Selain ”dikalahkan” di Maluku Utara, secara berturut-turut kandidat yang diusung Partai Golkar kalah dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, serta terakhir di NTB, Bali, dan Maluku.
Beberapa hasil survei sejak tahun 2007 juga menunjukkan kekalahan Golkar atas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) jika pemilu legislatif dilakukan. Akankah Golkar terpuruk pada Pemilu 2009?
Secara internal, Partai Golkar sebenarnya sudah membenahi mekanisme pencalonan dalam pilkada, antara lain dengan melakukan survei pendahuluan dan memberi sebagian otoritas penentuan pasangan calon pada pengurus tingkat daerah (DPD Golkar). Namun, kegagalan demi kegagalan dalam pilkada dialami sehingga target kemenangan 60 persen yang dicanangkan tahun 2005 kian jauh realitasnya. Meski persentase kemenangan Golkar dalam pilkada kabupaten dan kota masih relatif tinggi, sekitar 42 persen dibandingkan tingkat provinsi (22 persen), tetapi karena gaung pilkada provinsi lebih menasional, prestasi itu tenggelam oleh kekalahan beruntun di tingkat provinsi.
Organisasi dan kepemimpinan
Tentu banyak faktor di balik realitas kekalahan dan kemenangan pasangan calon dalam pilkada. Dalam konteks Golkar, kekalahan beruntun dalam pilkada provinsi tampaknya tidak hanya terkait figur, tetapi juga faktor organisasi dan kepemimpinan, taktik dan strategi partai beringin dalam pengajuan calon.
Dalam konteks organisasi, harus diakui, saat ini kohesivitas dan loyalitas pengurus Partai Golkar di daerah (DPD) tampaknya tidak setinggi beberapa partai lain, seperti PKS dan PDI-P. Kecenderungan pengurus provinsi dan kabupaten/kota membiarkan para kandidat pilkada ”berjuang sendiri” tanpa dukungan penuh organisasi mencerminkan hal ini. Apalagi jika distribusi ”gizi” alias dana segar tidak begitu lancar dari pasangan calon, serta kandidatnya bukan kader Golkar, maka dukungan organisasi sebagai mesin pengumpul suara pun cenderung tidak efektif.
Di sisi lain, kepemimpinan pusat Golkar yang ada di tangan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus diakui tak begitu efektif dibandingkan saat Akbar Tandjung menjadi ketua umum. Dalam realitasnya, Jusuf Kalla tidak serajin Akbar Tandjung mengunjungi sekaligus membangun semangat pengurus daerah. Posisi ganda Kalla menjadi sumber problematik sekaligus merupakan ongkos politik yang harus dibayar Golkar yang telanjur memilih Kalla sebagai ketua umum. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono, yang seharusnya menyambangi para pengurus daerah menggantikan Kalla, lebih menikmati ”panggung politik” di DPR Senayan ketimbang berpeluh keringat memasuki kantor-kantor partainya di berbagai pelosok Tanah Air.
Faktor ”incumbent” dan koalisi
Faktor lain yang acapkali diabaikan Golkar dalam pencalonan pilkada adalah kecenderungan untuk mendukung pejabat lama (incumbent). Padahal, tanpa prestasi yang benar-benar menonjol sulit bagi incumbent bersaing dalam pilkada. Kasus Pilkada Jawa Barat dan NTB memperlihatkan pilihan Golkar untuk mendukung calon incumbent adalah keputusan berisiko. Apalagi, jika pejabat lama yang diusung diindikasikan terlibat kasus korupsi.
Kegagalan strategi tampaknya menjadi variabel penting yang menjelaskan mengapa para incumbent, yang tidak memiliki prestasi menonjol, tetap diusung Golkar. Memang ada beberapa incumbent memenangi pilkada kendati tidak memiliki prestasi menonjol, tetapi mungkin penyebabnya karena rekam jejak para kandidat lain juga kebetulan sama buruknya.
Faktor strategi yang tak kalah penting adalah koalisi. Di wilayah dengan tingkat pluralitas politik relatif tinggi, seperti Banten dan DKI Jakarta, strategi ”koalisi pelangi” yang dibangun Golkar memang berhasil. Namun, di provinsi yang menjadi basis utama PDI-P, seperti Jawa Tengah dan Bali, Partai Golkar seharusnya tidak memaksakan membentuk koalisi sendiri.
Koalisi nasionalis yang pernah digagas elite Golkar dan PDI-P melalui ”silaturrahmi” Medan dan Pelembang malah tidak menjadi kenyataan. Dalam Pilkada Jabar dan Sumut, kedua partai itu membentuk koalisi sendiri-sendiri. Ironisnya, Golkar memaksakan membentuk koalisi sendiri dalam Pilkada Jawa Timur yang menjadi basis utama PKB sehingga berpotensi kalah seperti pilkada provinsi lain.
Karena itu, kekalahan beruntun Golkar dalam pilkada provinsi bukan hanya kekalahan figur para kandidat seperti berkali-kali dinyatakan elite partai ini, termasuk Wapres Jusuf Kalla. Kekalahan figur pada dasarnya adalah juga kekalahan partai, dan dalam konteks Golkar merupakan akumulasi kegagalan organisasi, kepemimpinan, serta taktik dan strategi yang dilakukan partai beringin.
Golkar dan Pemilu 2009
Bagaimana dengan Pemilu 2009? Seperti ditunjukkan beberapa hasil survei, termasuk survei terakhir Indo Barometer, bisa jadi Golkar akan diungguli oleh PDI-P. Apalagi jika pola kepemimpinan, organisasi, serta taktik dan strategi Golkar tidak berubah. Di sisi lain, para politisi partai beringin di lembaga legislatif cenderung hanya menjadi ”politisi salon”, dalam pengertian tidak bekerja sebagaimana seharusnya aktivis partai bekerja.
Elite Golkar lupa, era Orde Baru, saat pengurus partai bisa tidur lelap karena tak perlu bekerja keras, sudah berlalu. Saat ini tidak ada lagi jajaran birokrasi pemerintah dari menteri hingga lurah dan kepala desa, atau dari kodam hingga koramil, yang bisa menjadi mesin politik Golkar seperti masa lalu. Juga tidak ada lagi limpahan dana segar yang setiap saat mengalir dari yayasan-yayasan Soeharto sehingga pengurus tak perlu menyalahgunakan jabatan publik sebagai ATM partai.
Kini saatnya para pengurus partai bekerja keras menyusun kiat dan strategi dalam rangka mengais dukungan konstituen yang kian cerdas dan persaingan antarpartai yang kian ketat. Jika elite Golkar tidak kunjung menyadari hal ini, partai beringin benar-benar ada di ujung tanduk karena disalip partai banteng gemuk di persimpangan Pemilu 2009.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Source : Kompas.com