Menurut survei Indo Barometer, 40,9 persen responden menilai kondisi era Orde Baru lebih baik dibandingkan dua era lainnya. Hanya 22,8 persen yang menilai era Reformasi lebih baik, dan 3,3 persen Orde Lama lebih baik. Survei berlangsung 25 April-4 Mei 2011 dengan 1.200 responden.
Menurut 36,5 persen responden, Soeharto adalah presiden paling disukai dan SBY di urutan kedua (20,9 persen). Selanjutnya adalah Soekarno (9,8 persen), Megawati (9,2 persen), Habibie (4,4 persen), dan Abdurrahman Wahid (4,3 persen).
Wajar kalau kemudian timbul reaksi menolak hasil survei itu dengan berbagai argumentasi, antara lain bahwa remaja usia di bawah 20 tahun tidak mengetahui bahwa pemerintah Orde Baru itu otoriter dan tidak menghormati HAM.
Terpopuler atau terbaik?
Menurut survei Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (2007, dengan 1.200 responden), 33 persen responden memilih Soeharto sebagai presiden terbaik, 28 persen memilih Bung Karno. Selanjutnya ialah SBY, Megawati, Habibie, dan Gus Dur. Harian Kompas pernah melakukan survei serupa dan, seingat saya, hasilnya tidak banyak berbeda.
Saat ini sejumlah besar warga masyarakat memang berpendapat bahwa Pak Harto adalah presiden yang paling disukai, bahkan sebagian menganggap sebagai yang terbaik. Tentu siapa pun boleh tidak setuju, tetapi kita juga harus menghormati pendapat masyarakat tersebut.
Di Amerika Serikat ada penilaian oleh para ahli tentang siapa presiden terbaik di antara 40-an nama. Ternyata presiden yang disukai rakyat belum tentu baik di mata para ahli. Presiden Truman yang tidak populer, oleh para ahli, dinilai sebagai salah satu presiden terbaik.
Indonesia tampaknya perlu juga para ahli untuk menilai prestasi para presiden kita. Ahli itu beragam dengan latar belakang berbagai ilmu, seperti ekonomi, hukum dan HAM, budaya, sejarah, politik, luar negeri, militer, komunikasi, psikologi. Dengan demikian, kita bisa belajar dari kelebihan dan kekurangan presiden kita.
Tak ada yang sempurna
Tentu tidak ada presiden yang sempurna. Prestasinya di satu aspek belum berarti juga baik pada aspek lain. Pak Harto punya catatan hitam dalam masalah HAM dan demokrasi, juga dianggap sebagai presiden otoriter. Bung Karno pada tahun-tahun terakhir juga dianggap otoriter. Pak Habibie dicatat karena memberi kebebasan kepada pers. Gus Dur dikenang sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Kebijakannya terhadap warga Tionghoa tidak akan mereka lupakan. Walau terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996 karena jabatan, SBY secara umum tidak dianggap sebagai pelanggar HAM berat. Bu Mega mendapat dukungan kuat karena berani melawan pemerintah otoriter Orde Baru.
Walau berjasa besar membangun bangsa, Bung Karno dinilai gagal membangun ekonomi. Sebaliknya, Pak Harto dianggap berhasil memajukan ekonomi. Ironisnya, Pak Harto justru jatuh karena masalah ekonomi saat terjadi krisis moneter 1997. Pak Habibie berhasil menurunkan nilai dollar yang meroket dalam waktu relatif singkat. Gus Dur belum banyak melakukan kebijakan berarti untuk ekonomi.
Bagi sejumlah ekonom pendukung ekonomi konstitusi, kebijakan ekonomi Pak Harto telah membuat kita tidak siap menghadapi persaingan global, bahkan tidak sesuai UUD 1945. Menurut Kwik Kian Gie, ada buku karya ilmuwan AS yang mengungkap bahwa sejak 1967 Indonesia telah dikavling perusahaan multinasional sepengetahuan pemerintah.
Kita tidak lupa sikap Camdessus yang tangannya bersilang di dada saat menyaksikan Pak Harto menandatangani dokumen kesepakatan dengan IMF dan membuat kita terikat. Bu Mega atas saran Menkeu Boediono terpaksa mengikuti instruksi IMF untuk menjual BCA dengan harga Rp 6 triliun, padahal di dalamnya ada pengakuan bahwa RI berutang lebih dari Rp 50 triliun kepada BCA.
Kondisi ekonomi kita yang ada sekarang adalah konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi rezim Pak Harto. Pemihakan pemerintah kepada para pengusaha kuat berlangsung sejak era Pak Harto, yang berbuah pada kesenjangan lebar antara yang kaya dan miskin. Lebih dari 20 juta hektar lahan dikuasai sekitar 250 perusahaan, sedangkan lebih dari 24 juta petani hanya menguasai 12 juta hektar lahan. Ironisnya, kebijakan ini masih terus berjalan.
Kemandirian bangsa
Kita mengagumi kehebatan China dalam memproduksi berbagai barang yang sanggup bersaing di pasar dunia. Tetapi, kita mungkin tidak tahu bagaimana mereka berjuang mempersiapkan kemandirian itu. China serius mempersiapkan tenaga ahli mereka untuk bisa menguasai berbagai bidang keahlian.
Selain mengirim puluhan ribu ahli ke AS dan Eropa untuk belajar, mereka melatih tenaga ahli untuk menangani berbagai proyek canggih berukuran besar. Tenaga ahli ekspatriat hanya dilibatkan secara terbatas. Semua dibiayai dengan dana sendiri.
Tiga puluh tahun lalu kita punya menteri dengan tugas mendorong penggunaan produksi dalam negeri. Sayang sekali program hebat itu hanya bertahan lima tahun. Tidak jelas mengapa pemerintah tidak meneruskan kebijakan positif itu.
Para tenaga ahli di Indonesia tidak didukung pemerintah seperti tenaga ahli China. Proyek-proyek canggih dan berukuran besar dibiayai pinjaman dana luar negeri yang sebagian besar kembali lagi ke luar negeri untuk membiayai tenaga ahli dan membeli barang-barang. Kondisi semacam itu ditambah sikap penurut para birokrat terhadap pihak asing, tidak mampu menumbuhkan kemandirian ahli kita.
Reformasi birokrasi gagal?
Birokrasi pemerintah yang tidak efektif dan tidak efisien sudah mulai sejak era Orde Baru bahkan mungkin sebelumnya. Reformasi birokrasi menjadi salah satu amanat gerakan reformasi yang tertuang dalam jargon ”Basmi KKN”.
Dalam pidato di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 19 Agustus 2009, Presiden SBY menyatakan bahwa program reformasi birokrasi telah dan sedang dilaksanakan bertahap. Program selesai untuk keseluruhan kementerian dan lembaga pada 2011.
Namun, sampai kini kita masih menyaksikan banyak contoh program reformasi birokrasi itu belum berhasil. Salah satu indikasinya ialah tertangkapnya Sesmenpora dengan barang bukti cek senilai Rp 3,2 miliar dan uang tunai ratusan ribu dollar Singapura di kantornya.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.