Home > Education > Political Marketing > Menjernihkan Partisipasi Politik Rakyat

Menjernihkan Partisipasi Politik Rakyat

Oleh I Made Pria Dharsana

MEMBANGUN partisipasi aktif masyarakat apalagi berkaitan pemilihan tidaklah mudah sejalan dengan wawasan masyarakat semakin maju. Kapasitas bacagub-bacagub tidak dapat ditentukan, dipilah oleh usul parpol besar maupun kecil sebagai representasi masyarakat semata, dengan cara yang berliku. Bukan sekadar mendaftar, melainkan selayaknya ditetapkan melalui mekanisme Rakerdasus yang sederhana dan kemudian disodorkan kepada rakyat sebagai calon resmi parpol.

Dari kaca mana awam, penetapan bacagub-bacagub sangatlah sederhana dan tidak berbelit-belit. Berbeda apabila dilakukan oleh parpol. Parpol yang mengusung bakal calon pasti mempunyai kriteria dengan persyaratan tertentu sesuai ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang telah diatur dan AD/ART parpol. Elite partai mesti memahami bahwa dengan dikeluarkannya ketentuan calon independen maju ke jenjang pilgub menjadi sebuah tantangan untuk menjaring, meneliti para figur yang mendaftar melalui parpol berjenjang. Dengan adanya calon independen masyarakat mempunyai pilihan beragam terhadap figur calon pimpinan daerah. Tidak hanya calon yang diusung oleh parpol. Apalagi calon tersebut tidak sesuai dengan aspirasi yang berkembang.

Memang banyak cara dan metode penjaringan dapat dilakukan parpol, ini sah-sah saja sesuai dengan mekanisme yang diaturnya sendiri, dan ini mesti kita hormati bersama. Tetapi, patut juga diterima kekhawatiran atas penetapan calon bacagub-bacagub yang dilaksanakan melalui konferdasus akan menimbulkan konflik internal partai sehingga berimbas bagi keamanan daerah.

Politik Santun

Dalam berpolitik terkandung tanggung jawab moral, menyadarkan akan pentingnya untuk menumbuhkan budaya politik yang santun. Budaya politik semacam ini dimaksudkan untuk membangun kondisi politik yang manusiawi bukan kondisi penindasan, kekerasan dan korup. Setidaknya ada tiga dasar filosofis bagi pembangunan budaya politik. Pertama, menciptakan dan memberdayakan ruang publik, wahana yang memungkinkan penerimaan pluralitas yang didasarkan pada ingatan sosial. Kedua, perlu pendasaran moral bagi institusi dan hukum, pola hubungan moral dan hukum harus memperhitungkan penerimaan pluralitas. Ketiga, perlu ditumbuhkan sikap kritis dan bentuk-bentuk perlawanan tidak sama manifestasi dominasi karena pelaksanaan kekuasaan tidak bisa lepas dari rezim wacana (Haryatmoko, 2003).

Kesiapan kita membangun demokrasi membutuhkan proses yang cukup lama sampai mencapai kedewasaan berdemokrasi. Demokrasi yang dibangun bukan dalam arti tanpa partisipasi. Anggota pengurus partai yang semestinya memahami aturan yang ditetapkan, diputuskan dan dilandasi oleh anggota sendiri melalui mekanisme AD/ART. Suka atau tidak itulah yang harus ditaati. Apabila mekanisme tersebut dianggap secara umum mencederai aspirasi yang berkembang, perubahan sangat diperlukan. Tentu saja melalui mekanisme kongres. Seluruh komponen partai haruslah taat dan dapat menerima setiap hasil keputusan rapat apa pun bentuknya, sepanjang ketentuan tersebut telah dinyatakan dalam AD/ART maupun keputusan partai. Warga partai memang seharusnya membangun budaya politik yang baik dan populis mengedepankan ruang partisipasi dengan menekankan demokrasi santun dan berbudaya. Kebebasan berdemokrasi menyampaikan aspirasipun mesti bertanggung jawab. Demokrasi yang dapat menarik simpati rakyat tidak saja pada figur yang dicalonkan baik dari kader maupun non-kader.

‘Political Marketing’

Dalam pilkada langsung political marketing menjadi sesuatu yang menarik. Political marketing yang mampu menyulap barang tak berharga (baca: kandidat tidak berkualitas serta berkompeten) menjadi barang sangat berharga perlu disiasati agar otonomi daerah tidak dirampok oleh kepentingan elite yang semata-mata mengejar kekuasaan demi kebutuhan-kebutuhan pribadi. Agar otonomi daerah tidak dikuasai oleh mereka yang hanya memburu kekuasaan dengan segala cara, maka kecerdasan obyektif dengan pertimbangan nalar rasional mestinya masyarakat memilih dengan menjadi pemilih yang berkategori voter bukan hanya sebagai suppoters: mencegah dan menjaga agar iklim tetap kondusif agar tidak tercipta iklim konflik vertikal maupun horisontal. Sehingga, tidak memberi kesempatan kaum oportunis mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Dalam satu hal, para elite-elite parpol mesti menyadari agar tensi politik tetap terjaga karena pilkada langsung sangat perpotensi melahirkan konflik. Intensitas konflik dalam pilkada langsung cenderung lebih tinggi akibat keterlibatan emosional calon pemilih sangat besar. Membangun rumah demokrasi yang menghasilkan pemerintahan yang bersih, memiliki akuntabilitas dan transparansi. Pilkada langsung akan menunjukkan partisipasi rakyat yang tinggi, dengan turut serta menentukan arah kebijaksanaan pemerintahan yang bertanggung jawab serta dapat diukur tinggi rendahnya kadar demokrasi yang sudah berkembang. Mekanisme kontrol mesti dikembangkan, bukan memberikan cek kosong kepada calon terpilih. Karena mereka yang terpilih mencerminkan pemilihnya, yang prodemokrasi, anti korupsi.

Pilkada langsung sangat rawan menimbulkan percik-percik konflik. Oleh karenanya ke depan kader-kader partai dan seluruh komponen masyarakat mesti mendorong arah demokrasi partisipasi aktif warga masyarakat agar partai benar-benar dapat merevitalisasi diri ke arah demokrasi dengan budaya politik yang menjamin prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan dan solidaritas dalam membangun rumah besar demokrasi.

Demokrasi yang terbangun harusnya tidak meninggalkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat karena demokrasi yang diwujudkan hanya demi kepentingan politik semata dengan mengabaikan bagian penting tersebut akan berujung pada tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Jika demikian, demokrasi yang dikembangkan telah kehilangan dimensi moral.

Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua.

Penulis, notaris, pengajar Magister Hukum Kenotariatan Universitas Udayana

——————–

* Dalam pilkada langsung political marketing menjadi menarik yang mampu menyulap barang tak berharga (baca:kandidat tak berkualitas) menjadi barang sangat berharga.

* Agar otonomi daerah tidak dikuasai oleh mereka yang hanya memburu kekuasaan dengan segala cara, maka perlu kecerdasan obyektif dengan pertimbangan nalar rasional masyarakat memilih.

* Kesiapan kita membangun demokrasi membutuhkan proses yang cukup lama sampai mencapai kedewasaan berdemokrasi.

Tulisan ini dikutip dari Bali Post Online, Sabtu, 17 May 2008

You may also like
Partisipasi Rakyat dalam Pemilu Terus Menurun

Leave a Reply