan partai dinilai minim. Tidak tampak sisi positif yang membekas dalam ingatan publik.

Sarat ketidakpuasan

Terbaru, hasil survei yang dilakukan seminggu terakhir ini. Berbagai fungsi dasar keberadaan suatu partai politik, seperti upaya ataupun peran partai ke dalam kehidupan masyarakat, hanya dirasakan positif tidak lebih dari seperempat bagian responden saja (lihat Grafik). Mayoritas, tidak kurang dari tiga perempat bagiannya, menyatakan ketidakpuasan mereka. Artinya, saat ini upaya partai dalam mengaspirasikan kepentingan masyarakat, memberikan pendidikan politik, ataupun perekrutan anggota lebih banyak dinilai negatif.

Penilaian yang mirip juga diekspresikan publik terhadap fungsi partai dalam mengontrol kinerja pemerintah. Para wakil rakyat yang ditempatkan partai di lembaga legislatif pun lebih banyak dinilai kurang memadai kinerjanya dalam menjalankan fungsi yang diembannya. Bisa saja sebagian partai politik berbangga terhadap upaya intensif mereka dalam pengawasan kinerja pemerintah, sebagaimana yang dipertunjukkan dalam penanganan kasus Bank Century beberapa waktu lalu. Bagian terbesar publik pun saat itu menyatakan apresiasi mereka. Namun, tampaknya penanganan kasus tersebut belum cukup banyak untuk mendongkrak penilaian keseluruhan terhadap peran positif partai melalui kinerja anggotanya di DPR.

Sebenarnya, tidak hanya terhadap kinerja kelembagaan partai penilaian negatif publik diutarakan. Aspek kepemimpinan partai pun menjadi persoalan yang juga dikeluhkan. Apa pun partai politiknya, baik yang kini memainkan peran signifikan maupun kurang dalam perpolitikan bangsa, tetap dikeluhkan publik kualitas kepemimpinannya. Persoalan yang sama juga dinyatakan khususnya oleh mereka yang secara sadar memilih partai politik dalam Pemilu 2009. Saat ini masih terlalu minim jumlahnya yang menyatakan kepuasan mereka terhadap kualitas kepemimpinan partai politik yang dipilih dalam pemilu lalu.

Amat mengejutkan jika membandingkan dengan kondisi sepanjang satu dasawarsa ini. Apa yang terjadi saat ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan kondisi di masa lampau. Tahun 2000, sesaat setelah partai politik menuntaskan pesta politik besar Pemilu 1999 yang dinilai amat demokratis dan menempatkan wakil-wakil mereka di DPR, toh bagian terbesar publik merasakan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja partai politik. Sebenarnya, kondisi demikian berpeluang terkoreksi sejalan dengan berlangsungnya Pemilu 2004. Sayangnya, berbagai hasil survei pada tahun 2005 masih saja menunjukkan pola penyikapan yang sama, memandang minor peran partai politik.

Penyebab kerapuhan

Menjadi persoalan besar memang eksistensi partai di negeri ini, sejalan dengan hasil survei yang kembali mendudukkan partai politik dalam posisi yang tidak juga beranjak dari masa sebelumnya. Padahal, pada saat yang bersamaan, keberadaan partai pun terancam oleh rendahnya keinginan publik untuk berpartai. Masih teramat minim keinginan responden dalam survei ini untuk mencatatkan dirinya sebagai anggota partai, apalagi memberikan donasi rutin terhadap partai.

Sejauh ini, keterikatan mereka sangatlah rapuh, terkuat hanyalah sebatas sebagai simpatisan partai yang akan mereka tunjukkan saat pemilu berlangsung. Bagi mereka, tidak tampak daya pikat partai yang mampu mendorong hasrat mereka untuk berpartai. Hanya dua aktivitas partai yang diketahui mereka, yaitu saat pemilu dan saat kongres ataupun musyawarah partai dalam pemilihan ketua umum atau pimpinan daerah. Selebihnya, gaung partai terkubur.

Keterpurukan partai politik dalam menjalankan fungsinya memang menjadi persoalan yang meredam daya tarik institusi politik ini. Jika diinventarisasikan, beragam penyebab menyertai keterpurukan partai. Dari sisi ideologi, ketidakjelasan masih tecermin di sebagian besar partai, baik pada level filosofis maupun pada implementasi program. Dalam kondisi seperti itu, kecenderungan munculnya faksi-faksi di dalam partai menjadi dominan, yang acap kali pula diikuti oleh konflik yang berujung pada fragmentasi partai.

Dalam pemandangan lain, ketidakjelasan ini juga tecermin dalam terbentuknya koalisi di antara sesama partai. Batas ideologi, program, ataupun eksistensi historis partai tidak lagi menjadi halangan dalam berkoalisi. Artikulasi politik yang berseberangan ataupun sama tidak lagi menjadi harga mati dalam berkoalisi. Koalisi pun berlangsung singkat dan semakin tidak terpola. Semakin menjadi persoalan pula dominannya orientasi terhadap materi yang kerap kali dipertontonkan adanya aroma politik uang dalam setiap kontestasi politik ataupun kerja partai politik melalui wakilnya di DPR.

Situasi semacam ini kian mendorong partai ke dalam jurang keterpurukan. Pada kondisi demikian, fenomena presidential parties (partai-partai presidensial) menjadi populer di negeri ini. Munculnya sosok yang lebih dipersonalisasikan terhadap partai yang dibentuk atau dipimpinnya tidak terhindarkan. Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, adalah Partai Demokrat. Siapa pun ketua, pengurus, atau ideologi-program partai ini, tetap saja sosok yang diidentikkan. Sebaliknya, apa pun kehendak Yudhoyono, seperti itu pula yang menjadi garis perjuangan partai. Kecenderungan semacam ini mewarnai eksistensi politik partai pasca-Orde Baru.

Selaras pula yang terjadi di level daerah. Munculnya elite- elite lokal sebagaimana yang dipertunjukkan dalam berbagai ajang pilkada dan terbatasnya partai lokal turut menggerus nilai suatu partai politik.

Beragam cabikan luka pada partai politik tentunya memunculkan pertanyaan baru, mampukah peran dan fungsi ideal partai politik terselamatkan di negeri ini? Masih menjadi persoalan pelik memang. Namun, tidaklah usang jika inilah saatnya menggaungkan kenikmatan berpartai.

Bestian Nainggolan
(Litbang Kompas)

Source : Kompas.com, 22 Maret 2010

Leave a Reply