BANDA ACEH – Tahapan pemilu legislatif di Aceh yang kini memasuki masa kampanye berjalan tanpa pengawasan karena belum dilantiknya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Tanpa Panwaslu, tahapan kampanye di Aceh berpotensi terganggu karena akan ada tahapan- tahapan yang terlepas dari pengawasan. Pernyataan itu disampaikan pakar hukum Universitas Syiah Kuala, Dr Mawardi Ismail SH MHum menjawab Serambi, Sabtu (12/7) terkait kebijakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat yang hingga kini belum melantik Panwaslu Aceh, sedangkan tahapannya telah memasuki masa kampanye.
“Untuk sementara ini KIP bisa berperan menggantikan tugas pengawasan. Tapi sebenarnya pekerjaan KIP juga siapa yang mengawasi, kalau tidak ada Panwaslu. Karenanya, tidak akan sempurna tahapan pemilu kalau tidak ada pengawasan,” ujar Mawardi.
Dijelaskannya, dalam pelaksanaan pemilu yang digelar secara nasional, Panwaslu punya peran penting untuk menciptakan pemilu yang berkualitas dan demokratis. Tapi, kondisi ini tidak terjadi di Aceh di mana Panawaslu yang sudah dibentuk dan di-SK-kan DPR Aceh tidak dapat bekerja karena belum dilantik, meskipun tahapan kampanye sudah berjalan sejak 12 Juli.
Menurut Mawardi, mencermati kondisi ini, KIP Aceh dinilai dapat mengambil peran Panwaslu untuk sementara waktu guna memantau jalannya tahapan kampanye sambil menunggu Panwaslu dilantik dan bekerja secara penuh.
Bila ini tidak dilakukan, kata dia, tahapan kampanye di Aceh dinilai berpotensi terganggu dan hasilnya tidak akan maksimal karena tidak ada lembaga yang mengawasi. “Sekarang tahapan pemilu sudah dimulai. Kalau Panwaslu tidak ada, maka nanti akan ada tahapan-tahapan yang terlepas dari pengawasan. Walaupun dari keabsahannya sah tetapi dari segi efektivitas dan segala macam, itu kurang baik,” tandas dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu.
Menurutnya, sesuai ketentuan perundang-undangan, tugas utama Panwaslu adalah melakukan pengawasan terhadap semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Kalau ada tahapan pemilu yang kurang terawasi, maka dapat dipastikan hasilnya akan kurang, di samping akan rawan terjadi berbagai pelanggaran. Sebaliknya, kata Mawardi, bila Panwaslu berperan aktif dalam mengawasi jalannya tahapan pemilu, maka tingkat gangguan dan pelanggaran yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin.
Kasus verifikasi faktual
Mawardi juga memberi gambaran kasus ketika Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh melakukan verifikasi faktual terhadap partai politik lokal calon peserta pemilu. Dalam hal ini, kata dia, semua proses dan kegiatan verifikasi yang dilakukan KIP itu tidak ada pihak yang mengawasi. Demikian pula halnya ketika ada pihak atau partai yang tidak puas dengan hasil verifikasi, tidak ada sebuah lembaga yang dapat menampung keluhan mereka yang semestinya dapat dilakukan oleh Panwaslu. “Seharusnya mereka bisa membuat komplain ke Panwaslu. Tapi ini Panwaslunya tidak ada. Secara hukum itu memang sah. Tapi secara subtansif itu kurang baik karena proses itu tidak ada yang mengawasinya,” tandas Mawardi.
Mawardi berharap semua pihak harus memberi perhatian dan mendesak Bawaslu Pusat agar kepengurusan Panwaslu Aceh segera dilantik. Dia menilai, kinerja Bawaslu sangat lamban dan terkesan kurang koordinasi. Padahal, kata dia, keberadaan Panwaslu di Aceh sudah sangat mendesak dan harus segera dilantik karena tahapan kampanye sudah dimulai. “Kewajiban Pemerintah Aceh bersama DPRA mendesak Bawaslu segera melantik Panwaslu Aceh agar pelaksanaan tahapan Pemilu di daerah ini berjalan baik,” kata Mawardi.(sar)
Source : Serambi Indonesia