Kendurnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan negara tidak lepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri ini. Tiadanya sosok yang mampu menjadi simpul pengikat kekuatan masyarakat menghadapkan bangsa ini pada krisis orientasi.
Penilaian ini terekam dari hasil jajak pendapat yang mencatat hampir separuh responden menyebut tak ada tokoh panutan bagi bangsa ini. Sosok yang jujur, tegas, berani, dan bersih menjadi karakter yang diidamkan sebagian besar responden. Karakter seperti itu sulit ditemukan saat ini.
Sikap ini juga berhubungan dengan ketidakpuasan responden terhadap kinerja lembaga negara. Tiga dari empat responden cenderung tidak puas dengan kepemimpinan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketidakpuasan paling tinggi (84,6 persen) tertuju pada DPR sebagai perwakilan rakyat.
Ketidakpuasan pada kepemimpinan di lembaga legislatif tidak lepas dari sorotan negatif pada pimpinan DPR. Apalagi, dalam sejumlah kasus, pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie turut memengaruhi persepsi publik pada institusi itu. Pernyataan Marzuki, di antaranya soal tsunami di Mentawai, tenaga kerja Indonesia, rencana pembangunan gedung baru DPR, dan yang paling akhir adalah soal gagasan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi, justru memicu kontroversi.
Tidak puasnya publik kepada kepemimpinan di lembaga legislatif juga turut membentuk citra negatif DPR. Sejumlah kasus menguatkan sinyalemen itu, sebut saja rencana DPR membangun gedung di tengah penolakan publik dan dugaan praktik percaloan anggaran. Kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin adalah contoh terjadinya mafia anggaran di DPR.
Hal sama terjadi pada lembaga pemerintah dan institusi hukum. Sebanyak 80 persen lebih responden menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan di dua lembaga itu. Pada jajak pendapat 21 bulan pemerintahannya, tingkat kepuasan publik pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono merosot menjadi 31 persen, jauh dari angka 59,2 persen pada tiga bulan pertama sejak dilantik. Hal sama terjadi pada KPK. Citra lembaga penegak hukum yang paling dipercaya dibandingkan dengan lembaga hukum lain ini ikut-ikutan terpuruk. Jajak pendapat Kompas akhir Juli lalu mencatat citra baik KPK berada di angka 36,2 persen, turun dari survei opini sebulan sebelumnya yang mencapai 57 persen.
Turunnya tingkat kepuasan responden pada kepemimpinan di lembaga negara ini tidak lepas dari adanya disparitas antara harapan dan kenyataan yang ada. Saat biaya kebutuhan seperti pendidikan dan bahan pokok semakin melambung, masyarakat disuguhi tontonan kerapnya elite, termasuk penegak hukum, terseret kasus korupsi. Meminjam istilah Soegeng Sarjadi, dengan potret seperti ini, Indonesia sebenarnya sedang memasuki sebuah krisis baru, yaitu krisis kepemimpinan yang menyeret ketidakpastian hidup rakyat (Kompas, 14/7).
Budaya korup
Tiadanya tokoh panutan yang mampu memenuhi harapan publik juga tidak lepas dari kondisi lingkungan sosial politik yang kurang kondusif dalam melahirkan sosok pemberani dan tegas seperti yang diharapkan publik. Budaya korup yang kini banyak ”menghiasi” medan politik negeri ini sedikit banyak melahirkan elite politik yang cenderung loyal pada kepentingan pribadi dan kelompok politik semata dibandingkan pada kepentingan rakyat. Separuh lebih responden (57,2 persen) meyakini politisi tidak mampu menghindar dari ”konflik” kepentingan tersebut.
Jajak pendapat kali ini juga merekam opini dari separuh lebih responden (67,6 persen) yang menyebut betapa masih kuatnya praktik perilaku feodal seperti loyalitas struktural tak sehat yang dikenal di era Orde Baru dengan istilah ABS alias asal bapak senang. Separuh responden meyakini pemimpin saat ini tidak mampu lepas dari budaya feodal itu. Hal sama terjadi pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menurut sebagian besar responden (79 persen) masih kuat terjadi, dan sekali lagi pemimpin juga diyakini tak mampu lepas dari budaya korup ini.
Terkuaknya kasus dugaan penggunaan uang negara untuk kepentingan partai politik, seperti dilansir Nazaruddin, turut memengaruhi persepsi publik tentang sosok kepemimpinan yang bersih di partai. Tidak heran kemudian karakter bersih menjadi syarat paling banyak disebut oleh responden ketika menyebut syarat kepemimpinan dari parpol. Sebagian besar responden kurang percaya, partai akan mampu melahirkan calon pemimpin yang bersih.
Selain partai, sistem birokrasi yang masih cenderung korup juga diyakini tidak mampu melahirkan pemimpin yang tegas, berani, dan bersih sesuai keinginan publik dalam jajak pendapat ini. Situasi seperti ini cenderung menggiring harapan publik pada kembalinya sosok TNI dalam politik. Gambaran ini tecermin dari pendapat 63 persen responden yang berpandangan TNI akan mampu melahirkan sosok pemimpin yang tegas, berani, dan bersih. Meski demikian, publik juga menaruh harapan kepada kalangan perguruan tinggi, lembaga keagamaan, dan kelompok profesional.
Sikap publik yang menilai saat ini tidak ada sosok panutan menjadi potret lunturnya kepercayaan kepada kepemimpinan. Jika kepercayaan ini mengkristal, kita akan berada pada apa yang disebut Francis Fukuyama (1995) sebagai masyarakat tanpa kepercayaan (zero trust society).YOHAN WAHYU (LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.