Home > Education > Political Marketing > Meredupnya Partai Politik Berbasis Agama

Meredupnya Partai Politik Berbasis Agama

Makna agama yang tereduksi oleh radikalisme dan terorisme di satu sisi, serta kegagalan penguatan moralitas politik dengan nilai dan semangat agama di sisi yang lain, mengantarkan partai politik berbasis agama dalam kegamangan. Tak pelak lagi, pamor parpol agama di mata publik pun kini meredup.

Parpol agama yang lahir dengan landasan nilai-nilai agama tentu diharapkan pemilihnya bisa menjadi garda depan menjaga etika dan moralitas politik bangsa. Ironisnya, bangunan moralitas tersebut masih jauh dari harapan. Banyak kasus kini melanda elite politik, termasuk politikus dari parpol berbasis agama, sehingga meruntuhkan moralitas politik yang diusung. Sebut saja berbagai kasus korupsi, sikap tak peduli suara publik, tak disiplin, ngotot soal gedung baru, hingga menonton video porno saat sidang.

Berbagai perilaku politisi parpol agama bertentangan dengan harapan pemilih yang menuntut performa lebih dari parpol yang menyatakan diri berasas agama itu. Tidak heran jika kemudian publik dalam jajak pendapat ini mempertanyakan komitmen keagamaan dari parpol agama dalam hal memperjuangkan nilai-nilai agama. Di mata publik, termasuk publik pemilihnya sendiri, sebagian besar responden (67,1 persen) menyatakan tidak puas dengan kinerja parpol agama.

Ketidakpuasan publik tergambar pada penilaian kinerja, karakter, dan performa dari parpol agama yang masih jauh dari harapan. Hal ini paling tidak menjelaskan mengapa perolehan suara partai agama cenderung turun. Pada Pemilu 2009 total suara parpol Islam mencapai 29,2 persen, menurun daripada Pemilu 2004 (38,3 persen) dan 1999 (36,7 persen).

Politik aliran di Indonesia mencapai puncaknya saat Pemilu 1955. Kala itu parpol Islam meraup hampir 45 persen dari total suara nasional. Politik aliran yang dikemukakan Herbert Feith dan Lance Castle (1970) itu kini cenderung memudar dengan semakin menipisnya perbedaan antarparpol, baik yang menyatakan diri parpol agama maupun parpol nonagama.

Sebagian besar responden (67,7 persen) dalam kajian ini, misalnya, menilai tidak ada perbedaan parpol agama dengan nonagama dalam hal memperjuangkan nilai-nilai keagamaan. Kelompok responden yang memilih parpol agama pada Pemilu 2009 hampir 40 persen di antaranya tidak akan memilih kembali parpol agama pada pemilu mendatang.

Perpecahan dan Konflik

Selain tidak berseminya ”nilai keagamaan” dari parpol agama dalam mewarnai perilaku dan budaya politik di negeri ini, kemampuan melakukan konsolidasi di internal mereka pun layak dipertanyakan. Berbagai parpol agama tidak bisa lepas dari konflik internal yang berujung pada perpecahan.

Misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tercatat paling sering mengalami konflik. Perpecahan mulai terjadi tahun 2002 dengan lahirnya dua PKB dari dua muktamar luar biasa antara PKB kubu Alwi Shihab yang didukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan kubu Matori Abdul Djalil. PKB kembali dilanda perpecahan tahun 2005 yang juga muncul di dua muktamar, yaitu di Semarang yang menghasilkan PKB Muhaimin Iskandar yang didukung Gus Dur dan PKB versi Choirul Anam (Muktamar Surabaya) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

PKB kembali pecah pada tahun 2008. Kubu yang didukung Gus Dur kalah karena PKB yang diakui pemerintah tetap PKB Muhaimin. Belakangan PKB yang dimotori Yenny Wahid membentuk Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia.

Selain pecah, partai berbasis Islam juga rentan konflik, di antaranya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menjelang Pemilu 1999, salah satu tokohnya, Jailani Naro, membentuk Partai Persatuan, tetapi gagal ikut pemilu. Tahun 2002 tokoh PPP, Zainuddin MZ, membentuk PPP Reformasi yang kemudian berubah menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai ini kemudian juga mengalami pergolakan internal dan berakhir dengan lahirnya dua kubu, PBR Bursah Zarnubi dengan PBR Zaenal Ma’arif.

Persoalan yang terjadi di PKB dan PPP juga dialami Partai Amanat Nasional dengan lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) meski kelahirannya tidak melalui kongres PAN seperti halnya PKB melalui muktamar. Terbentuknya PMB yang juga berbasis massa Muhammadiyah ini diduga karena ketidakpuasan terhadap PAN.

Perpecahan tak hanya terjadi di partai Islam. Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berbasis massa Kristen pun mengalami. Konflik di PDS terjadi pada munaslub April 2007 yang memunculkan dua kepengurusan PDS, kubu Ruyandi Hutasoit dengan kubu Rahmat Manullang.

Partai terbuka

Di sisi lain, penilaian publik yang melihat kehadiran parpol agama kurang memenuhi harapan sedikit banyak menguatkan keinginan publik terhadap karakter parpol yang bersifat terbuka. Pilihan ini tak hanya dinyatakan responden pemilih parpol nonagama pada pemilu lalu, tetapi mereka yang memilih parpol agama juga menyatakan hal sama. Bahkan angkanya mencapai 71,4 persen, melebihi kelompok responden pemilih parpol nonagama.

Dari gambaran jawaban responden tersebut, tampaknya simbol agama kini tidak cukup lagi menjadi jaminan bagi sebuah parpol meraup dukungan suara signifikan. Publik dari kalangan mana pun menginginkan tampilan dan visi parpol yang tidak saja ideal dalam gagasan, tetapi juga dalam kinerja dan sikap yang konkret di parlemen.

Itu diperlukan untuk menjaga konstituen parpol agama yang semakin kritis dan menuntut. Jika tidak, bisa-bisa parpol aliran akan tinggal menjadi sejarah dengan makin menciutnya perolehan suara mereka sebegaimana tergambar dari pilihan responden. (LITBANG KOMPAS)

Source : Kompas.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik

Leave a Reply