Home > Education > Political Marketing > Obama dan Orde Baru

Peluang Barack Obama terpilih jadi presiden yang ke-44 makin besar setelah cawapres Senator Joe Biden memenangi debat, Kamis (2/10). Lawannya, Gubernur Sarah Palin ibarat ”lolos dari lubang jarum”.

John McCain, kubu Republik, dan kalangan konservatif paling tidak bisa menarik napas lega. Palin tampil memadai kendati berdampak nol terhadap kenaikan popularitasnya.

Sebelum debat, sejumlah tokoh Republik mengimbau Palin mundur dari pencalonan. Blunder fatal terakhir Palin terungkap saat diwawancarai wartawan teve CBS, Katie Couric, pekan ini.

Palin, Gubernur Alaska, tak ingat nama-nama koran yang dia lahap tiap hari. Jangan-jangan sarjana jurnalistik yang pernah jadi penyiar teve ini enggak baca koran.

Ia gagal menjawab pertanyaan tentang keputusan-keputusan Mahkamah Agung (MA) yang ditolaknya—kecuali hak aborsi. Padahal, ada sederet keputusan: school prayer, pernikahan antarsesama jenis, riset sel induk, dan seterusnya.

Kelewatan pejabat tinggi enggak ngerti apa yang dikerjakan MA. Tak mengherankan media massa tiap hari tak henti mengolok-olok Palin.

Sedari awal McCain berjudi memilih Palin yang belum genap dua tahun memimpin Alaska yang berpenduduk hanya sekitar 700.000 jiwa. Jabatan wapres terlalu penting kalau McCain, jika terpilih, tutup usia.

McCain penderita kanker kulit. Seperti George W Bush sebelum jadi presiden tahun 2000, Palin belum pernah ke luar negeri—kecuali ke Kanada dan Meksiko.

Ia baru punya paspor tahun lalu, baru saja dipakai mengunjungi pasukan AS di perbatasan Irak. Saat debat melawan Biden tampak kesamaan lain Palin dengan Bush, yakni keliru mengucapkan nu-clear dengan nu-cu-lar.

Bisa dibayangkan tanggung jawab Palin sebagai presiden/panglima tertinggi atas tas khusus berisi tombol-tombol peluncur rudal nuklir. AS bukan Trinidad-Tobago, tetapi satu-satunya negeri adidaya di dunia.

Jumlah hulu ledak nuklirnya puluhan ribu tersebar di angkasa, di dasar berbagai samudra, dan di negara-negara NATO. Pasukannya digelar bukan cuma di Irak dan Afganistan, tetapi juga di Eropa, Asia, bahkan di Afrika.

Ketika Couric menanyakan sikapnya terhadap rencana bailout 700 miliar dollar AS untuk Wall Street, jawaban Palin mengundang tanda tanya. Ia tiba-tiba mengaitkan dana talangan itu dengan jaminan kesehatan dan lowongan kerja, membuat Couric mengernyitkan dahi.

Couric masih sopan, beda dengan komentator-komentator lain yang ”sadis” mengomentari amatirisme Palin. Singkatnya, ”fenomena Palin” selama dua pekan terakhir ini lebih menghebohkan daripada skandal- skandal Hollywood.

Sekali lagi, penampilan Palin dalam debat versus Biden cukup melegakan. Kualitasnya pas-pasan dan, yang paling penting, ia telah menjadi dirinya sendiri tanpa dibuat-buat.

Ia tak lagi membuat wajah bangsa AS merah padam sehingga muncul simpati dari berbagai kalangan. Kecuali dari kalangan Republik, makin sedikit yang bertekad memilih duet McCain-Palin.

Debat itu jadi exit strategy yang bermartabat bagi McCain-Palin. Masa depan politik Palin akan sangat cerah.

Berbagai survei membuktikan selisih persentase popularitas Obama atas McCain menanjak sampai 2 digit. Sebagian survei bahkan mengungkapkan keunggulan Obama telah melebihi 50 persen—rekor baru.

Angka itu digaet Obama 4,5 pekan sebelum 4 November. Prestasi ini tak bisa dicatat dua capres dari Demokrat terakhir yang ikut pilpres, Al Gore tahun 2000 dan John Kerry (2004).

Tentu saja situasi bisa berbalik 180 derajat jika hal yang paling menakutkan terjadi, yakni apa yang disebut dengan ”kejutan Oktober”. Keunggulan Kerry atas George W Bush pupus hanya beberapa hari sebelum 4 November karena video Osama bin Laden tiba-tiba muncul.

Semoga kali ini tak ada kejutan karena mayoritas bangsa dunia mendambakan Obama yang terpilih. Survei majalah Inggris, The Economist, belum lama ini menunjukkan Obama menang mutlak di berbagai negara.

Di Indonesia, angka itu bulat 100 persen, memperlihatkan kedekatan emosional Obama dengan bangsa ini. Bagaimana hubungan bilateral Indonesia-AS jika Obama jadi presiden?

Pada tahun pertama pemerintahannya Obama disibukkan berbagai masalah domestik, terutama ekonomi. Kondisi pasar kredit tetap buruk sekalipun UU dana talangan untuk Wall Street diloloskan Kongres, Sabtu ini.

Masalah domestik penting lainnya penarikan pasukan dari Irak dan ikhtiar menciduk Osama. Banyak PR Obama, termasuk menghadapi Iran, Rusia, Timur Tengah, dan ”Chindia” (China dan India).

Alhasil, konsentrasi Obama ke sini baru dimulai setahun setelah dilantik. Dan, biasanya presiden dari Partai Demokrat akan menyoroti kondisi HAM di sini.

Di buku The Audacity of Hope Obama menyesalkan ulah militerisme dan korupsi Orde Baru sebagai penelantar kesejahteraan rakyat. Tema itu ia ulangi dalam wawancara dengan Fareed Zakaria di CNN belum lama ini.

Korupsi dan militerisme Orde Baru menyuburkan terorisme. Wajar jika Obama, yang berkepentingan menjaga konsolidasi demokrasi Pemilu/Pilpres 2009, ingin ikut serta menamatkan riwayat Orde Baru.

Sisa-sisa Orde Baru masih banyak, baik orang-orangnya, institusi-institusinya, maupun sempalan-sempalannya. Itulah manfaat Obama bagi demokrasi kita.
(BUDIARTO SHAMBAZY)

Source : kompas.com, 4 Oktober 2008

You may also like
Obama dan Kaum Progresif

Leave a Reply