Home > Education > Political Marketing > Pansus III DPRA Gerah dengan Pernyataan KIP

Pansus III DPRA Gerah dengan Pernyataan KIP

Banda Aceh | Harian Aceh – Sejumlah statemen Komisioner KIP Aceh di berbagai media belakangan ini mengusik kalangan legislatif Aceh. Pansus III DPRA yang ditugaskan membahas Rancangan Qanun Pemilukada 2011 pun meminta KIP Aceh mengklarifikasikan statemennya terkait pelaksanaan Pemilukada.

Dalam pertemuan di ruang serbaguna DPRA, Selasa (10/5), Ketua Pansus III Adnan Beuransyah mengatakan banyak statemen KIP Aceh di media yang cenderung membuat masyarakat beropini negatif pada Pansus III dan DPRA umumnya. Seperti statemen KIP Aceh yang tetap melanjutkan Pemilukada Aceh dengan atau tanpa Qanun Pemilukada dan menyatakan KIP adalah institusi Hierarki KPU sebagai pelaksana Pemilulkada di Aceh, serta inisiatif KIP Aceh menetapkan jadwal hari “H” Pemilukada pada 10-10-2011.

“Kami heran, mengapa pernyataan ini harus ada? Padahal Qanun Pemilukada sedang dalam proses. Ini jelas menjadikan satu ketegangan,” kata Adnan Beuransyah di hadapan enam komisioner KIP yang hadir, yakni Ketua KIP Aceh Abdul Salam Porong, Wakil Ketua KIP Aceh Ilham Saputra, Robby Saputra, Zainal Abiddin, dan Akmal Abzal.

Menurut Adnan, semua pihak di Aceh tak ingin pemilukada menimbulkan kerusuhan. “Karena itu semua pihak harus bisa menahan kehendak. Silakan ini dijelaskan,” pinta Adnan.

Dalam klarifikasinya, Abdul Salam Porong justru menyudutkan media. Menurut Abdul Salam Porong, pernyataan-pernyataan KIP Aceh selama ini banyak yang agak menyimpang dari apa yang disampaikan ketika diekspos media. “Kadang-kadang memang kita ngomong A ditulis a kecil, bahkan B. Ini kan memang menyimpang,” katanya.

Soal penetapan jadwal, kata Abdul Salam Porong, hal itu hanya rencana awal hasil rapat KIP Aceh dengan seluruh KIP kabupaten/kota beberapa waktu lalu. Penetapan itu, kata dia, juga merujuk pada peraturan KPU. “Tapi masih ada kemungkinan perubahan-perubahan. Jadi intinya jadwal tersebut belum konkret,” katanya.

Ilham Saputra juga tampil tak setegas biasanya. “Tak ada satu pun SK KIP yang mengatur tentang jadwal penetapan pemilukada tersebut. Ini masih bersifat konsep KIP berdasar peraturan KPU,” katanya.

Penjelasan yang cukup objektif muncul dari Zainal Abiddin. Dia menjelaskan panjang lebar tentang ihwal KIP sebagai lembaga hierarki KPU. Zainal mengatakan sebelum judicial revew UU 32 Tahun 2004, pemilu yang dikenal hanya dua, yakni pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu legislatif. Sementara terkait pilkada seperti yang diatur dalam pasal 18 ayat 4 UUD 45 yang bunyinya: gubernur, bupati dan  walikota  masing masing sebagai  kepala  pemerintah  daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis, ditafsirkan sebagai bagian dari otonomi daerah. “Ini diatur dengan undang-undang sendiri. Artinya, pilkada bukan pemilu, melainkan rezim otonomi daerah atau lebih dikenal dengan rezim pilkada,” jelasnya.

Setelah judicial revew UU 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pilkada, lanjut Zainal, MK lewat keputusan nomor 271 dan 272 menyatakan bahwa pilkada ini sebenarnya masuk rezim pemilu. Menindak lanjuti ini, MK meminta DPR untuk membuat UU baru sehingga lahirlah UU 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu. “Dengan adanya undang-undang ini, maka pemilu sudah termasuk pilkada. Artinya pilkada sudah masuk dalam rezim pemilu,” katanya.

Sementara, Pasal 22E UUD 45 menyebutkan bahwa pemilu itu diselenggarakan oleh KPU. Tak boleh ada lembaga lain yang menjalankan pemilu selain KPU. Terkait dengan Aceh, memang UUPA melahirkan lembaga yakni KIP. Tapi supaya KIP sah melaksanakan pemilukada, maka dalam UUPA, KIP dinyatakan bagian dari KPU. “Kalau dia sudah menjadi bagian, maka sudah sah menjalankan pemilu. Di Qanun Nomor 7 tahun 2006 juga KIP disebutkan hierarki dengan KPU,” katanya. 

Makna hierarki ini, lanjut dia, jelas memberi wewenang bagi KPU Pusat untuk melakukan supervisi, mengawasi terhadap kinerja KIP dalam konteks pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yakni melaksanakan pemilukada. “KPU melihat ada keraguan pada KIP dalam menjalankan pemilukada di Aceh sejurus dengan kontroversi yang sedang terjadi. Padahal KIP berkewajiban menyiapkan kepala daerah sebelum masa jabatannya habis,” katnya.

Dia mencontohkan, masa jabatan gubernur itu habisnya pada 8 Februari 2012, maka KIP harus sudah menentukan gubernur definitif sebelum tanggal itu. “Ini wajib hukumnya,” kata dia. Itulah sebabnya, dengan wewenang supervisi tadi, KPU mengambil peran mendorong KIP untuk segera menetapkan tahapan agar pemilukada tepat waktu.

Sementara itu, anggota Pansus III DPRA Abdullah Saleh menilai sejauh ini ada upaya penggiringan KIP menjadi lembaga vertikalnya KPU. Kondisi ini jelas telah menghilangkan kekhususan Aceh, karena KIP lahir dari UUPA dan untuk pilkada, bukan pilpres. “Belakangan KIP memang diperluas wewenangnya, tapi bukan berarti KIP bisa mengambil jalan sendiri dan mengatakan sebagai lembaga hierarki,” kata Abdullah Saleh.

Anggota Pansus III lainnya, Ermiadi juga menegaskan agar para komisioner KIP tak serta merta menjadikan KIP sebagai institusi hierarki KPU. “Jika memang KIP ingin hierarki, maka dua komisionernya harus dieliminir, karena KPU secara undang-undang hanya memiliki lima komisioner. Sementara karena kekhususannya, KIP Aceh memiliki tujuh komisioner,” jelasnya. Pertemuan yang dimuali sejak pukul 14.00 WIB itu berlangsung hingga sore dengan kesimpulan, akan ada agenda pertemuan lanjutan.(dad)

Source: Harian Aceh

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Tak Ada Ideologi Politik di Jabar
PKS di Pilgub Jabar tanpa Konsultan Politik Eep Saefullah Fatah
Polmark Ungkap Faktor Signifikan Kemenangan Anies-Sandi

Leave a Reply