Kerelawanan politik dianggap memberi harapan karena seolah mengembalikan demokrasi pada sub- tansinya, yakni pemerintahan “dari, oleh, dan untuk” rakyat. Kerelawanan juga menandakan ada kesadar- an, rasa berdaya, dan ketulusan berbuat sesuatu. Namun, bagaimana jika relawan politik diganjar jabatan seusai menuntaskan tugas kerelawanannya?
Seorang kenalan, warga negara Amerika Serikat yang mengamati fenomena kerelawanan politik di Indonesia, pernah bercerita, di negaranya, menjadi hal wajar jika relawan politik yang berjuang sejak awal diajak bergabung dalam pemerintahan oleh kandidat yang menang. Sebab, selama masa pemilihan, kandidat dan relawan menjadi saling kenal dan terbangun rasa percaya.
Los Angeles Times pada 24 Februari 2013 menurunkan artikel “Changing of the Young Guard at the Obama White House”, soal relawan Obama yang memutuskan mundur dari posisinya di Gedung Putih. Hal yang menarik dari artikel itu, sang relawan, Tommy Vietor (35), mengawali kariernya sebagai relawan sejak lulus perguruan tinggi, saat Obama masih mencalonkan diri sebagai senator. Ia sempat menjadi sopir mobil pers tim kampanye Obama, lalu kemudian menduduki posisi sebagai Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih 2011-2013.
Apakah hal itu juga terjadi di Indonesia? Boni Hargens, akademisi yang juga mantan relawan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sempat menerima berbagai kritik di media sosial saat ia ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara awal tahun 2016. Penunjukan itu, oleh sebagian orang, dianggap sebagai balas jasa atas peran Boni dalam mendukung Jokowi-Kalla pada Pemilihan Presiden 2014.
“Saya kira di media sosial ada (kritik), tetapi tidak banyak karena mereka melihat peran institusi media itu bukan perusa- haan profit. Kalau saya di Pertamina, baru orientasi orang berbeda,” kata Boni.
Boni mengaku menerima penunjukan itu karena posisi Antara strategis sebagai wadah komunikasi negara. Menurut dia, tidak ada persoalan jika ada relawan bergabung dalam pemerintahan atau duduk dalam posisi-posisi di perusahaan negara sepanjang tidak didasari ambisi untuk mendapat posisi tertentu.
Arif Nurul Imam, Wakil Sekretaris Jenderal Pergerakan Indonesia yang terlibat sebagai relawan Faisal Basri-Biem Benjamin pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, menuturkan, dalam gerakan kerelawanan selalu bisa ditemui orang-orang yang memang tulus membantu karena punya idealisme, tetapi juga ada yang berharap pamrih.
Dia menilai penempatan relawan-relawan politik dalam sebuah posisi tertentu jika calon yang didorong itu menang harus didasarkan pada kemampuan. “Tidak boleh relawan itu sejak awal punya target ingin jadi ini atau itu,” tutur Arif.
Indra J Piliang mengaku kecewa ketika partainya, Golkar, memutuskan mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Dia memutuskan mundur dari dua jabatan di DPP Partai Golkar dan berbaur dengan relawan Jokowi-Kalla.
Ketika perjuangan usai dan Jokowi-Kalla terpilih, kiprahnya tak berhenti. Saat itu, Indra mengaku mendapat sejumlah tawaran atas jasanya di pilpres, seperti menjadi komisaris di BUMN dan staf khusus di Kantor Wakil Presiden. Namun, semua itu ditolaknya.
Dia akhirnya memilih menerima tawaran Yuddy Chrisnandi, sahabatnya saat di Golkar, untuk menjadi bagian dari tim ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang dipimpin Yuddy.
“Yuddy sahabat saya. Saat Munas Golkar di Riau Tahun 2009, dan dia menjadi salah satu calon ketua umum, saya manajer kampanyenya. Dari situ hubungan kami kian dekat. Kedekatan membuat bekerja nyaman,” jelasnya.
jaga komunikasi
Presiden Joko Widodo meminta relawan tidak membubarkan diri. Presiden ingin mereka tetap menemani pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Menurut Presiden, peran relawan sangat penting dalam mengawal program pemerintah agar berjalan efektif.
Pada saat yang sama, Presiden juga membuktikan ingin tetap menjalin komunikasi dengan para relawan. Hal ini terbukti Sabtu (30/4) silam. Saat itu, seorang relawan menyapa Presiden yang sedang meresmikan Pasar Mama Mama, Jayapura, Papua. Lelaki itu menyapa, “Mas!” Lalu Presiden membalas dengan senyuman.
Informasi yang diterima Kompas, ketika itu para relawan ingin memastikan kehadiran Presiden pada acara yang digelar di Atrium Senen, Jakarta Pusat, esok harinya. Tepat 1 Mei 2016, Presiden benar-benar datang memenuhi undangan relawan.
Eko Sulistyo, Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, mengatakan, relawan memilih mentransformasikan diri menjadi ormas, perkumpulan, atau yayasan.
Relawan yang masih aktif melakukan berbagai kegiatan dalam konteks mengawal pemerintah Jokowi-Kalla. “Pada dasarnya relawan Jokowi-Kalla masih terus konsolidasi dan melakukan pekerjaan pengawalan program-program pemerintah di daerah masing-masing,” kata Eko.
Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai, dalam politik menjadi hal wajar jika orang-orang yang “berkeringat” sejak awal mendapatkan posisi-posisi dalam pemerintahan. Namun, menjadi tidak etis jika jabatan itu diminta relawan kepada kandidat yang terpilih.
* ANTHONY LEE/A PONCO ANGGORO/ANDY RIZA HIDAYAT
Source: Kompas.com